Segala simbol-simbol dalam kehidupan manusia, adalah hasil berkesenian yang dituntun oleh kecerdasan. Sebagai sebuah karya seni, mestinya ia diperlakukan dengan penuh apresiasi. Sebagai sebuah produk kecerdasan, seharusnya ada rasa hormat kita di sana. Bahkan jika itu adalah simbol-simbol yang telah dilarang, belum tentu semuanya karena ketidakbenarannya, namun mungkin saja karena rasa takut kita yang telah menjadi paranoid.
Perasaan takut yang tak berwujud, yang tak punya rumah, entah ia datang dari dan mau pergi ke mana. Akan selalu mencari korban atas ketakutan-ketakutannya sendiri, bagai radikal bebas yang toksik merusak sel-sel lainnya dalam tubuh manusia. Simbol-simbol bahkan lebih “diam” ketimbang sebuah gagasan atau ide yang telah dijabarkan dalam narasi-narasi. Keduanya adalah reperesentasi dari sebuah kebebasan berpikir dan berbicara.
Selamanya pikiran itu punya kemewahan sebagai entitas yang selalu bebas. Dunia takkan pernah dapat mengadili pikiran-pikiran manusia, ia berada pada level peradilan Tuhan. Hingga gagasan atau simbol itu menjelma menjadi sebuah agresi yang telah melannggar kemerdekaan orang lain maka ia dapat dipersalahkan atas perbuatan-perbuatannya itu. Saat di penjara pun kemudian, pikiran-pikiran seorang pesakitan akan tetap selalu merdeka. Meski demikian, kemerdekaan berpikir tak selalu membawa kebaikan, maka kita diajak adil sejak dalam pikiran. Inilah kemerdekaan yang esensi.
Hari ini, simbol-simbol lebih sering menyulut kebencian dan dendam. Saat seorang pemuka agama di ruang tertutup telah merendahkan simbol agama yang lain, namun di luar dugaan rupanya terkuak ke ruang publik. Jika ruang tertutup adalah identik dengan pikiran, maka ia bebas. Namun saat ia dibelenggu kebencian, sebetulnya itu bukanlah pikiran yang merdeka. Kebencian adalah penjajah dalam pikiran itu sendiri. Identik dengan rasa iri, cemburu, dendam, kecewa dan takut. Patutlah ada ungkapan terkenal ini, musuh terbesar kita adalah diri-sendiri. Atau, semua musuh di luar sana niscaya kita kalahkan saat terlebih dahulu kita kuasa mengalahkan diri-sendiri, melumpuhkan segala energi negatif dalam jiwa sendiri.
Jika itu yang terjadi, maka seharusnya tak perlu ada penghancuran patung Budha di lembah Bamiyan, Afghanistan oleh kelompok Taliban. Dua patung raksasa dari sosok tokoh Budha yaitu Buddha Wairocana atau yang populer disebut “Solsol” dengan ketinggian 53 meter sekaligus yang terbesar, dan Gautama atau “Shahmama” setinggi 35 meter yang diketahui dibuat pada abad keempat dan kelima. Lembah Bamiyan yang terkenal dengan keindahan alamnya, terletak di Afghanisan tengah dan berjarak sekitar 130 km barat laut dari Kabul, ibukota Afghanistan, dan berada di ketinggian 2.590 meter di atas permukaan laut. Di masa lampau, ia termasuk ke dalam Jalur Sutra yang termashur itu. Betapa kebencian dan rasa takut telah meluluhlantakkan karya-karya terbaik dalam sejarah peradaban umat manusia itu. Hanya menyisakan butiran-butiran debu pikiran terjajah yang terus beterbangan hingga di era milenium ini.
Segala simbol-simbol, karena ia hasil berkesenian yang dijiwai kecerdasan, maka menuntut kebijaksanaan kita dalam menafsirkannyaa. Dalam budaya tradisional kanak-kanak kita misalnya, kakek nenek atau orang tua melarang kita duduk di atas bantal karena dapat menyebabkan pantat kita bisulan. Itu jelas pelajaran soal sopan santun dan tata krama, bukannya soal kesehatan dan medis, meski mereka memilih diksi bisulan atau abses. Atau saat perayaan hari raya Nyepi yang eksotis, amati gni adalah salah satu tradisi yang harus ditaati, yaitu tidak menyalakan api dan lampu. Sesungguhnya ia membawa makna hakikat untuk kita berlatih meredam segala emosi dan amarah yang bagaikan api dapat melalap hanguskan segala akal sehat dan kebaikan. Namun nyatanya kita justru lebih sering meributkan dan melakukan razia penduduk yang menyalakan lampu di rumahnya saat perayaan Nyepi.
Kita mungkin dapat belajar banyak dari seorang yang bernama Dan Brown. Penulis kelahiran Exeter, New Hampshire, USA tahun 22 juni 1964 ini begitu terpesona dengan berbagai simbol dalam sejarah dunia. Itulah yang kemudian menjadi tema-tema dalam novel-novel larisnya yang telah laku puluhan juta kopi dan telah diterjemahkan ke dalam sedikitnya 40 bahasa negara-negara di dunia. Ia paham betul, ada keindahan dan kecerdasan yang tersembunyi dalam simbol-simbol yang eksis dalam kehidupan berbagai tradisi, budaya maupun agama dan keyakinan manusia di seluruh belahan bumi ini. Ia membuka pikiran dan hatinya pada setiap simbol yang berserakan bahkan yang kini hanya tersisa dalam catatan-catatan terbatas karena telah ditinggalkan oleh kaumnya. Merangkaikannya menjadi labirin rumit alur peristiwa cerita-cerita yang menegangkan dalam novel-novelnya.
Dan Brown sepertinya telah mengingatkan kita, keindahan segala simbol-simbol dalam peradaban ini takkan pernah sirna, ia hanya akan buruk dan menjadi rendah dari kebencian-kebencian kita. Dari pikiran yang tak pernah merdeka, terjajah oleh dendam dan kedengkian.