Program Dialog Sastra seri ke-66 di Bentara Budaya Bali (BBB) yang berlangsung Senin (19/08) membincangkan seputar kisah sejarah dan cerita nyata dalam karya sastra Indonesia. Selain berpijak pada karya sastrawan Indonesia, semisal tetralogi Buru oleh Pramoedya Ananta Toer, dialog dirujukkan pula pada karya-karya sastra terpilih dari penulis besar dunia, semisal Leo Tolstoy, Ernest Hemingway, Joseph Conrad hingga sejumlah pengarang Jepang.
Tampil sebagai narasumber yakni sejarawan alumni UGM, Dr. Nyoman Wijaya, dan sastrawan Noorca Massardi. Dr. Nyoman Wijaya telah menulis banyak buku biografi. Sementara Noorca telah menulis sejumlah novel yang boleh dikata berangkat dari latar sejarah maupun kisah yang nyata terjadi, sebut saja karyanya yang berjudul September(2006), d.I.a. : Cinta dan Presiden (2008), Setelah 17 Tahun (2016), 180 (2016) dan lain-lain.
Dalam makalahnya, Dr. Nyoman Wijaya mengemukakan perihal sejarah dalam cerita pendek, merujuk pada cerpen karya P. Shanty berjudul “Kekalahan Jang Ke-empat” (1950). Cerpen ini, menurut Dr. Nyoman Wijaya, menjadi pintu masuk untuk memahami bagaimana cerpenis menggunakan ideologi politik sosialisme untuk berebut berpengaruh di Kota Singaraja pada khususnya dan Bali pada umumnya di tahun 1950. Studi oleh Dr. Nyoman Wijaya ini mencoba menawarkan sebuah pendekatan baru dalam mengajarkan sejarah melalui karya sastra, khususnya cerita pendek.
Dialog mengetengahkan pula pembacaan seputar bagaimana sebuah karya sastra sejatinya juga menyuguhkan upaya eksplorasi pada Geistzeit atau jiwa zaman. Melalui romannya yang fenomenal. War and Peace (1863), Leo Tolstoy dengan realistis menggambarkan kemelut 580 tokohnya, berlatar penyerbuan Napoleon ke Rusia. Sedangkan The Sun Also Rises adalah novel semibiografi berlatar perang saudara di Spanyol, di mana Hemingway bertugas sebagai jurnalis. Adapun Joseph Conrad memaparkan teror yang merundung masyarakat Kongo di bawah kekuasaan Raja Belgia.
Demikian juga sejumlah pengarang Jepang tersohor dan diakui dunia, semisal Yasunari Kawabata, Kenzaburo Oe, Haruki Murakami, dan Yukio Mishima, juga mencipta novel yang menggali Geistzeit. Namun, jiwa zaman tersebut tidak dituturkan secara langsung sebagai penggambaran keadaan, melainkan dideskripsikan dengan sublim dan mendalam melalui kemelut batin tokoh-tokohnya.
Noorca Massardi, yang juga lama bergelut sebagai jurnalis, berbagi mengenai proses kreatifnya dalam mengeksplorasi hal-hal yang bersifat faktual atau nyata dan mengelaborasinya menjadi tulisan fiksi. Mencontohkan melalui sejumlah novelnya yang berangkat dari kisah sejarah atau cerita nyata, Noorca mengemukan bahwa ia juga melakukan riset atau penelitan, terutama menyangkut data-data yang disebutkan dalam tulisannya.
Meskipun nama-nama tokoh, latar dan waktu kejadian dalam novelnya disamarkan, namun data-data atau fakta yang terjadi sepenuhnya sama. Namun dirinya menekankan pula, meski berdasarkan fakta dan data, novel atau karya sastra itu merupakan fiksi.
Sebuah karya sastra atau fiksi dapat menjadi pintu masuk untuk mempelajari atau mengkaji sebuah fakta sejarah. Namun untuk itu diperlukan upaya dan studi tersendiri, diantaranya pembaca harus memiliki pengetahuan sejarah cukup atau bahan bacaan yang luas. Terlebih ketika kini dunia serba virtual, nyaris baur antara realitas imajiner dan realitas faktual. [T] [*]