Saya tidak pernah membayangkan bagaimana orang Bali pada zaman dulu mengenali waktu sebelum ditemukannya jam seperti sekarang. Jika mereka ingin bertemu mereka biasanya menyepakati waktu-waktu tertentu sesuai dengan fenomena alam, seperti misalnya istilah jejeg ai mereka sudah sangat paham bahwa mereka harus bertemu pada siang hari dimana matahari berada di atas paling tinggi atau sekitar pukul 12 siang.
Berkaitan dengan fenomena alam banyak ditemukan istilah-istilah tentang waktu, bahkan beberapa istilah tentang waktu mencerminkan pola pikir dan momentum penting bagi orang Bali. Orang Bali menyebut waktu sebagai Sang Kala, siapapun yang tidak memafaatkan waktu dengan baik dalam kepercayaan mitologi orang Bali maka mereka akan dimakan oleh waktu. Sandyakala misalnya, orang Bali meyakini bahwa jika pada waktu tersebut orang tidak boleh keluar rumah sembarangan. Jika keluar rumah maka akan diganggu oleh para Bhuta Kala yang konon waktu itu adalah milik mereka.
Sandyakala diartikan sebagai pertemuan dan perpisahan antara dua kurun waktu dalam satu hari. Sandya artinya samar-samar sedangkan kala artinya waktu, sandyakala adalah waktu dimana hari mengalami peralihan dari terang menuju ke samar-samar. Waktu ini juga sering disebut samar mua, saru mua dimana jika bertemu orang, wajah orang tersebut sudah semakin samar-samar atau tidak terlihat secara jelas.
Lantas mengapa waktu ini sangat penting dan ditakuti oleh sebagian orang? alasannya sederhana sebab, jika keluar rumah pada saat tersebut hari sudah semakin gelap maklum zaman dahalu lampu penerangan belum begitu banyak sehingga jika bertemu orang wajahnya sudah samar-samar, tempat yang tinggi dan rendah sulit dikenali sehingga takut membahayakan sehingga dalam mitologi dikatakan dimakan bhuta Kala. Bhuta kala yang dimaksud mungkin bukan sepenuhnya mahkluk tetapi bahaya dari hari yang sudah mulai gelap.
Dalam disiplin bangun pagi, orang Bali mengenal istilah semengan deg, dituun siape, galang kangin nah, jam berapa waktu itu dimaksud ?, Tentu jam pastinya kita tidak bisa dipastikan sebab persepsi mengenai semengan deg, dituun siape disetiap tempat berbeda, bahkan jika ayamnya sedang mengerami telur (makeem) mungkin tidak akan tuun-tuun sampai hari terasa hangat atau menjelang siang untuk mencari makan.
Namun kata semengan Deg sudah bisa pastikan sebelum jam 6 pagi atau sebelum matahari terbit sehingga, jika orang mengatakan semeng deg maka sudah pasti jam yang dimaksud adalah sebelum jam 6 pagi atau sebelum matahari terbit. Termasuk urusan bangun pagi jika diminta bangun semengan deg maka harus bangun sebelum jam 6 pagi. Ada pula istilah semeng berarti pagi, sedangkan semengan berarti pagi-pagi sekali. Bahkan tetua kita sering mengatakan bahwa jangan suka bangun siang nanti rejekinya dipatuk ayam.
Adapula istilah seng kangin, kata ini berasal dari kata ngeseng (condong) dan kangin (timur). Konsep waktu ini mengacu kepada posisi matahari ketika berada pada sudut 45 derajat di ufuk timur, yang bagi orang Bali menunjuk waktu 08.30-11.30.
Ada juga istilah Seng Kauh yaitu penyebutan waktu sore hari orang Bali menggunakan kata neduhang, seng kauh dan tengah kauh, yang kira-kira menunjuk pukul 13.00-15.30. Istilah neduhang berasal dari kata dasar teduh (teduh bahasa Indonesia), yang kemudian mengalami proses konfiksasi N-teduh-ang menjadi kata neduhang (terjadi peluluhan t pada kata dasar teduh ke dalam afiks nasal N-menjadi N).
Kata neduhang bermakna menuju ke teduh, yang berarti penunjuk waktu menjelang sore. Istilah lain yang maknanya senada adalah seng kauh (condong ke barat) dan tengah kauh (tengah ke barat); ungkapan ini beranalogi dengan ungkapan seng kangin. Jika menyebut sore dalam bahasa Bali, dikenal dengan istilah nglingsirang yang secara umum dimaknai senja. Kata ini berasal dari kata lingsir (tua) yang mendapat konfiks Ng- ang, yang maknanya diacu kepada tua atau matahari menuju ke peraduannya.
Ada juga istilah tengah lemeng untuk penyebutan waktu pada tengah malam. Kata lemengdapat bermakna apabila dibubuhi ditambahi kata bilangan di depannya: misalnya alemeng (satu malam), dan duanglemeng (dua malan). Dari sini juga muncul istilah tengah lemeng (tengah malam), tengah lemeng gede sekitar pukul 00.00.
Demikianlah orang Bali mengenal waktu sesuai dengan istilah-istilah dan fenomena alam sehingga menjadi sebuah kekayaan khasanah Bahasa hingga sekarang. [T]