“Napi pikayune meriki pak? Seken-sekenang, napi sane jagi kayunang. Yening sampun jakti, uningang ring Batarane. Tiang sing bisa nguningang pikayun bapake, napi jakti napi ten.”
(Apa yang diinginkan ke sini pak? Pikirkan dengan matang, apa yang akan diharapkan. Jika sudah sungguh-sungguh, beritahukan pada Ida Batara. Saya tidak bisa memberitahu keinginan bapak, apakah sungguh-sungguh atau tidak).
_______
Saya tertegun mendengar seorang nenek berusia senja berbicara dengan nada pelan pada kami, setengah lusin pemuda yang berlagak mencoba hadir dalam hidup masyarakat yang rumit. Nenek tua yang berbicara langsung itu salah seorang penduduk di kawasan timur Bukit Kintamani. Saya dan sejumlah kawan mengunjunginya pada minggu ketiga Juli 2019 lalu.
Penampang kerutan dahi, pipi, dan tangannya jelas menyiratkan usia tak pendek. Artinya, ia telah begitu kaya akan pengalaman hidup. Pesan pelan namun cadas yang telah dilesatkan oleh busur bernama mulut seketika menghujam ke tubuh saya bagai kilatan bajra Hyang Indra. Panas, cepat, dan langsung masuk ke palung terdalam batin saya yang kecil.
Sepintas, kata-kata nenek itu memang sederhana. Tapi, bagi saya -orang yang sejatinya terlalu sensitif dengan kata-kata, barisan vokal-konsonan itu begitu berharga sekaligus tajam. Seolah ada kekecewaan besar yang ia tak terima. Ketika melewati rangkain perenungan, sangat sayang jika pesan ini dibuang begitu saja sebagai remah kelana musiman
Hari itu, saya dan kawan-kawan lainnya memang secara terang-terangan tengah menggunakan pakaian dinas harian berwarna cerah ala kelompok tertentu. Sedari awal perjumpaan dengan si nenek, ia memang tampak menaruh bertumpuk-tumpuk curiga. Bagai Sita yang tak mau lagi kalah oleh rasa humanis karena melihat pertapa tua renta jelmaan Rahwana dan menjadi sebab awal perpisahannya dengan kekasihnya Ramadewa, demikianlah si nenek seakan tak mau keluar dari lingkaran ideologis yang tampaknya telah lama ia pegang. Curiga pada setiap orang.
Berlantai sikap skeptis itu, si nenek tak ragu menyodorkan sejumlah pertanyaan pada kami yang berlagak merasa gundah pada hidup masyarakat banyak. Kami dari mana? Hendak berbuat apa datang ke tempatnya? Begitu seterusnya pertanyaan-pertanyaan itu dikeluarkan, yang dalam kesempatan kritis mengharuskan saya memilah kata-kata secara lebih cerdik agar tak mengurangi aspek etis.
Ketika kami jawab kedatangan kami tak lain hanya untuk menyambung tali rasa serangkaian Hari Raya Galungan, dia menjawab lugas dengan nada yang bagi saya sinis. “Bapak ten meriki tiang nak nyidaang magalung,” (meskipun bapak tak kesini, saya juga bisa merayakan Galungan). Praktis, pernyataan itu semakin mengerutkan jantung saya yang sejak awal memang telah menciut. Untung saja masih berdetak.
Setelah hampir 10 menit bercengkerama dengannya dan menjelaskan secara pelan hingga kami diterima, kami akhirnya mohon diri untuk meneruskan kelana. Jalanan tandus berhias savana kering dan pohon yang tak begitu hijau di kiri-kanannya menjadi sajian sepanjang jalan. Debu menerpa sekujur tubuh, seiring liak-liuk dan naik-turun jalanan yang tak menentu untuk menunggu tempat perhentian selanjutnya. Bunga-bunga musim panas yang ranum seakan membalikkan pikiran saya, mengingatkan agar saya memaknai lebih dalam setiap langkah. Semua yang tercipta hanya tersekat kelir sangat tipis. Di balik kering yang menggugurkan daun ada ranum, di balik tandus ada subur, di balik suka ada duka, begitu mengikuti guratan lontar takdir.
Lama saya merenung-renung di atas motor maticyang semakin tak kuat menjajal jalanan curam naik-turun. Hingga akhirnya, selintas baliho sisa Pemilu Serentak 2019 menampakkan diri, tertempel di salah satu dinding rumah warga.
Inilah jawabannya! Seketika otak saya sumringah, bagai menemukan benda yang telah lama dicari. Secara cepat baliho itu mengerucutkan dan menyimpul, menjawab hujan kata sederhana yang terhempas dari mulut –mungkin langsung dari hati- sang nenek.
Tersandera Retorika
Retorika memang tak selamanya menjadi senapan utama bagi manusia berpolitik. Budiman Sudjiatmiko (Gie dan Surat-surat yang Tersembunyi, 2016:106) mengungkapkan ada lima kriteria untuk menjadi manusia politik. Kelimanya adalah (1) punya ide politik yang solid; (2) berempati dan bergaul dengan rakyat; (3) punya tradisi organisasi; (4) punya kehendak berkuasa untuk mewujudkan ide-ide politiknya; dan (5) mampu beretorika dengan lisan dan tulisan. Jika tak mampu memenuhi kelima syarat itu, jangan khawatir: hanya empat syarat pertama yang bersifat mutlak, sedangkan yang terakhir adalah syarat tambahan saja.
Barangkali benar adanya demikian. Tapi, dalam pandangan saya yang kerdil, meski hanya sebagai syarat tambahan, retorika tetaplah retorika. Ia punya peran paling sentral, sebab retorika -entah dalam wujud apapun- tersambung langsung pada pengaruh manusia politik terhadap massa, yang ada kalanya dianggap hanya sebagai bidak-bidak tak bernyawa.
Dalam beretorika, ada banyak orator berhasil menjelma dan menyusun kata menjadi kata-kata retoris, mampu menggugah kesadaran-kesadaran sasaran. Itulah senjata politik yang akhirnya membuat rakyat, bahkan lawan mainnya takluk dan rela menjadi pengikut. Tapi, memang kita pahami tak sedikit pula yang tak menguasai penyusunan kata sehingga menjadi retoris.
Janji-janji, laku-laku terpuji yang dijadikan cermin sikap oleh orang banyak juga bagian dari retorika. Benih-benih ini banyak disebar belakangan ini, sebab laku-laku ini begitu ampuh melelehkan hati manusia yang keras untuk memberi pundi-pundi dukungan.
Umbaran janji yang tak jelas tuan-pawangnya itu diproduksi terus menerus hingga pendukung berlipat semakin banyak. Janji-janji itu ada kalanya direalisaskan dalam wujud bansos dan hibah, yang selama ini berseliweran di banyak ruang publik.
Atas nama peningkatan taraf ekonomi masyatakat, bansos diwujudkan menjadi jalan, jadi bale banjar, untuk bongkar pura lama menjadi baru dan mengkilap. Begitu seterusnya. Satu per satu ruang publik diseruduk, kemudian dihabisi. Kail-kail bansos disebar, jaring hibah dilempar ke waduk terkecil bernama banjar, hingga kepala per kepala rakyat terpancing dan terjaring ke permukaan air.
Ngurah Suryawan (Menguak Kepentingan di Balik Maraknya Hibah dan Bansos,balebengong.id) menilai praktik baksos dan hibah diambil sebagai upaya sang kuasa menunjukkan otoritas modal ekonominya. Alegori yang menyertainya dibarengi dengan “kepedulian” terhadap kehidupan sosial budaya keagamaan yang tiada henti menjadi praktik keseharian orang Bali. Tengoklah rutinitas yang perlahan-lahan berubah menjadi beban yang ditengarai sebagai “kewajiban”. Pada momen inilah negara melalui dana-dana hibahnya “seolah-olah” hadir untuk meringankan beban dan adat manusia Bali.
Pada sebagian besar kasus, langkah yang ditempuh dalang-dalang politik itu memang berhasil. Kaula-kaula yang jiwanya tengah “tremor” lantaran krisis ideologi budaya dan agama mengamini kehadiran bansos dan hibah sebagai pertolongan malaikat yang telah lama dinanti-nanti. Setelah hibah dan bansos itu mencairkan dirinya ke masyarakat dalam praktik budaya, mereka merasa ringan secara ekonomi dari tanggung jawab tradisi yang dianggap rumit. Kemudian, mari gelar perayaan untuk menyambutnya, memanfaatkan tuak-arak, lawar, dan komoh sisa ritual
Hibah dan bansos selanjutnya menyusup ke praktik-praktik tradisi selevel ngusaba di desa-desa adat, mungkin juga ke ritus-ritus tertentu yang digelar perseorangan di rumah masing-masing. Malaikat penolong bernama bansos dan hibah juga hadir dalam pelaksanaan malaspas, matatah massal dan massal-massal lainnya. Bahkan, ia juga ikut meniupi api ngaben, upacara pembakaran tulang belulang manusia yang telah lebih dulu pulang. Model itu pun belum menunjukkan itikad untuk berhenti, ia masih liar mencari mangsa pada laku-laku agama masyarakat Bali, termasuk perayaan Galungan, Kuningan, Pagerwesi, dan saudara-saudaranya yang lain.
Sudah kita sadari, ritual yadnya kini dimaknai bak makanan cepat saji yang konon akan membebaskan pelakunya pada belenggu Tri Rna. Meski pun dalam lingkar siklus ritualnya turut disiapkan kesempatan untuk dharma wacana, dengan penyiar agama papan atas sebagai narasumbernya, tataran pemaknaan tentang aspek agama dan budaya tetap bias di awang-awang. Gelap, untaian kata yang keluar dari penyiar seringkali tak membumi. Penyiar acapkali beromantisme pada teks-teks bahasa dewa yang tak dipahami penyimak, sementara si penyimak tetap berhedonisme pada konteks bernama ritual.
Tradisi telah mensistemkan semua itu sedemikian rupa. Jadi pandangan ritualitas sesungguhnya adalah pandangan tradisi. Konsekuensinya, penganut pandangan itu sering berpendapat bahwa dengan menggelar ritual maka hutang “dianggap” sudah lunas. Anggapan bahwa hutang sudah lunas itu tentu saja bersifat sepihak, yaitu dari pihak yang wajib membayar hutang (Dharma Palguna, Perempuan Sakti, 2014: 66).
Ia Melawan
Mari kita kembali pada cerita nenek tua senja yang tinggal di balik Bukit Kintamani.
Saya amati, dia adalah salah satu dari para sesepuh yang belum menerima secara penuh konsep pragmatis soal laku hidup. Justru sebaliknya, dari gelagatnya, ia tampak melawan. Kehadiran bansos dan hibah itu selalu dicurigai sebagai alat-alat kepentingan segelintir orang. Ujarannya yang menyatakan, “bapak ten meriki tiang nak ngidaang magalung,” tampak lugas menyiratkan penentangan pemberian cuma-cuma atas dasar pandangan orang atas ketidakberdayaannya.
Belum lama ini saya pernah berdiskusi dengan seorang sahabat yang kini mendarmakan diri sebagai advokat. Baginya, dua generasi di atas generasi milenial saat ini memiliki konsep yang masih kokoh soal yadnya, terlebih menyoal yadnya pribadi.
Menurutnya, generasi ini merasa lebih terhormat jika melunasi hutang hidup dari daki tangan sendiri. Ideologi budayanya bukan ideology generalitas yang selama ini diterapkan di tanah bernama Bali, yang tampak menunjukkan gelagat menentang asas desa. kala, patra.
Sahabat yang juga menyandang gen “Bukit Cintamani Mmal” ini, memandang kelas generasi ini berpikir semampunya. Jika hanya memiliki sumber daya sedikit, buatlah yadnya sederhana tanpa menghilangkan inti pokok. Kurangi pestanya, kurangi tuak dan komohnya. Sadar memiliki sumber daya minim jangan ikut-ikutan membuat yadnyamegah seperti orang lain, terlebih meniru-niru praktik desa sebelah yang belum tentu benar adanya.
Ideologi itu pula yang saya rasa tertanam di benak nenek tua dari balik Bukit Kintamani. Kata-katanya yang sederhana menyiratkan agar yadnya dinilai sebagai urusan pribadi dengan energi yang disebut Tuhan Yang Maha Esa. Membayar yadnya sama sekali tak perlu uluran tangan Si A atau Si B -yang belum tentu jujur, ikhlas, tanpa kepentingan.
Si nenek barangkali memang pernah menjadi Sita, dan menjadi korban keberingasan Rahwana yang bergelayut pada aneka hibah bansos. Saya menduga si nenek pernah kecewa. Ia mungkin pernah diagungkan, dijunjung, dan diberi harapan tinggi. Namun, harapan itu seketika musnah setelah Rahwana terbang menyisir puncak Gunung Batur dengan kereta kencananya. Ia pergi begitu saja setelah menemukan pilihan dan memuaskan dahaga hatinya dengan membarter bansos dan hibah. Selepas aksi pilih memilih itu, nenek tua renta itu mungkin tak pernah lagi ditengok Rahwana sang pembawa bansos dan hibah. Nenek tua meringkuk sendiri bersama segumpal batu harap yang terus mengeras berbalut debu dan panasnya udara khas balik Bukit Kintamani.
Satu lagi pesan nenek dari Bukit Kintamani yang coba saya baca. Jika telanjur terjun menjadi Si A, Si D, Si M, Si Y, Kelompok E, Kelompok F, Kelompok Z, dan seterusnya, janganlah pernah jadi antek-antek Rahwana baru. Pahami langkah menapaki karma yoga bakti adalah jalan terjal penuh jembatan rapuh dan palung yang dalam. Kesampingkan motif, terlebih motif pribadi. Kalian akan banyak bertemu orang, hati-hati, hati dan batinmu bisa jadi tak kuat menahan rayu. [T]
Denpasar, 31 Juli 2019