Secara sederhana literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun, saat ini literasi memiliki arti luas sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti.
Ada bermacam-macam keberaksaraan atau literasi, misalnya literasi komputer, literasi media, literasi teknologi, literasi ekonomi, dan literasi informasi. Jadi keberaksaraan atau literasi dapat diartikan melekteknologi, melek informasi, berpikir kritis, dan peka terhadap lingkungan. Lalu seberapa banyak pemuda Indonesia yang begitu ‘rakus’ terhadap buku? Tentu tidak banyak. Padahal negeri kita ini sesungguhnya membanggakan.
Berdasarkan data UNESCO, tingkat literasi di Indonesia termasuk tertinggi di Asia Pasifik dalam rentang tahun 1990-2015. Presentasenya bahkan bersaing dengan China, negara superpower Asia yang semakin naik di kancah perekonomian global. Apakah kita boleh bangga? Boleh saja. Namun, apakah tingginya tingkat literasi juga berarti tingginya minat baca? Tentu tidak juga. Lalu, bagaimana kondisi minat baca di Indonesia? Jangan kaget angkanya terjun bebas.
Menurut pembangunan pendidikan UNESCO, Indonesia berada pada urutan 69 dari 127 negara. Yang memiliki minat baca tinggi hanya satu diantara seribu. Jauh dari angka minat baca di Jepang yaitu 45 persen atau Singapura yang mencapai 55 persen. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia mampu, namun kurang minat menyentuh buku.
Jangankan warga yang tidak sekolah, yang sedang atau telah menempuh pendidikan dasar, menengah dan tinggi saja masih banyak yang ragu untuk membuka lebaran-lembaran buku yang katanya gudang ilmu itu. Terutama di kalangan para pelajar yang telah ditelan arus globalisasi, sekarang lebih suka bergelut di media sosial atau browsing di Internet hanya untuk mencari hiburan semata, seperti mendownload lagu, film, atau hanya untuk membuang-buang waktu chating dengan teman di sosmed.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Tentu jawabannya karena kita tidak terbiasa. Minat baca itu sama saja dengan makan sayur. Jika kebiasaan tidak ditumbuhkan sejak dini, akan sulit untuk ditanamkan saat beranjak dewasa. Bukannya tidak bisa, hanya saja tidak mudah dan perlu usaha ekstra.
Jalan Gelap Disabilitas Tunanetra
Ketika saya menempuh pendidikan di Kota Singaraja, banyak sekali event-event penulisan yang telah saya hadiri di berbagai kota di Indonesia. Tentunya saya kaget ketika melihat orang yang memiliki keterbatasan fisik seperti Tunanetra mampu berkarya lewat literasi. Membayangkannya saja, saya sunguh kagum karena sepengetahuan saya seorang Tunanetra hanya bisa membaca sebuah bacaan lewat Huruf Braille. Tentunya untuk membaca huruf tersebut, dia harus belajar mengenal Huruf Braille.
Tentu hal ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan perlu proses lama bagi seorang disabilitas tunanetra dalam memahami Huruf Braille. Pada awal Tahun 2018, saya tidak sengaja berjumpa dengannya, Al Diwani, pada acara pertemuan komunitas anak muda di Makassar. Al Diwani adalah pegiat literasi di Makassar yang memiliki kekurangan dalam hal penglihatan (Tunanetra). Pertemuan ini bukan kali pertama, namun cerita tentangnya baru saya ketahui dengan jelas.
Tahun 2017, saya bertemu Al Diwani sebagai pegiat literasi di Makassar. Dia seorang penulis, editor buku, dan pustakawan yang hobby membaca buku. Namun, akibat kerusakan retina pada kedua matanya, tahun 2017 Al Diwani mendapat vonis dari dokter dan harus kehilangan penglihatan secara permanen.
Sejak saat itu, Al Diwani perlahan meninggalkan pekerjaanya dibidang literasi. Al Diwani (33 tahun) menjadi satu dari 3,5 juta penyandang disabilitas tunanetra di Indonesia. Dunia literasi yang awalnya bergerak cepat bersama Al Diwani mulai tertinggal. Saat menemuinya, Al Diwani sedang mendengarkan pesan masuk melalui telepon genggamnya. Sejak perangkat lunak membaca perintah suara dan menerjemahkan teks menjadi suara untuk pengoperasian telepon genggam dan komputer mulai digunakan, penggunaan smartphone bagi penyandang disabilitas tunanetra juga kian populer.
Al Diwani juga memanfaatkan telepon gemnggamnya untuk membaca melalui audiobook. Meski demikian, pilihan dan cara mengaksesnya sangat terbatas. Al Diwani yang menyandang disabilitas tunanetra pada era milenial adalah potret yang bisa menggambarkan masih sulitnya akses literasi bagi penyandang disabilitas tunanetra, apalagi bagi yang tidak memiliki kemampuan membaca huruf braille.
Dalam upaya memenuhi hak akses informasi dan ilmu pengetahuan bagi penyandang disabilitas netra, pemerintah telah menjaminnya pada pasal 24 B UU No.8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi melalui media yang mudah diakses.
Satu satu teknologi untuk memudahkan hak akses disabilitas tunanetra dalam memperoleh ilmu pengehuan, informasi dalam bentuk buku dan karya sastra adalah memindai buku menjadi buku format huruf braille. Hanya saja pemanfaatan teknologi huruf braille saat ini semakin jarang dijadikan pilihan bagi penyandang disabilitas netra saat membaca buku. Teknologi ini kian tertinggal ditengah cepatnya digitalisasi.
Penyebabnya sangat beragam, yang pertama, banyak penyandang disabilitas tunanetra kehilangan penglihatan saat remaja atau dewasa karena sakit atau kecelakaan seperti Al Diwani. Disabilitas tunanetra pada kelompok ini tentu memiliki sensibilitas kepekaan huruf braille yang rendah. Sehingga tidak memungkinkan untuk bisa membaca buku dengan cepat, tepat, dan nyaman.
Kedua, dibutuhkan software dan alat cetak khusus untuk mengkonversi buku menjadi format braille yang siap dibaca. Sehingga untuk mengakses atau menyediakan buku dengan dengan format braille membutuhkan biaya yang lebih mahal. Ketiga, disabilitas tunanetra yang lahir pada tahun 80-an, 90-an, dan tahun 2000-an memasuki babak milenial. Artinya generasi disabilitas tunanetra juga telah terpapar dalam percepatan kemajuan teknologi dan informasi sehingga juga turut membutuhkan teknologi yang lebih praktis dan cepat.
Lantas, bagaimana mengimbangi gerakan literasi untuk disabilitas tunanetra di era milenial? Tentunya dengan Digitalisasi. Digitalisasi menjadi kunci bagi disabilitas tunanetra untuk membuka ruang berekspresi dan belajar dengan luas. Meski huruf braille tidak akan tergantikan, namun digitalisasi bagi disabilitas tunanetra seperti hadirnya buku elektronik lalu berkembang menjadi audiobook, juga menjadi pilihan cerdas untuk mengakses dan membaca informasi dalam bentuk buku.
Al Diwani adalah salah satu pengguna audio book saat membaca. Audiobook yang hadir dalam bentuk suara memungkinkan disabilitas tunanetra membaca buku dengan mendengar. Buku terakhir yang dibaca dengan audiobook adalah I Can Dance In The Rain karya Timotes Talip. Butuh durasi 5 jam 22 menit untuk menamatkan buku tersebut. Audiobook ini disimpan dalam bentuk file MP3 di smartphone miliknya. Saat ingin membaca buku, Al Diwani akan memberikan perintah berupa suara.
Setelah menunggu beberapa saat, bukunya akan mulai bercerita. Namun akses, kuantitas dan kualitas audiobook masih tergantung pada volunteer yang bersedia menjadi narator sebuah buku. Revolusi industri 4.0 telah didepan mata. Penyebaran informasi menembus ruang dan waktu, bergerak secepat menggerakkan jari. Jika tidak ada pemutakhiran teknologi ramah disabilitas, maka kelompok penyandang disabilitas khususnya disabilitas tunanetra adalah kelompok yang rentan tergilas oleh serangan informasi.
Untuk itu dibutuhkan inovasi teknologi yang lebih fleksibel dan mampu memudahkan disabilitas tunanetra menjadi mandiri dan berdaya dalam mengakses dan membaca buku.
Berdasarkan analisis masalah dan kebutuhan tersebut, maka perlu mengupayakan inovasi audiobook menjadi Digital Talking Book Library berbasis spoken web. Inovasi ini adalah gagasan cerdas dan tepat yang mampu menjawab kebutuhan disabilitas tunanetra. Produk dari gagasan ini adalah platform spoken web interaktif yang menyediakan dan mengumpulkan audio book dan buku elektronik layaknya perpustakaan. Spoken web adalah platform yang disertai fitur kemampuan untuk mengubah suara menjadi perintah dan menerjemahkan huruf menjadi suara.
Maka dengan menggunakan spoken web pada platform tersebut maka bukan hanya audio book yang bisa terbaca oleh disabilitas tunanetra, tetapi juga buku digital akan dibaca secara otomatis oleh piranti lunak tersebut. Untuk meningkatkan awareness masyarakat pada disabilitas, platform spoken web ini bersifat open akses bagi pengunjung yang ingin menjadi narator audiobook untuk kelengkapan buku dalam perpustakaan.
Sehingga teknologi ini akan meminimalisasi ketergantungan disabilitas tunanetra pada volunteer untuk mengakses buku yang diinginkan. Atas dasar kepraktisan tersebut, maka Digital Talking Book Library berbasis spoken web adalah langkah milenial yang mampu menerangi jalan disabilitas tunanetra untuk membaca literasi.
Menerangi Langkah DisabilitasNetra
Digital Talking Book Library berbasis spoken web adalah platform menyediakan buku dalam bentuk buku elektronik dan audiobook. Dengan menggunakan spoken web sebagai media penyediaan buku, disabilitas tunanetra dapat membaca buku berjenis audiobooks dan buku elektronik. Kebaharuan dan kemutakhiran dari inovasi platform perpustakaan ini adanya piranti lunak pada spoken web yang mampu mengubah suara menjadi perintah dan mengubah teks menjadi suara.
Pembuatan Digital Talking Book Library diawali dengan pengumpulan materi berupa audiobook dan buku elektronik. Buku yang terkumpul akan tersusun dan tersedia di platform spoken web berdasarkan jenis buku dan penulis. Selanjutnya, pembuatan Digital Talking Book pada platform spoken web. Meski diperuntukkan khusus disabilitas tunanetra, namun skenario platform spoken web yang digunakan untuk perpustakaan adalah open akses. Artinya semua pengunjung bisa mengakses pepustakaan digital ini.
Digital Talking Book Library berbasis spoken web adalah platform interaktif. Pengunjung diberikan akses untuk mengunduh dan mengunggah buku yang ada didalamnya. Terdapat dua jenis pegguna bagi pangunjung spoken web ini. Pengguna pertama adalah untuk penyandang disabilitas tunanetra. Disabilitass tunanetra bisa mengoperasikan platform ini dengan menggunakan perintah suara.
Saat melakukan pencarian buku, disabilitas tunanetra bisa mengaksesnya dengan dua cara. Pertama memberikan perintah suara dengan cara cukup menyebutkan kata kunci berupa judul buku, jenis buku, atau penulis buku. Cara kedua adalah dengan mengaktifkan text to speech sehingga digital talking book library akan memandu disabilitas tunanetra untuk memilih buku. Pengguna kedua adalah volunteer. Volunteer adalah pengunjung perpustakaan talking book yang bersedia membacakan buku dan membagikannya di spoken web.
Sehingga penggunaan spoken web untuk Digital Talking Book Library mampu memperluas dan mempermudah aksesibilitas disabilitas tunanetra dalam membaca dan memperoleh buku. Pertama, menambah jumlah audiobook. Kedua, buku elektronik bisa terbaca otomatis oleh fitur yang tersedia dalam spoken web.
Di sisi lain, inovasi digital talking book library berbasis spoken web tidak hanya memperluas jangkauan disabilitas tunanetra saat mengakses buku, melainkan penggunaan platform ini menyediakan ruang bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi aktif membantu dalam penyediaan buku. Sehingga kehadiran platform spoken web ini juga mampu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk turut mengambil bagian dalam pemenuhan hak informasi untuk kelompok penyandang disabilitas.
Disabilitas Tunanetra Siap Menyambut Revolusi Industri4.0
Demi mencapai keberhasilan di era digital, semua pihak perlu terlibat dan dilibatkan. Indonesia memiliki bekal yang cukup untuk menjadi cemerlang yakni bonus demografi dan teknologi. Kedua hal ini harus terkelola dengan tepat melalui keberanian berivoasi dan berkolaborasi. Pengembangan inovasi digital talking book library berbasis spoken web sebaiknya mendapat dukungan berupa komitmen dari pemerintah, pihak swasta, khususnya penerbit berkomitmen menyediakan buku dalam berbagai format khususnya audiobook dan buku elektronik.
Penggunaan inovasi Digital Talking Book Library efektif membantu disabilitas tunanetra untuk dapat membaca buku. Sekali lagi, revolusi industri babak 4 telah berada di depan kita. Maka sudah saatnya menciptakan teknologi ramah disabilitas sebagai bentuk keadilan dalam pemenuhan hak.
Dan menggagas Digital Talking Book Library berbasis spoken web adalah bentuk kesiapan disabiltas netra untuk turut mengeksplorasi informasi dan ilmu pengetahuan di era transformasi teknologi dan informasi. Al Diwani bersama 3,5 juta penyandang disabilitas tunanetra di Indonesia tentunya siap mendorong gerakan literasi agar minat baca rakyat Indonesia bisa semakin meningkat. [T]