Saya tidak tahu pasti bagaimana konteks zaman penulisan naskah “Barabah” karya Motinggo Busye. Saya berusaha melepas pikiran itu untuk menikmati pementasan naskah Barabah ini oleh Teater Sadewa dan disutradarai Hendra Utay yang digelar dalam rangka Program Penyajian dan Pengembangan Seni UPTD Taman Budaya Art Center Tahun 2019, Sabtu, 20 Juli malam.
Mungkin, memang seperti itulah harusnya pementasan yang memilih corak realis, menghanyutkan penonton pada adegang demi adegang yang dibangun. Saya menikmati pementasan ini, dan pada bagian tertentu, sangat beruntung bagi saya lampu di area penonton dimatikan, sebab kalau tidak, maka akan kentara penonton yang menangis karena hanyut pada adegang akhir. Saya sendiri dengan sangat pelan agar tak kentara oleh beberapa penonton di sebelah, sedikit mengangkat tangan untuk menekan mata yang tiba-tiba seperti kelilipan.
Naskah ini saya rasa memang naskah yang sangat menarik. Polanya pun mirip seperti naskah tersohor Motinggo Busye, yaitu “Malam Jahanam”. Barabah sendiri bercerita tentang seorang tokoh perempuan yang memiliki suami bernama Banio. Banio diceritakan sebagai seorang laki-laki tua yang sudah sempat 12 kali beristri namun tak memiliki anak laki-laki. Barabah sebagai istri keduabelas sangatlah pencemburu. Inilah penyebab terbangunnya beberapa konflik dalam kisah ini.
Pada suatu hari datang seorang perempuan yang bernama Zaitun. Perempuan ini mencari Banio untuk membicarakan masalah pernikahan. Tidak jelas bertanya, Barabah malah buru-buru cemburu dengan perempuan itu dan mengira suaminya akan menikahi perempuan itu.
Konflik pertama terjadi. Lalu perempuan itu diusir. Kemudian seorang lelaki tak dikenal datang ketika suami barabah keluar untuk memastikan siapa sesungguhnya perempuan yang datang ke rumah dan mencarinya agar Barabah tidak cemburu dan masalah keluarga itu selesai.
Lelaki lain itu masuk dan diusir oleh Barabah sebab suaminya pernah berpesan agar tidak menerima tamu laki-laki ketika ia tak di rumah. Tapi laki-laki itu tidak mau pergi hingga suami Barabah itu datang. situasi ini justru menimbulkan kecemburuan pada suami barabah. Sampai laki-laki itu pun juga diusir.
Cukup membuat saya terkejut dengan cerita ini, ternyata perempuan yang dicemburui Barabah adalah anak dari suaminya dengan istrinya yang keenam, sementara lelaki kedua itu adalah seorang kusir yang menjadi calon suaminya. Keriuhan dalam rumah itu berganti menjadi haru ketika Banio tahu bahwa itu adalah anaknya. Cerita ini berakhir dengan haru dan kepergian calon pengantin itu dengan terburu-buru sebab kereta yang dipesan akan segera berangkat.
Barabah sendiri diperankan dengan baik oleh Agung Istri Indah. Seorang pencemburu dan istri kedua belas saya rasa cukup berat untuk dipahami. Saya sendiri sulit memahami bagaimana situasi mental seseorang yang menjadi istri keduabelas dan masih mempunyai perasaan cemburu seperti itu.
Tetapi kekuatan bermainnya cukup mengagumkan seperti misalnya pada adegang Zaitun perempuan yang dicemburui barabah yang diperankan oleh April Artison ingin dicincang oleh Barabah. Tiba-tiba pada adengan itu tepuk tangan, saya menduga hal itu diakibatkan begitu terasanya permainan tubuh Istri Indah dalam bergerak dan dialog—di samping hal-hal teknis seperti beberapa dialog yang lepas dari karakter Barabah.
Karakter yang sesekali lepas juga terjadi pada Banio yang diperankan oleh Cristyan A S. Adengan Marah seperti menjadi pemicu warna vocalnya lepas. Tetapi, tidak hanya itu, pada adegan Banio cemburu dengan Adibul karena cemburu dan salah paham, Banio mengeluarkan golok namun, sarung golok itu jatuh.
Saya menduga ini bukan suatu kesengajaan, namun saya rasa kurang berani Cristyan sebagai Banio mengambil sarung yang jatuh itu, meskipun diambil tetapi temponya kurang tepat. Banio yang digambarkan pada naskah sebagai orang yang bungkuk sepertinya belum sampai dengan baik walau hal itu ditambal dengan penambahan benda di punggung Cristyan.
Meskipun saya sangat menikmati pementasan ini, namun hal-hal kecil terkadang luput dan terlihat sebagai rakaian adegan yang bagi saya perlu diperhitungkan. Naskah ini banyak menghadirkan konteks zaman yang berjarak dengan masa kini yang barangkali memang sulit untuk diadopsi. Semisal pada adegan Banio dengan Adibul. Banio berkata dia pernah membunuh 7 ekor macan.
Sesampai di kampungnya macan itu ditawar dengan harga tinggi yaitu dua ratus ribu rupiah. Dalam pentas, hal itu tetap disampaikan. Tentu jumlah uang itu tidak lagi menjadi jumlah yang besar. Di samping itu, Banio pernah jatuh miskin karena membagi-bagi tanahnya sebab mengikuti aturan pemerintah.
Hal ini juga tidak terjadi saat ini yang barangkali jika diubah pada konteks kekinian akan sulit ditemukan padanannya. Hal yang lain adalah ketika dengan tegas Banio berkata bahwa ia selalu menang dalam banyak hal kecuali naik pesawat dan ingin sekali naik pesawat. Ia menceritakan pesawat dengan mengagumkan yang barangkali pada zaman sekarang orang yang pernah kaya tak kan luput dengan kegiatan ini.
Bertambah yakinlah saya kalaa konteks cerita ini adalah zaman dulu ketika Adibul berkata bahwa dia menaiki pesawat tempur jepang ketika umur remaja. Dari semua itu saya berkesimpulan bahwa pementasan ini memang ingin memainkan naskah ini secara utuh tanpa perubahan atau penyesuaian dengan zaman sekarang. Tentu itu hal yang bagi saya sah-sah saja.
Namun, permainan utuh justru dipatahkan dengan beberapa hal. Saya rasa naskah lama yang disampaikan saat ini dengan niat menyampaikan secara utuh bukanlah perkara mudah. Sebab, pada penampilan tertentu, Adibul yang merupakan seorang kusir mengenakan pakaian necis bahkan sepatu yang sangat keren. Saya tak tahu betul, zaman itu apakah sepatu seperti itu sudah ada dan apakah mewakili seorang kusir atau tidak.
Di luar benturan itu, tokoh Adibul ini ketika di atas panggung diciptakan memiliki karakter yang mungkin karena gelisah, menjadi banyak tingkah. Lelucon yang ia mainkan di panggung beberapa kali menpar tawa penonton hingga pecah. Saya sendiri melepas tawa menikmati permainan Adibul yang diperankan oleh Turah Krishna ini. ia begitu mencolok ketika bertemu dengan Barabah tetapi untungnya pemeran Barabah tak kalah kuat ketika di atas panggung. Ia menimpali permainan Krishna dengan seimbang sehingga gerak-gerik Adibul yang banyak itu diseimbangkan dengan gerakan kecil namun mengimbangi oleh Barabah.
Pementasan ini sangat didukung oleh para pemain musik dengan musiknya yang turut membangun pementasan ini. Saya sangat merasakannya terutama pada adegang terakhir yang mengharukan itu. Secara keutuhan pertunjukkan, saya menikmati permainan ini disamping hal-hal kecil yang menurut saya perlu diperhitungkan lagi.
Pada akhir pementasan, tak ragu lagi semua penonton sadar lagi bahwa yang menghanyutkan itu adalah sebuah tontonan sehingga riuh tepuk tangan pecah memenuhi Gedung Ksirarnawa Art Center meski kursi penonton tidak penuh. [T]