Saat toko buku Togamas masih berada di kawasan go skatesebelah barat Tunjungan Plaza Surabaya, kunjungan rutin menjadi agenda ajeg yang dilakukan setiap dua minggu sekali. Pandangan mata tertuju pada sampul lucu nan kartunal. Sebuah majalah bernuansa Bali yang tipis tapi bikin penasaran.
Bog-Bog Bali Cartoon Magazines menjadi salah satu prioritas ketika masuk toko buku. Majalah yang berpusat di Jalan Kedondong Denpasar ini menyajikan kartun tematik yang hampir sebagian besar gambarnya mengangkat unsur budaya Bali.
Bog Bog Bali Cartoon Magazine adalah majalah terbitan beberapa kartunis yang menetap di Bali dan selalu menyajikan kartun-kartun tematis karya orang dalam maupun kiriman dari kartunis lepas. Ciri khas dari majalah ini adalah kartun-kartun yang ada sengaja ‘dibungkus’ dalam setting budaya bali. Majalah ini dirintis oleh Jango Pramartha
Tokoh kartun memakai udeng, iring-iringan yang membawa sajen, upacara, barong, bangunan pura dan gambaran turis mancanegara lengkap dengan baju pantai dan sebuah kamera. Beberapa kali saya mengirim via pos kartun ke majalah ini, tidak ada satupun yang dimuat. Dulu merasa yakin sudah lucu karena belum sadar bahwa standar kelucuan kelayakan pemuatan berada di tangan redaksi.
Dari majalah yang menampilkan iklan dalam format kartun inilah kita bisa membaca Bali melalui sebuah gambar kartun. Termasuk kartun yang berisi sentilan terhadap masifnya pengembangan pariwisata di Bali yang mencerabut unsur lokal. Ritual tertentu yang dulu sakral berubah menjadi profan karena tuntutan pasar.
Julukan Bali bertambah menjadi Pulau Kartun, tidak hanya sebagai pulau dewata setelah diresmikannya Museum Kartun pada 13 Maret 2008. Museum Kartun digadang-gadang menjadi museum kartun yang pertama di Indonesia dan Asia Tenggara.
Atas prakarsa dari pengusaha kaos kartun Jangkrik85, Istio Adi yang didukung oleh sejumlah kartunis senior tanah air GM Sudarta, Priyanto Sunarto, Pramono R. Pramooedjo, Jango Peramartha dan Praba Pangripta. Museum Kartun menyajikan karyamasterpiece kartunis tanah air yang didukung penuh oleh komunitas kartunis yang tumbuh subur di berbagai pelosok. Diharapkan pengunjung dapat menikmati sajian baru pelengkap berwisata di Bali.
Bagaimana perkartunan di Bali saat ini? Saya mengamati pasca pergantian era baru dalam media secara perlahan tapi pasti terjadi perubahan manual ke digital. Media cetak menuju media daring. Salah satu keunikan dalam Majalah Bog-bog adalah kartun pada semua lini termasuk iklan.
Itulah pernah terbersit dalam angan saya terhadap kartunisasi Bali. Kartun yang merambah segala lini kehidupan. Namun majalah kebanggaan para kartunis dan penikmat humor telah tutup seiring cerita pilu berpamitnya beberapa media cetak legendaris melalui edisi terakhirnya.
Demikian juga museum kartun, saat menghadiri Borobudur Cartoonist Forum(BCF) 2017 kepada salah satu kartunis senior saya menanyakan tentang museum terunik dan terasyik yang sedari dulu ingin berkunjung ke sana. Namun, jawaban diluar perkiraan karena museum sudah tutup karena persoalan manajerial. Bali sebagai pulau kartun harus menghadapi dua permasalahan yang dilematis. Majalah kartun selesai dan museum kartun tutup.
Kartunis Bali pasca ditutupnya museum kartun dan Bog Bog tanpa majalah berupaya melakukan berbagai strategi adaptasi agar dapat eksis dan terus berkarya. Dunia maya maya yang merambah segala lini kehidupan tidak bisa membuat kartunis terlalu berharap banyak pada media cetak. Mereka terus berkarya dan menjaga proses kreatifnya dengan berbagai inovasi dan menyesuaikan dengan panggilan jaman.
Kartunis Gerilyawan
Media sosial dan berkomunitas menjadi salah satu tumpuan karunis Bali untuk tetap eksis berkarya. Saya mencatat ada beberapa kartunis yang bergerak secara progresif tanpa harus tergantung pada media.
Kartunis gerilyawan yang berjuang dalam ekspresi dan dedikasi pada seni. Pinsiana (Pinsiana Cartoon), Ardi (Ardi Mengartun Lagi), Jango Pramartha, Pak Cok Padmanaba, Agung Windu Segara, Nuriarta , Afrizal la adalah beberapa nama yang dengan totalitas terus mengembangkan diri meskipun lahan kartunis di dunia media cetak yang makin menyempit.
Bukan berarti sudah kehabisan media, masih ada media cetak yang masih mendukung proses berkarya kartunis. Seperti Bali Post yang menyediakan satu rublik kartun pada hari Minggu yang juga menerima kiriman kartun dari kontributor.
Selebihnya para kartunis harus berinovasi dalam ‘memasarkan’ karyanya melalui pameran tunggal atau pameran bersama, ngamen ngarikatur ataupun lukis wajah, bekerja sama dengan event organiser yang menyediakan lapak karikatur pada suatu acara sampai mengirim karya untuk kompetisi kartun tingkat nasional maupun internasional.
Permasalahan umum yang terjadi tidak hanya pada menyempitnya ruang kreasi kartunis di media cetak, namun regenerasi kartunis sendiri. Tidak banyak anak muda yang tertarik untuk mengembangkan diri melalui seni kartun. Proses kreatif sampai menjadi seorang kartunis tidak hanya sekadar bisa menggambar.
Perlu kemampuan instuitif dan kognitif pada kepekaan pada persoalan sosial dan penciptaan humor yang cerdas. Semua membutuhkan proses yang tidak semudah membalikan telapak tangan. Lantas tidak semua orang bisa menggambar bisa menjadi kartunis.
Semoga Bali masih menjadi pulau kartun sementara Kota Semarang masih menjadi Ibukota kartun. [T]