“Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya.” –Pramoedya Ananta Toer
____
Sore itu seorang wanita muda diantar oleh kedua orang tuanya berobat ke praktek saya. Rambutnya rontok dan muncul bercak kemerahan di kedua pipinya. Ia pun merasakan gejala demam yang sudah lama disertai penurunan berat badan. Kalangan dokter sering kali kebingungan menemukan diagnosis penyakit dengan gejala sumir yang tak khas ini.
Seorang guru besar di bidang penyakit rematologi bahkan sering mengatakan, “Jika kita menghadapi gejala dan tanda yang membingungkan pada seorang pasien wanita muda, pikirkanlah kemungkinan suatu penyakit lupus”.
Penyakit inilah yang kemudian saya duga diderita oleh pasien wanita muda itu. Ada sejumlah pemeriksaan yang kemudian saya rencanakan untuk menunjang diagnosis yang saya sangkakan tersebut.
Selain gejala-gejalanya yang membingungkan, penyebab penyakit lupus itupun boleh dikatakan cukup aneh. Kenapa saya sebut aneh? Karena ia disebabkan justru akibat kekebalan tubuh (antibodi) pasien itu sendiri. Oleh karenanya disebut sebagai penyakit autoimun yang dapat diartikan secara lugas sebagai penyakit akibat kekebalan tubuh yang berlebih atau akibat antibodi yang tak semestinya.
Jadi, walau itu adalah sebuah kekebalan, namun bila berlebihan, ia dapat menjadi bumerang pembawa petaka. Maka kita sebetulnya tak butuh tubuh yang super untuk hidup sehat, namun tubuh yang seimbanglah niscaya dapat menjaga kelestariannya. Entah itu tubuh fisik, mental juga tubuh sosial kita.
Tubuh kita sebetulnya sebuah entitas fisiologis yang sedemikian cerdas. Akan fenomena ini saya sudah pernah membahasnya dalam tulisan berjudul Belajar Dari Tubuh.
Ada berbagai hal-hal sederhana yang dapat kita amati sebagai kecerdasan tubuh kita. Denyut jantung dan pernafasan yang meningkat frekuensinya saat beraktifitas fisik untuk mengimbangi kebutuhan oksigen jaringan tubuh. Atau respon muntah juga diare saat makanan yang kita konsumsi telah mengandung kontaminan mikroorganisme patogen atau produknya (toksin). Bahkan reaksi sederhana tubuh kita yang menggigil saat kedinginan untuk menghasilkan panas. Juga sensasi nyeri yang kita benci sekalipun, sesungguhnya adalah pelindung tubuh kita dari risiko cedera dan trauma fisik lebih berat.
Ingat, bukankah kita kaget dan sekonyong-konyong menarik kaki kita yang tak sengaja menginjak duri? Ya, tentu itu akibat rangsang nyeri yang kita rasakan telah menimbulkan refleks yang menjauhkan kaki kita dari sumber nyeri tersebut. Itu berguna untuk mencegah cedera yang lebih parah.
Maka rasa nyeri itu bagian penting dalam hidup kita, entah secara harfiah maupun filosofis. Akan makna filosofis gagasan ini pun secara khusus saya telah tulis dalam artikel berjudul Tubuh Kita Butuh Stres. Kehilangan sensasi nyeri akibat gangguan saraf tepi (neuropati perifer) yang umum terjadi pada penderita diabetes, menyebabkan kaki pasien diabetes tanpa disadari sering mengalami luka atau cedera.
Itulah kenapa salah satu saran untuk pasien diabetes adalah selalu melindungi kakinya dari luka (diabetic foot) dengan selalu memakai alas kaki baik di dalam maupun di luar rumah. Sebaliknya tubuh yang terlampau reaktif terhadap rangsang dari luar (hipersensitif) pun dapat menimbulkan keadaan yang mengganggu.
Betul misalnya saluran nafas kita mesti menolak debu yang berlebih untuk melindungi peparu dari peradangan. Namun jika sedikit saja debu membuat seseorang lalu bereaksi bersin-bersin berlebihan hingga saluran nafasnya mengkerut terlampau sempit, itu justru akan menciptakan satu penyakit yang disebut serangan asma. Jelas sudah keseimbangan itu harus eksis untuk manusia tetap sehat.
Kehidupan ini seimbang, Tuan.
Barangsiapa hanya memandang keceriaan saja,
dia orang gila.
Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja,
dia sakit.
Kehidupan lebih nyata
daripada pendapat siapa pun
tentang kenyataan.
Penulis besar Pramoedya Ananta Toer, dengan begitu gagahnya mengemukakan isi pikirannya tentang keseimbangan hidup dalam bukunya yang masyur, Anak Semua Bangsa. Ia menekankan pada kehidupan sosial tubuh kita, pikiran, sikap dan kerja tangan.
Pram, meski ia orang jenius dan sangat teliti yang punya data sedemikian kuat untuk tulisan-tulisannya namun mungkin tak begitu dalam di bidang medis. Yang ingin saya sampaikan adalah, ada nilai-nilai yang sedemikian konsisten dan esensial terkait gagasan tentang keseimbangan baik dari sudut pandang sastra maupun sains terutama fisiologi.
Kita pun berharap terbawa keseimbangan alami dalam tubuh kita, namun kalaupun itu tak cukup, kita pun masih diberikan kesempatan untuk menemukannya. [T]