Perjalanan siang itu, Sabtu 29/7/2019, bersama Made Adnyana Ole ke Kesiman, maklum saja, saya agak excited, dikarenakan ada undangan khusus untuk mengikuti penganugerahan Anugrah Jurnalis Warga yang diadakan oleh Media Warga Bale Bengong.
Suasana hiruk-pikuk Kota Denpasar. Yang sudah terbayang pasti kemacetan, asap kendaraan mengepul bak cerobong kereta api yang digerakkan oleh uap batu bara, bahkan saya harus sedikit agak nekat, karena saking banyaknya kendaraan yang berusaha untuk saling salip, menyerobot tanpa menghiraukan jalur kendaraan lain. Hanya kesabaran yang bisa menaklukkan kota ini, untung saja saya sudah terbiasa dididik untuk sabar menghadapi kenyataan hidup ini.
Kendaraan meluncur di Jalan Sedap Malam, jalan ini relatif agak lengang, dulu saat kuliah di Denpasar saya agak sering lalu lalang di kawasan ini. Relatif agak berubah, kini hampir kanan kiri sudah dipenuhi oleh bangunan yang dulunya daerah ini merupakan kawasan pertanian.
Akhirnya tibalah kami di alamat yang dituju, terlihat beberapa pria tinggi, tegap dan gagah berdiri di sepanjang jalan, menggunakan pakaian khas pecalang, dengan senyum, salam dan sapa, mereka mempersilahkan kami memarkirkan kendaraan. Senyum ramah merupakan ciri khas orang Bali, yang memang harus ditunjukkan oleh Pecalang karena kesehariannya mereka kerap bertugas di lapangan, mereka akan berhadapan dengan masyarakat, sebagai penjaga ketertiban umum saat ada hajatan di lingkungannya.
Memasuki areal kegiatan, saya tersihir oleh banyak hal, bukan hanya oleh hal-hal yang berkaitan dengan dunia menulis, melainkan juga dari tanaman-tanaman di lokasi itu.
Kami disambut oleh pemandangan indah, kebetulan sekali saya adalah penggemar Urban Farming, dan disana saya menemukan jiwa saya, seakan-akan saya berada di Rumah, karena tanaman sayur berderet-deret dengan rapi, mengikuti alur bedengan yang tersusun oleh rangkaian genteng bekas yang berbaris rapi membentuk alur melingkar.
Saya pernah membaca artikel tentang ulasan permakultur di Taman Baca Kesiman, dan semesta memberikan kesempatan saya untuk datang dan membuktikannya secara langsung. Permakultur sangat menarik, karena ilmu ini mengajarkan kita cara menanam yang menitikberatkan pada keseimbangan, layaknya konsep Tri Hita Karana yang kita ketahui di Bali.
Saat itu jam 4 lebih 15 menit, kami disambut oleh beberapa wanita muda, salah satunya adalah Iin, wanita yang sangat ramah dan memandu kami pada tempat reservasi serta mempersilahkan kami menikmati kudapan yang sudah disiapkan panitia, perjalanan dari Buleleng ke Denpasar lumayan melelahkan, seruput kopi hitam ditemani “urab sela” bisa meringankan pening di Kepala Event ini berhasil membuktikan komitmen kuat, pengurangan sampah plastik, karena hampir sedikit sekali konten yang berbahan dasar polimer ini ada di hadapan kami. Tentunya ini sangat sejalan dengan Pergub Bali No.97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.
Waktu berjalan, kami bertemu beberapa teman baru dan lama, namun Made Adanya Ole yang merupakan wartawan gaek, beliau malang melintang dalam dunia pers di Bali, nampak bercengkrama dengan teman-teman lamanya, bergurau menceritakan kisah-kisah masa lalu dan obrolan masa depan tentang bagaimana menyebarkan semangat literasi ke pelosok-pelosok Desa.
Saat itu juga sedang diadakan konferensi pers, mendatangkan beberapa narasumber, ada perwakilan dari Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika, Bale Bengong dan Tatkala.Co yang merupakan media warga yang dikelola oleh Made Adnyana Ole.
Sebagai pendengar, saya diajarkan untuk mencatat hal-hal penting, mengingat otak saya sangat lemah dalam mengingat sesuatu, saya siasati dengan menulis. Ada beberapa hal yang saya catat, antara lain : literasi media, literasi digital serta kondisi lemahnya payung hukum bagi para media warga, sehingga mereka sangat rentan terkena pasal pelanggaran hak cipta maupun pencemaran nama baik.
Waktu semakin malam, kami beranjak dari tempat konferensi pers yang merupakan areal perpustakaan dengan koleksi buku-buku yang sangat lengkap dan tersusun rapi di rak-rak minimalis menuju hamparan padang rumput di areal belakang Taman Baca Kesiman, disana akan diselenggarakan acara megibung sebagai tradisi khas Karangasem dalam menikmati makanan. Beberapa peserta nampak menyusun formasi melingkar, melingkari “talam”/nampan yang dilapisi oleh daun pisang.
Satu persatu relawan datang, mereka mengatur peserta dengan tugas yang sangat terorganisir. Satu relawan dibantu oleh yang lainnya, menaruh nasi di atas nampan, terus datang lagi yang lainnya membawa ayam, gorengan telor, sayur dan begitu seterusnya.
Setelah semua lengkap, panitia memandu dengan memberikan aba-aba tentang tata cara melakukan tradisi megibung. Kami ikuti, dan tidak lebih dari 30 menit, semua menu sudah habis disantap oleh peserta.
Tibalah saatnya yang ditunggu-tunggu, yaitu pengumuman pemenang Anugrah Jurnalis Warga 2019 yang memperebutkan beberapa kriteria antara lain : artikel, video, radio dan yang lainnya. Saya sebagai penulis pendatang baru, agak nervous mengingat banyak sekali penulis senior yang menurut informasi sudah mengikuti event ini 3 tahun berturut-turut. Namun Made Adnyana Ole sebagai mentor saya, selalu memberikan dorongan untuk tidak takut menulis, karena menulis adalah bagian dari cara menuangkan gagasan dan pikiran pokok dalam sebuah cerita.
Panitia akhirnya mengumumkan pemenangnya. Dandy Dwi Laksono menyampaikan bahwa pemenang untuk kategori artikel jatuh ke tangan Gendo Suardana lewat tulisannya yang berjudul “Peladung, Jejak Awal Mekanisme Adat Menyikapi Investasi” yang diunggah di media warga Bale Bengong.
Pemenang demi pemenang disampaikan, para peserta yang berasal dari berbagai komunitas baik itu musisi, seniman, aktivis, wartawan, dan komponen masyarakat lainnya terlihat sangat larut dalam kegiatan ini, mungkin saja banyak dari mereka yang terinspirasi melakukan sesuatu dari interaksi ringan di tempat ini. Taman Baca Kesiman memberikan nuansa tersendiri membangun jalinan komunikasi lintas negeri, umur dan profesi. [T]