“Semenjak kita bikin Bungbang junior ini, ternyata generasi muda antusiasnya tinggi dan orang tua mendukung,” ujar Gede Putra Widyutmala dengan gurat wajah bahagia.
Menurutnya, instrumen bambu ciptaan Alm. I Nyoman Rembang ini mampu menyatukan berbagai lapisan umur krama Banjar Tengah, Sesetan, Denpasar Selatan.
Percakapan itu terjadi usai Sekaa Gong Bungbang Wirama Duta, Banjar Tengah, Sesetan, ini tampil pada Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41 di Kalangan Angsoka, Taman Budaya, Denpasar, 4 Juli 2019.
Sejumlah 45 orang anak muda yang didominasi kaum lelaki tampak tersenyum gembira sembari memainkan instrumen bambu yang bentuknya menyerupai kulkul (kentongan). Instrumen bambu bernama Bungbang ini memiliki ukuran beragam, dari yang kecil, sedang hingga yang besar semuanya bersatu padu membentuk melodi nan sejuk dan ceria.
Antusiasme penonton terhadap gamelan Bungbang sangatlah tinggi, ada yang rela menahan teriknya matahari hingga berdesak-desakkan hanya untuk melihat aksi para penabuh Bungbang dan eloknya gerak penari.
Dalam permainannya, Bungbang tidak sendiri. Terdapat pula alat musik khas Bali lainnya yang mendukung permainan Bungbang, seperti Gong Pulu, Cengceng Geprek dari bambu, Cengceng logam, dan Kenong. Sekiranya, terdapat empat garapan yang ditampilkan anak muda Sesetan ini, yaitu Tabuh bertajuk Katibambung, kedua sebuah garapan berjudul Tari Mina Pradipta yang mencerminkan gerak ikan hias berenang-renang dengan cantik.
Garapan ketiga adalah Tabuh Keluarga Berencana yang mengisahkan sebuah keluarga bahagia, dimana Bungbang ibarat anak yang terlahir dari keluarga bahagia itu. Keempat, Tari Melayangan atau Rare Angon, hadir sebagai garapan terakhir sebagai bentuk pemuliaan akan angin yang sesuai dengan tema PKB 2019, Bayu Pramana.
Sebagai pelatih yang meneruskan Gamelan Bungbang ke generasi muda, Gede Putra Widyutmala menuturkan, mulanya tak mudah untuk menarik atensi anak-anak muda untuk berlatih Bungbang. Maka dari itu, Widyutmala pun bersyukur terhadap Gamelan Bungbang yang kini dikelola oleh krama Banjar Tengah sehingga mampu melibatkan seluruh lapisan masyarakat daerah tersebut.
“Kalau belum ada dasar gong dan langsung terjun ke Bungbang susah, dari kecil dididik ke gong anak- anak baru bawa ke Bungbang,” jelas Widyutmala. Bungbang yang tak hanya sebagai warisan alat musik, namun berperan pula sebagai alat pemersatu disadari pula oleh I Komang Astita.
Sebagai pengamat musik, Astita pun mengungkapkan bahwa Bungbang sendiri merupakan instrumental karawitan yang sifatnya komunal. “Komunal ini sendiri artinya dapat menghimpun banyak orang, ini memang mencerminkan pula gamelan Bali yang bersifat gotong royong,” jelas Astita.
I Nyoman Rembang sendiri merupakan maestro gamelan yang lahir di Banjar Tengah, Sesetan pada tahun 1937 dan tutup usia pada tahun 2001. Rembang menciptakan Gamelan Bungbang pada tahun 1985 yang terinspirasi dari suara gelembung air pada ikan-ikan kecil yang berenang di akuarium. Melibatkan 45 orang pemain, gamelan ini menggunakan laras pelog dan slendro.
“Menciptakan Bungbang sebagai warisan beliau (I Nyoman Rembang) kepada anak-anak muda yang sekarang ini kita nikmati, ini akan cocok sekali untuk mengisi dan memeriahkan acara yang mencerminkan kesederhanaan,” tutur Astita yang dimasa lalu pernah menjadi asisten I Nyoman Rembang saat mengajar di ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) Denpasar.
Krama Banjar Tengah, Sesetan, telah berbuat dengan merangkul anak muda dan orang tua untuk melestarikan Bungbang. Mestinya, kemunculan Bungbang ditengah masyarakat Bali tak hanya melalui PKB semata. Sudah sepantasnya, seluruh elemen masyarakat dan pemerintah mencipta ruang-ruang berkesenian lainnya untuk melestarikan keberadaan Gamelan Bungbang. [T] [*]