Minggu 30 Juni, sekitar pukul 7 pagi, saat dingin betul-betul menyusup sampai ke tulang, kami menggetarkan Subak Sidang Rapuh dan Subak Uma Kaang, Desa Marga Dauh Puri, Marga, Tabanan. Kalau diperkirakan, ada sekitar 900 peserta fun bike cross country, melewati subak-subak itu. Jalan subak yang begitu sempit, ketika dilewati ratusan peserta sepeda, membuat macet yang mengular sampai beberapa meter. Acara fun bike itu menjadi tontonan para petani yang sedang menggarap sawah. Sawah yang biasanya sepi, pagi itu mendadak seperti pasar.
Ntud Nduk, sebuah komunitas sepeda di Desa Tunjuk, kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali, sedang mengadakan hajatan. Dalam rangka HUT Ntud Nduk yang ke tujuh, mereka sepakat mengadakan acara bersepeda fun bike cross country, dengan medan keluar masuk persawahan dan tegalan. Sebuah acara yang sangat positif, meningkatkan minat masyarakat tentang pentingnya hidup sehat dengan cara bersepeda. Olahraga yang bisa dilakukan oleh segala kelompok umur.
Di bawah asuhan Nyoman Nastana, Ntud Nduk telah menjadi komunitas penggiat bersepeda yang konsisten. Anggotanya sampai saat ini telah mencapai 55 orang, kebanyakan warga di desa Tunjuk, dan juga ada peserta dari luar desa yang bergabung.
Kalau ditelaah, mungkin Ntud Nduk berasal dari dua kata dalam bahasa Bali. Ntud dari urat kata entudyang artinya lutut, sedangkan Nduk dari kata enduk yang artinya lemah. Kalau digabung, artinya merujuk: lutut yang lemah. Tapi ternyata Ntud Nduk dibuat dari majas Litotes, gaya bahasa yang menggunakan kata berlawanan untuk merendah. Contoh majas litotes ini dalam sebuah kalimat: “Saya menyelesaikan S2 di Amerika dengan otak yang tumpul”.
Kalau sudah bisa menyelesaikan kuliah di Amerika, pastilah otaknya encer. Atau kalimat: “mampirlah sebentar ke gubuk saya”. Padahal yang dia maksud gubuk itu adalah rumah yang sangat mewah.
Komunitas Ntud Nduk tidak terdiri dari orang-orang yang berlutut lemah, melainkan sebaliknya. Mereka adalah para penggowes yang perkasa. Buktinya mereka bisa menyelesaikan gowes dari Tunjuk, Tabanan sampai ke Pelabuhan Padang Bay, Karangasem, kemudian nyebrang ke Pulau Nusa Penida untuk melakukan tirta yatra, sembahyang ke pura-pura di sekitaran pulau kecil itu. Mekemit , kemudian esoknya gowes lagi dari pelabuhan Padang Bay sampai ke Tunjuk. Itu jarak yang luar biasa dan gila. Ratusan kilometer.
Saya sangat salut dan hormat kepada komunitas Ntud Nduk ini, atas konsistensi mereka bersepeda. Ketika saya mendapat tawaran untuk memeriahkan acara fun bike mereka, langsung saya mengiyakan. Berpartisipasi sebagai sesama penghobi.
Maka pagi itu, walau pergelangan tangan saya sedikit bermasalah karena asam urat yang tiba-tiba kambuh, saya memaksa ikut. Ada 3 kategori dalam acara fun bike xc itu. Jalur yang terjauh sekitar 28 kilometer, yang lebih dekat ada jalur untuk pemula sekitar 17 km, dan ada jalur untuk anak-anak sepanjang 7 km. Saya ikut yang 28 kilometer.
Pukul 6.30 kumpul di lapangan sepak bola Desa Tunjuk. Peserta sudah ramai berdatangan. Di tribun, MC yang cantik dengan suaranya yang manis menyapa. Pagi yang dingin. Ketemu dengan teman-teman. Ngobrol-ngobrol sebentar menunggu start. Tak disangka ketemu dengan sahabat lama Putu Bonconk, yang jauh-jauh datang dari Buleleng menghadiri undangan fun bike ini. Putu Bonconk hadir dengan tujuh orang anggota komunitas Buleleng, bersama atlit-atlit muda ISSI Buleleng yang juga berpartisipasi. Beberapa atlit ISSI Tabanan juga ikut, di antaranya Radit dan Naomi. Walau ini bukan lomba, tapi mereka berpartisipasi.
Rencananya acara itu akan dilepas Bapak Kapolres Tabanan, karena kebetulan beliau juga hobi bersepeda. Tapi beliau berhalangan hadir karena ada acara penting, akhirnya diwakili Bapak Kapolsek Kota Tabanan. Pukul 7.00 bendera pelepasan dikibarkan.
Ratusan peserta memadati jalur Tunjuk menuju Marga. Kemudian di wilayah Desa Marga Dauh Puri, kami mulai memasuki persawahan. Jalan Subak Sidang Rapuh, yang kecil dan berbeton. Betul-betul acara yang fun. Enak rasanya ramai-ramai. Bersepeda sambil ngobrol. Tak terasa sudah memasuki Subak Uma Kaang, sebuah subak di sebelah utara Monumen Candi Margarana. Hamparan persawahan dan kebun sayur hijau, menyehatkan mata para peserta acara fun bike itu. Di Subak Uma Kaang, di samping menanam padi, mayoritas petani lebih suka bercocok tanam sayur hijau. Walaupun ada juga beberapa yang menanam kacang panjang dan bunga pacah.
Sebenarnya rute persawahan adalah medan favorit pagi para penggowes. Tidak membosankan seperti di jalan raya, yang kita lihat hanya jalan lurus dan asap kendaraan. Medan persawahan betul-betul sejuk. Apalagi kalau ada jalan subak yang sudah dibeton, berliku-liku dengan sungai di sampingnya. Tak ada yang lebih indah daripada suara gemericik air yang mengalir. Mendengarnya saja, pikiran jadi sejuk. Bahkan seseorang yang bermeditasi juga mendengarkan suara air yang telah direkam untuk menemani kegiatan meditasi mereka.
Beberapa penggiat sepeda juga senang bermain lumpur. Mereka justru sengaja mencari rute dengan jalan subak yang belum tersentuh beton. Pas hujan-hujan, jalan subak yang rusak pasti banyak kubangan lumpur. Dan mereka akan terjun ke lumpur-lumpur itu dengan rasa nikmat, walaupun nanti harus cuci sepeda, sepatu dan pakaian dengan susah.
Pada hakekatnya, seperti di masa kanak-kanak, kita sebenarnya sangat menyukai air dan tanah. Di masa kecil kita sering bandel main kotor-kotoran, main air hujan dan lumpur dengan riang, walaupun setelah itu dijewer ibu.
Dengan bersepeda melewati jalur subak, para pesepeda sepertinya ingin memeriksa dengan hati yang damai, apakah sawah-sawah kami di Tabanan masih alami, petani masih semangat bekerja dan air masih mengalir dari pegunungan dengan jernih?
Setelah melewati Subak Uma Kaang, kami ketemu turunan dan tanjakan pendek-pendek. Kemudian memasuki Desa Payangan. Kehadiran kami membuat anjing-anjing di kampung itu menyalak. Melintasi Desa Payangan yang lumayan panjang, membuat para peserta yang mungkin masih pemula di dunia sepeda mulai kelelahan. Rombongan mulai terpecah-pecah. Saat inilah kelihatan siapa endurance-nya yang sudah terlatih. Kami terpencar-pencar menjadi kelompok kecil-kecil.
Ini bukanlah fun bike biasa. Awalnya fun, selanjutnya medannya begitu menantang. Di ujung Desa Payangan, ada sebuah bendungan kecil. Ada tanjakan yang sangat curam, yang menghubungkan Desa Payangan dengan Banjar Pemanis. Tanjakan berbeton ini memaksa para peserta turun dan menuntun sepeda mereka. Syukurlah saya bisa melewatinya, sukses secara pelan-pelan.
Di Banjar Pemanis kami terus ke utara. Jalur yang melelahkan karena menanjak terus. Sampailah di Banjar Keridan, Desa Senganan, Kecamatan Penebel. Di ujung banjar ini, kami kemudian diarahkan ke barat oleh marshal yang berjaga, memasuki persawahan lagi. Ternyata jalur itu tembus ke Banjar Pagi, kampung yang pernah saya tulis dulu, karena keberadaan konservasi burung hantu untuk memberantas hama tikus para petani. Di Banjar Pagi ini kami memasuki areal subak lagi, menuju arah selatan. Jalannya mulai menurun. Nah, ini adalah hadiah, istilah untuk para pesepeda. Ada tanjakan, ada hadiah turunan.
Tapi jangan gembira dulu. Setelah turunan yang begitu panjang, di Banjar Biaung kami diarahkan ke timur lagi, memasuki banjar Cacab Jangkahan. Ada tanjakan mesra yang memacu detak jantung lagi. Tadi saat jalan turunan, ada seorang peserta yang menyalip saya dengan tidak sopan. Saat memasuki tanjakan di Banjar Cacab Jangkahan itu, dia nuntun sepedanya. Rasain lu! Giliran saya mengentutinya di tanjakan itu…hehehe
Sepanjang perjalanan, di samping bersepeda, mata saya terus mengamati kanan-kiri, melihat kebun-kebun. Ternyata sedikit yang menanam bunga gumitir. Ada harapan, bunga gumitir akan meroket menjelang Galungan ini. Sebab saya sedang menanam bunga gumitir di petak sawah saya…hehehe
Setelah tanjakan di Banjar Cacab Jangkahan itu, jalannya terus menurun sampai ke lapangan Desa Tunjuk lagi, tempat start tadi. Kemudian makan snack bersama teman-teman sambil berhaha-hihi. Nonton joged sambil menunggu undian door prize.
Seperti sebelum-sebelumnya, kali ini saya juga tidak beruntung. Hadiah-hadiah door prize terlewati tanpa nomer saya disebut. [T]