Di Bali terdapat sejumlah desa yang menjadi sentral legong klasik. Di Gianyar terdapat dua desa, yakni Peliatan dan Saba. Di Badung ada Kuta, dan di Denpasar sentra legong klasik itu ada di Binoh dan Bengkel.
Itu penjelasan Prof. Dr. I Wayan Dibia usai menonton pementasan legong dari Sanggar Seni Saba Sari, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar di Kalangan Angsoka Taman Budaya Bali, serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41, Kamis siang, 27 Juni 2019.
Menurut Dibia, setiap legong dari masing-masing desa itu memiliki ciri khasnya tersendiri. Begitupula dengan daerah Saba, Gianyar.
“Angsel-angsel(nuansa pola gerak) Saba-nya itu yang khas, tidak dimiliki oleh daerah lain seperti ada gerakan khusus yang membedakan Saba dengan yang lain,” ujarnya.
Dibia menyatakan dirinya bersyukur, sebab keberlangsungan Legong Saba masih hidup. Pada daerah lain, Dibia melihat kesenian legong klasik mengalami naik turun. Sehingga, sebuah ruang layaknya Pesta Kesenian Bali membuat palegongan klasik tetap hidup dan lestari.
Di PKB, kesenian Legong Klasik Saba, Gianyar dibawakan oleh para seniman Sanggar Seni Saba Sari, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Duta Kabupaten Gianyar. Sanggar Seni Saba Sari tak hanya menampilkan legong klasik khas Saba.
Sebagai persembahan awal, dimainkan instrumen gamelan bertajuk Sekar Gendotan karya maestro I Wayan Lotring. Garapan kedua yakni Tari Gabor yang ditujukan sebagai sebuah tari penyambutan. Sebagai persembahan ketiga, sanggar dari gumi seni Gianyar ini menampilkan Tari Legong Lasem, keempat yakni Tari Jauk Manis.
Persembahan pamungkas pun datang dari Tari Legong Raja Cina yang direkonstruksi dan dikembangkan oleh A. A Ngurah Serama Semadi.
Sebagai pemimpin Sanggar Seni Saba Sari, A.A Ngurah Serama Semadi mengungkapkan bahwa sanggar ini telah lama mengupayakan pelestarian untuk kesenian Legong Klasik.
“Mulanya pada tahun 1911 oleh ayah saya sendiri yakni A.A Gde Raka Saba,” ujar pria yang akrab dengan sapaan Gung Aji ini.
Sebagai penerus dari sanggar yang berlokasi di Puri Saba kediaman Gung Aji, ia pun mulai menyadari bahwa terdapat sebuah Tari Legong yang keberadaannya perlu direkonstruksi.
“Raja Cina ini adalah Legong hasil rekonstruksi yang saya lakukan pada tahun 2012, dulu pernah mati dan tidak ada legong itu,” terang Gung Aji.
Berbekal warisan tabuh pengawak, Gung Aji pun memulai proses rekonstruksi dengan bermain pada refrensi tari legong di masa lalu dari sang ayah, sehingga dapat membayangkannya, mengolah, dan menyesuaikan antara gerak dan tabuhnya.
Dalam merekonstruksi, Gung Aji tak sendiri, kehadiran maestro sekaligus pengamat seni layaknya I Wayan Dibia, I Made Bandem, dan Ni Ketut Arini memberi masukan membuat rekonstruksi ini akhirnya rampung. Tari Legong Raja Cina yang menjadi garapan pamungkas memiliki gerakan dan pakem yang kuat dengan tabuh yang dinamis. Meski durasi tarian ini cukup lama, namun kedinamisannya membuat para penonton betah duduk berlama-lama menikmati suguhan kesenian klasik ini.
Kedepannya, baik Dibia maupun Gung Aji mengutarakan bahwa ruang-ruang untuk menampilkan kesenian legong ini harus terus dibentuk, agar tak mandeg di PKB semata. “Produknya ada, marketnya juga ada,” tutur Dibia memberi perumpamaan dimana Legong Klasik sebagai sebuah produk dan ruang-ruang pentas seni adalah marketnya agar kesenia Legong Saba dan legong, legong lainnya tetap hidup. [T] [*]