Pada saat liburan ini secara tidak sengaja saya membuka laman instagram kementrian pendidikan dan kebudayaan melalui alamat @kemdikbud.ri. Postinganya sederhana yaitu mengenai kata sapaan untuk paman dengan bahasa daerah masing-masing. Mau saya untuk ikut nimbrug memberikan komentar, namun sebelum saya komentar saya perhatikan komentar netizen yang lain ternyata malah tidak nyambung dengan apa yang diposting.
Hampir semua komentar disana terkait dengan sistem zonasi PPDB. Saya bahkan senyum senyum sendiri membaca komentar-komentar netizen yang notabene adalah siswa dan generasi milenial sekarang.
Beberapa komentar dari laman Kemendikbud ini sangat menarik bila dilihat dari segi siswa. Ternyata banyak juga siswa yang tidak puas terhadap sistem zonasi ini padahal dari sisi pelaku pendidikan siswa merupakan objek yang utama. Jika siswa saja tidak puas apakah menteri harus puas?
Penggunaan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) mungkin pemerintah harus memberikan suatu uji publik kepada sistem zonasi ini sehingga pengutan tidak dating dari sisi guru saja tetapi juga dari siswa. Apakah siswa senang dengan sistem zonasi apa tidak. Kenapa perlu dilakukan karena objek utama dari pendidikan kita adalah siswa itu sendiri. Siswa yang belajar, siswa juga yang membangun pendidikan atau pengetahuannya.
Dampak dari kebijakan ini juga berlangsung kepada kualitas mental dan psikologis pendidikan mereka. Tak jarang banyak siswa yang stres terhadap sistem zonasi ini. Tidaknya siswa, orang tua juga ikut ikutan kelimpungan terhadap ajang tahunan dalam dunia pendidikan ini. Perlu dipahami bersama bahwa sistem zonasi memang harus di uji publik terlebih dahulu sehingga benar-benar bisa komprehensif pemnfaatanya bagi kemaslahatan kualitas pendididikan di Indonesia.
Sekolah negeri pada tahun ini tetap menjadi pilihan utama bagi sebagian besar masyarakat hal tersebut terbukti dengan membludaknya pendaftar pada hari pertama PPDB. Pada tingkat SMP para orang tua malah antri sampai membludak. Koran pagi ini dihiasi dengan topic utama PPDB. Sebagian orangtua sudah mendatangi sekolah sejak dini hari.
PPDB tahun 2019 ini sudah menggunakan sistem zonasi sesuai dengan peraturan Permendikbud Nomor 51 tahun 2018 namun pada kenyataannya juknis PPDB masing-masing kabupaten kotadi Bali belum seragam menggunakan system online. Banyak sekali carut-marut PPDB yang seharusnya bisa online namun masih bersifat manual pengambilan token dan juga yang lainnya masih perlu diperbaiki.
Menurut saya PPDB melalui sistem zonasi seharusnya dipermudah dengan menggunakan sistem online. Sehingga tidak perlu lagi orang tua murid ataupun siswa mengantri di sekolah. Penggunaan PPDB online ini tentu saja harus harus disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat sehingga masyarakat mendapat pemahaman yang baik mengenai PPDB Online.
Pada dasarnya penggunaan sistem PPDB online ini harus lebih disosialisasikan ke jenjang pendidikan yang lebih ada dibawahnya karena tidak semua orang tua siswa ataupun siswa fasih dengan system online. Khusus PPDB dari SD ke SMP, menurut pendapat saya PPDB online yang sekarang ini seharusnya tidak secara individu di lakukan oleh peserta didik tetapi masih dilakukan oleh operator di SD tersebut sehingga siswa SD tersebut tidak harus langsung ke sekolah yang dituju namun diwakilkan oleh operator di SD tersebut secara online. Jadi siswa SD tersebut tinggal mengupload dan mengisi data primer di SD saja. Tidak perlu ngantri berlama-lama di SMP yang dituju.
Bagaimana jika siswa miskin tersebut tidak dapat Sekolah Negeri apa yang harus dilakukan? Saya yakin pemerintah memiliki solusi yang baik untuk hal tersebut. Dimana siswa miskin harus tetap menjadi prioritas yang utama untuk masuk ke sekolah negeri. Karena pada dasarnya sekolah negeri merupakan sekolah milik pemerintah yang berfungsi untuk melindungi segenap rakyatnya dan untuk memprioritaskan siswa miskin ini.
Sekolah Negeri seharusnya memiliki berpihak kepada wong cilik. Stigma Inilah yang harus perlu kita pahami bersama bahwa siswa siswa yang miskin tersebut harus lebih diprioritaskan daripada siswa yang mampu. Kategori miskin di sini memang masih abu-abu. Tetapi dari dilihat dari penghasilan orang tua dan juga dari kondisi rumah bisa dijadikan salah satu indikator kemiskinan.
Hal yang ada di benak saya adalah bagaimana kalau sistem zonasi dilakukan jika perguruan tinggi juga menilai siswa dari SNMPTN. Kenapa karena biasanya sekolah yang terakreditasi A ini akan mendapatkan kuota yang lebih untuk mendapatkan perguruan tinggi. Namun akan sangat disayangkan jika siswa yang mempunyai potensi besar namun bersekolah yang memiliki akreditasi B tentu saja di perguruan tinggi dalam jalur SNMPTN peluangnya akan menjadi lebih kecil.
Untuk itulah jika program zonasi di sekolah Menengah tetap berjalan sampai 3 tahun kedepan, maka saya rasa penggunaan akreditasi sekolah dalam penerimaan SNPTN di perguruan tinggi juga akan menjadi tidak relevan. Jangan jangan nanti siswa menuntut agar perguruan tinggi juga menggunakan sitem zonasi?
PPDB online sistem zonasi bagi sebagian orang dewasa mungkin saja ini merupakan suatu terobosan baru dengan alasan pemerataan pendidikan. Tapi akan sangat berbeda apabila dilihat dari segi siswa. Komen-komen yang ada di laman Instagram Kemendikbud yang kebanyakan isinya berupa kekecewaan siswa untuk tidak bisa masuk sekolah yang mereka idamkan.
Tentu saja ini adalah pendapat dari hati nurani mereka. Terlihat kekecewaan siswa terhadap sistem zonasi ini. Ada beberapa siswa yang beranggapan bahwa sistem zonasi ini menyia-nyiakan hasil belajar selama 3 tahun untuk bisa masuk ke sekolah yang mereka idamkan, bahkan ada saja sentilan bahwa jika sekarang sekolah zonasi mungkin nanti pemerintah akan mengusulkan untuk cari jodoh berdasarkan zonasi juga?.. Duh dewa ratu.. [T]