Ada pengetahuan baru yang tersaji dalam dialog seni dan sederet permasalah yang mencuat ke permukaan pada Bali Gate #1 di Bentara Budaya Bali, Minggu 16 Juni 2019. Sebagai inisiator event adalah Gurat Institute yang dimotori oleh I Wayan Seriyoga Parta, Made Susanta Dwitanaya, Savitri Sastrawan, Purwita Sukahet, dan I Wayan Nuriarta.
Bali Gate dalam konteks kesenian dimaksudkan untuk membangun wacana jaringan kesenian juga kebudayaan di Indonesia Timur dimana Bali menjadi pintu masuknya sekaligus sebagai mediator ke wilayah Barat Indonesia. Sesi pertama menampilkan pembicara I Ngurah Suryawan seorang antropologi, Basri Amin seorang Sosiolog dan I Wayan Seriyoga Parta yang berprofesi sebagai kurator. Akan tetapi pada saat pelaksaannya Basri Amin nampaknya berhalangan hadir karena adanya sesuatu dan lainnya, sehingga pembicara hanya dua yaitu I Ngurah Suryawan bersama I Wayan Seriyoga Parta yang dimoderatori oleh Purwita Sukahet.
I Ngurah Suryawan menyampaikan materi tentang kebudayaan Papua dari kacamata antropologi. Topiknya adalah mengenai Mambesak sebagai gerakan seni budaya Papua. Mambesak sendiri memiliki arti burung Cendrawasih dalam terminologi lokal Papua, group ini dibentuk oleh Arnold Clemens Ap, Sam Kapissa, Yowel Kafiar, Maethinny Sawaki. Ide dasarnya adalah mengangkat kesenian rakyat Papua yang berakar pada lagu dan tarian rakyat pada kehidupan sehari-hari masyarakat Papua.
Lambat laun, Mambesak menjadi kian populer dan membangkitkan semangat kesadaran masyarakat Papua tentang identitas budayanya, namun pada 26 April 1984, pimpinan Mambesak yaitu Arlod Ap ditembak di pantai Pasir Enam karena dianggap menyemai benih separatisme Papua. Dalam paper yang ditulis oleh Suryawan menyatakan bahwa aparat keamanan saati itu, Koppasandha (Kopassus) mencurigai gerakan kebudayaan Arnold Ap.
Suryawan memulai penelurusan melalui Mambesak yang kemudian memaparkan hasil risetnya di bumi Cendrawasih, dalam pemaparannya kita disodorkan ragam pengetahuan tentang Papua dan kebudayaannya. Dalam kritik perspektifnya ia juga menyatakan bahwa realitas yang ada kini adalah Papua telah terhubung atau tertautkan dengan dunia global seperti pembangunan, investasi, sampai pendatang. Kebudayan dalam pandangan kini juga memiliki konotasi sebagai sebuah “proyek” untuk kepentingan ekonomi politik yang nyatanya banyak merubah kebudayaan Papua selain pandangan romantisme ketika berbicara Papua pikiran kita hanya terfokus pada koteka.
Tidak hanya tentang kehidupan sosial budaya, Suryawan juga menemukan dan berinteraksi dengan seniman Papua yang selain membuat ornamen juga melukis. Dalam presentasinya, dapat dilihat lukisan yang bertemakan sosial dengan menampilkan potrait wajah-wajah masyarakat adat dan tema keagamaan yang unik. Bagaimana tidak, salah satu slide powerpoint Suryawan menampilkan lukisan interpretasi the last supper yang populer di tangan Leonardo da Vinci di buat di Papua. Dalam hal ini menunjukan bahwa perkembangan peradaban dipengaruhi oleh sejarah kontak dengan orang lain, agama (Zending, Misis, dan Islam).
I Wayan Seriyoga Parta memaparkan tentang program-program yang ia rancang selama ini baik di Gorontalo maupun di Bali. Dalam paparannya ia mengetengahkan topik “Bali Gate”, meneropong perkembangan medan seni rupa Indonesia Timur. Dalam pemaparannya ia juga menyatakan bahwa wacana ini penting untuk diungkapkan kembali karena menimbang ke-Indonesia-an dalam seni rupa selama ini hanya berpusaran dalam arus wilayah pulau Jawa dan Bali. Umumnya, masyarakat memandang seni rupa diluar konteks medan sosial seni rupa Bandung, Jakarta, Yogya, dan Bali sebagai “seni primitif” padahal dalam narasi-narasi kecil di luar wilayah tersebut memiliki potensi kuat untuk dikembangkan dalam wacana global art. Ia menyatakan bahwa potensi daerah dalam konteks seni rupa sangatlah beragam dan hal inilah yang belum tersentuh oleh pemikiran kreatif dalam hal pengembangannya.
Yoga Parta juga membahas melalui metode yang komparatif dalam event-event yang digaungkan sebagai program agar menyentuh persoalan tersebut. Sebagaimana event yang digagas oleh Galeri Nasional seperti Art-Chipelago, ArsTropika, Bumi Tadulako, (mo)dulanga Lipu, Tupalo, hingga seri Pameran Besar Seni Rupa Indonesia yang konsentrasi terhadap wacana kedaerahan.
Ia memaparkan beberapa kendala dan suka cita dalam menggerakkan event-event skala lokal-nasional sebagai perbandingan dalam mempertimbangkan kembali pentingnya kesadaran membangun wacana kedaerahan seperti event Makassar Biennale 2015, Celebes Art Link 2018, Makassar Art Initiative Movement 2019, dan yang teranyar adalah Connectedness di Santrian Gallery, dan Berawa Beach Art Festival 2019. Yoga Parta memaparkan tidak sedikit tantangan yang harus dihapadi dalam membangun sebuah event yang pada intinya membangun dan menggerakan jaringan seni rupa yang tertaut pada kewilayahan di Timur Indonesia.
Di dalam sesi diskusi, para peserta dialog seni ini menunjukan antusiasme, sekitar 30-an peserta diskusi yang hadir di Bentara Budaya Bali dari sore hari hingga malam. Seni ini membuka dua sesi diskusi yang dijatah tiga penanya atau penanggap di masing-masing sesi. Sesi pertama ada Iwan yang bergerak dalam bidang LSM yang konteks pertanyaannya mengenai strategi agar anak-anak muda dapat menyadari pentingnya kebudayaan sebagai sebuah ruh bagi pembangunan, selain itu dalam konteks Papua, adalah posisi adatnya yang dikomparasi dengan keadaan di Bali.
Di sisi lain ada Triakta Bagus Prasetya yang nampak risau dengan keterputusan informasi dari acara diskusi yang permasalahannya hanya selesai di ruang diskusi, terlebih dalam konteks wacana adalah bagaimana mengembangkan sayap informatif yang digaungkan dalam ruang diskusi agar mampu didengar oleh masyarakat luas. Kemudian disambung oleh Siswandewi yang menanyakan lebih dalam mengenai Mambesak Papua, dan cerminan psikologis seperti apa yang tersaji dalam aransemen musik maupun gerak-gerak tarian masyarakat Papua.
Sesi kedua dimulai oleh pertanyaa seorang perupa Gusti Wis perihal pentingnya identitas kelokalan di dalam membangun dan menggaungkan kedaerahan hingga sampai di dengar oleh masyarakat global. setelahnya adalah kawan dari Sumbawa bernama Golenk yang juga nampaknya sedikit gusar dengan kesejarahan Mambesak dalam membangun kesadaran kebudayaan lokal yang kemudian dianggap sparatis oleh pihak tertentu. Dan terakhir adalah Sudiani yang menanggapai betapa rumitnya permasalah yang dihadapi dalam pengembangan kebudayaan oleh daerah dalam konteks ini adalah Papua dan bagaimana relasi seniman muda dengan perupa senior di Papua.
Sesi diskusipun menjadi semakin hangat dengan tanggapan dan jawaban dari dua pembicara. Ada beberapa kata kunci yang muncul dalam dialog ini, seperti adanya “anomali” dalam pencarian identitas kelokalan dalam konteks Papua, seperti keinginan untuk mengangkat identitas komunal akan tetapi di sisi lain lebih mengasosiasikan diri dengan budaya luar sebagaimana musi rap yang sangat digemari di Bumi Cendrawasih. Kata kunci lainnya adalah “identitas x tourism”, “pentingnya pendidikan dan pengetahuan”, “survival dan pemetaan” dalam konteks kasus seni rupa Gorontalo dan Makassar yang memiliki potensi besar, “strategi” hingga “konvensi” yang harus dilakukan dalam wilayah akademik.
Bagaimanapun juga “after effect” atau “post-event” seringkali diabaikan, dua kata kunci ini menjadi penutup diskusi tentang bagaimana menyebarkan informasi kepada publik luas tentang apa yang telah terjadi pada momentum waktu juga peristiwa yang terjadi. Sebagaimana pemahaman baru tentang seni dan kebudayaan Papua yang telah disampaikan oleh I Ngurah Suryawan juga wacana “Bali Gate” yang digaungkan kembali oleh I Wayan Seriyoga Parta. Wacana akan menjadi besar ketika terjadi perbincangan juga perdebatan yang berkesinambungan sampai melahirkan wacana baru dan tercatat dalam lini masa, sebagaimana Bali Gate #1 menarik garis waktu dari Makassar-Gorontalo hingga Papua yang masuk dalam ranah dialog seni di Bali.
Pohmanis 2019