BENTENG
Mayat yang tertidur itu kaku. Tak terkubur
tak berumur.
Ia telah mengenal kekalahan dengan nafsi,
dan tahu pasti, ia akan segera dihukum mati
Tetapi ia tetap tatap berdiri
Wahai! Nikmatilah wajahku yang segar ini
Datanglah kalian para serdadu negeri
dan tembaklah aku dengan nyeri,
katanya, sebelum senapan menembus dahinya
Memang ia pernah mendengar sebelumnya
nujuman ini, akhir ihwal ini
ia melihat garis edar hari,
membaca peruntungan dan
percayalah ia kini,
lengannya akan mengantarnya
ke kuburan!
Di luar pagar,
hasratnya, yang tinggi bagai
tumpukan jerami,
menyala lagi
Ia mengenang kembali
demarkasi
antara ujung-pangkal
kekalahan dan kemenangan
Tetapi ia tetap tatap
tidak bergerak
Pada akhirnya kematian itu nisbi
Di dalam dadanya berkecamuk rasa pasi
Maut menjadi kemudi
dan ia temukan mayat dirinya
kaku. Tak terkubur. Tak berumur
Di luar benteng dan tembok gergasi
2015 – 2018
CHAPLIN
Dengarkanlah aku yang sungguh-sungguh
kebingungan ini; seperti si bisu
bagai badut tolol, menggunakan
tangan dan simbol untuk
bicara kepadamu dan terus-terusan
karam dalam mimpi ketika tersenyum
Bibir yang tak pernah dihuni suara ini
Berbicara padamu dengan simbol
lambaian tangan;
kau tak akan menemukan aku bernyanyi
di depan panggung atau memaki
bayanganku di depan cermin sendiri
Maka dengarlah aku dalam jiwa gelap
dari mulut-mulut gulita yang
bernyanyi tanpa tepi, o, menjadi si kembar
dari kesunyian ini.
Sementara engkau menyanyi, meraung
di dangau-dangau, dalam ratap merayu,
menelan hilang suaraku
Kau tak akan pernah menemui aku bernyanyi
di depan panggung atau memaki
bayanganku di depan cermin sendiri
bertanya-tanya, menanyakanku; adakah akhir
bagi jiwa yang lebih silam dari gulita?
Sebab kini telah aku tanggalkan bunyi yang
kerap menjadi musuhku, dan telah
kunyawakan gerak yang menunjukan
jalanku
2012-2018
EPISODE
Bagi seorang pemurung sepertiku
jagat ini seluas rasa sedihku.
Mimpi-mimpi bertumpukan
mengarah ke satu peti mati:
Aku akan mati.
Dari celah kakiku kini menyelip
putih bulir pasir
pasir beribu, kering, dan sedikit
berbatu.
Muramlah cakrawala senja hari
muramlah si jelita
di bawah cerlang cahaya:
habis terbakar matahari
yang selalu terbit di awal hari
Matahari, kuntum luna yang jingga,
sulaman nyawa
nyanyian fana
di kegelapan
Dari sipit mataku
tercermin kebekuan malam
kerak masalalu menetas
menyerupai lentera perak
mengubah hati menjadi riak
Akan kutunggu engkau menjemputku
Engkau yang menaburkan emas di rerumputan,
Engkau yang beringas memberi titik sebelum
kata terakhir,
Engkau yang bersembunyi di semak berimbun,
di penghabisan jiwa yang tertegun,
di mana setiap raga menemukan pemukiman
paling kuat.
Dan begitulah
pagi akan mulai kembali
daun-daun mengatup berjatuhan
bara abu seluas lautan
gentar pada tiang-tiang
mimpi dan pengharapan
bertumpukan di peti mati
O, alangkah sunyi mati.
2013