Hari kelulusan siswa SMA/SMK sudah berlangsung beberapa waktu lalu. Betapa kelulusan itu disambut rasa senang mendalam. Aksi corat-coret baju seragam masih jadi tradisi, sepertinya tak bisa dilarang, meski banyakjuga yang menyambut kelulusan dengan sikap ideal: berpakaian adat dan sembahyang.
Di laman media sosial foto-foto siswa-siswi dengan seragam yang dicorat-coret tetap bertebaran. Diunggah dengan bangga, meski tetap mengundang berbagai tanggapan, pro maupun kontra. Hari kelulusan yang ramai.
Beberapa siswa yang perempuan juga berpakaian seksi. Seakan seperti model. Mengenakan kaca mata hitam, turut konvoi bersama siswa laki-laki. Mereka berubah menjadi “penguasa” jalanan.
Mereka tentu tidak salah. Aksi itu dimaklumi karena momentum tamat SMA/SMK adalah pintu kebebasan dari sekolah menengah untuk menuju masa depan yang cerah dan mandiri. Mereka sudah dewasa. Yang melanjutkan pendidikan akan melenggang ke pintu masuk perguruan tinggi.
Nah, di sini persoalannya. Tampaknya euforia corat coret dan konvoi bebas saat lulus sekolah menengah itu tak sepenuhnya bisa dianggap bahwa mereka sudah siap bergerak ke depan, melangkah tegas untuk mencari perguruan tinggi. Mereka (tentu tidak semuanya) tampaknya masih gugup untuk melangkah ke perguruan tinggi, bahkan kemandirian mereka tentu masih patut diuji.
Pelamar perguruan tinggi di tahun ajaran 2019/2020 ini terbilang cukup banyak. Ini bisa dilihat dari data pelamar yang masuk ke perguruan tinggi. Mereka berasal dari berbagai daerah, dan memilih berbagai program studi idaman, mulai dari program yang sepi sampai ramai peminat.
Saya adalah salah seorang petugas di sebuah perguruan tinggi negeri yang bertugas melayani informasi penerimaan mahasiswa baru. Dan saya merasakan sebuah ironi.
Ada pergeseran dalam proses pendaftaran dari zaman dulu hingga zaman milenial ini. Dulu ketika pendaftaran dilakukan zaman masih manual. Form masih diisi dengan tinta, lalu bolak-balik dari rumah ke kampus untuk setor ini setor itu. Apalagi jika ada yang salah.
Kini di zaman gadget, zaman online, zaman nirkabel dan nirbolakbalik, tampaknya sejumlah pelamar yang disebut-sebut sebagai generasi milenial, masih banyak tak punya nyali, seakan tak siap menghadapi zaman yang serba klik ini. Banyak justru orangtuanya menjadi “wakil” dalam proses melamar perguruan tinggi.
Orang tua, bahkan kakek dan nenek, sibuk mencari informasi pendaftaran, mulai dari jalur pertama sampai akhir. Istilah orang Bali, sampai tektek bengek diurusin.
Hal demikian tak hanya ditanyakan via telephone. Beberapa orangtua datang langsung ke kampus. Tak sendiri, namun langsung mengajak sang anak (pelamar). Cukup geleng-geleng melihatnya. Sang orangtua yang sibuk mencari informasi, sang anak sibuk utak-atik HP. Entah apa yang dicari. Dalam hati jadi bertanya, yang ngebet kuliah, orangtua apa si anak.
Tak hanya orangtua, kakek nenek pun ada yang masih mengurusi pendaftaran anak-anak “zaman gadget” itu. Bertanya informasi pendaftaran dan sebagainya via SMS dengan bahasa santun. Dalam hati, saya bertanya lagi, si cucu, HP-nya dipakai apa setiap hari. Informasi sesungguhnya sudah bisa diakses dengan mudah lewat website. Di media sosial lain juga cukup masif di-publish.
Kini, proses pendaftaran sudah terbilang mudah. Semua online. Bisa dari rumah, mungkin sambil ngeteh, ngopi atau sekadar ngemil. Anehnya, ada yang seolah berpikir terbalik. Minta pendaftaran manual. Layaknya sepuluh tahun lalu. Belum tahu, kurang satu dokumen saja, bisa masuk angin bolak-balik ngurusin.
Budaya literasi pun kadang menjadi pertanyaan. Ada yang sudah mengaku mengunduh syarat-syarat pendaftaran, termasuk dokumen yang nantinya diunggah. Tapi justru kembali bertanya apa isinya. Jujur, ingin teriak membaca pesan singkat yang dikirim via WA itu. Tapi takut dosa.
Tentu tak semua pelamar seperti itu. Banyak juga pelamar yang mandiri, mulai dari mencari informasi hingga mendaftar dan mungkin saat kuliah tak perlu diantar orang tua untuk cari kos atau bahkan masuk kelas.
Ada yang berani datang sendiri, mengurus sendiri seluruh keperluan sebagai calon mahasiswa. Mungkin juga pelamar itu yang ikut corat-coret seragam sekolah dan turut konvoi di jalana, mungkin juga anak seperti itu memang mandiri sejak SMA.
Jika melihat pelamar seperti itu, saya optimis juga bahwa masih banyak generasi muda yang tak hanya bisa corat coret mewarnai bajunya setamat SMA. Mereka pasti juga akan mewarnai dunia dengan prestasinya. [T]