- Aladdin (Disney, 2019)
- Director: Guy Ritchie
- Writers: John August (screenplay by), Guy Ritchie (screenplay by)
- Stars: Will Smith, Mena Massoud, Naomi Scott
Adegan dibuka dengan laut biru yang membentang luas, dan dua kapal yang berlayar. Satu kapal tampak mewah dan satu kapal lagi tampak sederhana. Di perahu sederhana itu, dua anak kecil berandai-andai mereka memiliki perahu mewah itu. Ayahnya lalu mengalihkan perhatian kedua anak itu dengan mendongeng. Dan dongeng Aladdin dimulai.
Aladdin versi terbaru ini menghadirkan banyak kejutan, banyak nilai-nilai kemanusiaan, tentang arti hidup, cinta, kekuasaan, kejujuran dan persahabatan.
Isu Feminisme
A whole new world. Aladdin menyajikan suara dan tawaran baru dalam film yaitu memberi porsi suara perempuan terdengar lantang dan didukung serta diwujudkan. Aladdin adalah sebuah film live action produksi Disney yang menggebrak dunia dengan nuansa feminisme yang kental.
Princess Jasmine, diperankan sangat meyakinkan oleh Naomi Scott, digambarkan sebagai seorang putri raja Agrabah yang telah mempersiapkan diri sebagai raja, dengan mengenali rakyatnya lebih dekat, mengenal wilayahnya dengan baik, mempelajari hukum serta memiliki sebuah visi tentang menjadi seorang pemimpin yang adil.
Sebuah harapan dan tawaran baru dalam dunia dongeng klasik, dimana perempuan biasanya hanya digambarkan sebagai objek cerita, bukan subjek yang memiliki suara dan kekuatan. Dalam versi animasinya pun Princess Jasmine sesungguhnya digambarkan sebagai perempuan yang lemah lembut dan tidak memiliki visi, namun di Aladdin ini Princess Jasmine memiliki suara dan visi yang sangat kuat.
Naomi Scott sangat berhasil memerankan Princess Jasmine, ia tidak tampil berlebihan, namun semua emosinya tertakar sempurna. Ia tampil natural dan seolah-olah telah ‘menjadi’ Princess Jasmine itu sendiri. Apalagi dia memang menjadi sentral cerita, yang memberi ruang padanya untuk tampil lebih menonjol bahkan dibandingkan Aladdin (diperankan Mena Massoud) sendiri.
Tampaknya memang isu feminisme diusung untuk memberi sebuah penguatan akan pentingnya kesetaraan gender dalam konteks film ini, yaitu kekuasaan yang digunakan secara adil. Sebelumnya di Kerajaan Agrabah, untuk ribuan tahun lamanya, Undang-undang tidak mengijinkan perempuan menjadi raja. Hal inilah yang digugat oleh Princess Jasmine. Dia merasa tidak hanya laki-laki yang berhak menjadi raja, perempuan pun bisa jika diberi kesempatan.
Gugatan ini telah tersirat di awal cerita bahwa Princess Jasmine tidak ragu turun ke pasar, mengecek langsung kondisi rakyat. Dalam konteks seorang putri raja yang biasa dikurung di istana, berkeliaran di pasar dengan melihat realita rakyat jelata yang miskin, adalah sebuah keganjilan. Namun inilah yang kemudian membuat dia bertemu Aladdin, pencopet ulung yang biasa dijuluki tikus jalanan, yang membantunya lolos dari kepungan penjaga pasar.
Dalam percakapannya dengan Aladdin di rumah Aladdin yang sederhana, ia merasa bahwa dia terjebak dalam kondisi yang tidak banyak berubah, hampir sama dengan kondisi Aladdin. Bedanya, Princess Jasmine berada dalam istana dengan segenap hukumnya, dan Aladdin dengan kehidupan jalanannya yang juga tak pernah berubah dari waktu ke waktu.
Jin yang Manusiawi
Kehadiran Will Smith menjadi sebuah kekuatan cerita dalam film ini. Tidak hanya berperan sebagai jin yang jenaka, namun nilai-nilai yang ditawarkan oleh Genie menjadi pemikiran yang menarik. Terutama filosofi kehidupan, arti permohonan dan arti persahabatan, arti cinta dan arti kekuasaan, arti kejujuran dan kepalsuan. Dapat dikatakan bahwa karakter Jin disini sangat manusiawi dan malah lebih manusiawi dari manusia sendiri. Ia memikirkan hal-hal yang di luar konteks jin dan mengajari manusia menjadi manusia.
Misalnya ketika Jin menjelaskan Aladdin tak bisa meminta tiga hal yakni menghidupkan orang mati, membuat orang jatuh cinta, dan membunuh orang. Itu jelas pelajaran penting bukan untuk Jin, melainkan untuk manusia.
Aladdin meminta dijadikan pangeran. Dan dari situlah kelucuan-kelucuan manusiawi tergambarkan. Misalnuya kekonyolan adegan pertemuan pertama Pangeran Ali dengan Princess Jasmine yang sangat menggelikan.
Pangeran Ali tidak bisa menyebutkan harta apa yang dibawanya, malah dia menyebutkan benda-benda tak berarti seperti sendok kecil, selai buah buahan dan lain-lain. Dan Jin memberi pelajaran: bahwa Jin hanya bisa menyulap tampilan luarnya, bukan kepribadiannya. Ia harus belajar lebih percaya diri dan meyakinkan.
Adegan yang ditunggu-tunggu tentu saja ketika Princess Jasmine bersama Aladdin menelusuri dunia baru yang ajaib dengan karpet terbang. Ini menjadi sebuah adegan yang sangat romantis dan kuat. Benar-benar a whole new world.
Plot Twist
Plot bergulir dengan kenyataan pada akhirnya Genie harus kecewa karena Aladdin terjebak pada kebohongannya dan takut rahasianya terkuak. Dalam kekecewaan itu, jin kembali masuk ke dalam lampu, dan Aladdin teledor hingga lampu jatuh ke tangan Jafar (diperankan dengan apik oleh Marwan Kenzari).
Dalam sebuah jalinan plot twist yang meyakinkan, digambarkan Jafar menggunakan lampu ajaib untuk menjadikannya Raja. Dalam sekejap iapun menjadi raja. Kerajaan berubah muram.
Semua orang tunduk padanya termasuk Raja yang sesungguhnya, Hakim dan Princess Jasmine. Semua menunduk dan diam. Dalam kondisi yang sangat mencekam, Princess Jasmine melakukan tindakan heorik dengan mengutarakan pikirannya lewat lagu Speechless dengan sangat memukau, intinya Princess Jasmine tidak akan membiarkan ketidakadilan terjadi di Agrabah.
Kecerdasan plot twist hingga akhir cerita tentu tak lepas dari penulis naskah dan sutradara Guy Ritchie. Ritchie menulis naskah ini dengan John August dan mampu membuat kejutan demi kejutan yang logis dan menegangkan.
Ending yang Mengharukan
Pelajaran dari sebuah dongeng klasik yang terus menerus terasa baru biasanya terdapat pada ending. Ketika Aladdin punya permintaan terakhir, dia tidak meminta Jin menjadikan dirinya sebagai raja. Ia mengorbankan kesempatan untuk mendapatkan perempuan yang diidamkannya.
Pelajaran lain adalah ketika sang Raja yang telah sadar bahwa kerajaannya telah bebas dari kuasa Jafar yang jahat, memberikan kekuasaan kepada Princess Jasmine untuk menjadi Raja dan mengubah hukum dengan mengijinkan seorang perempuan menjadi raja. Princess Jasmine bahagia dan dia memilih sendiri siapa yang menjadi suaminya. Karena perempuan tak hanya memiliki suara namun juga memiliki pilihan.
Sementara perempuan lain di film ini, dayang atau pelayan Princess Jasmine bernama Dalia yang diperankan dengan sangat baik oleh Nasim Pedrad, juga menjadi karakter perempuan cerdas yang tidak hanya melayani Princess Jasmine namun memberikan suaranya dengan mengajukan pertanyaan atau pertimbangan-pertimbangan kepada Princess Jasmine. Dia juga berani memilih lelaki yang “tak biasa” untuk jadi pendampingnya.
Secara umum, seluruh pemain bermain sesuai dengan porsinya dan dua pemain yang sangat menonjol tentunya adalah Naomi Scott dan Will Smith.
Naomi sangat menguasai perhatian dan emosi saya ketika dia menyanyi Speechless terutama di adegan ketika Princess Jasmine hampir kehilangan semuanya, kerajaannya, impiannya, dan ayahnya juga orang-orang yang dia percayai. Saat itu lagu Speechless menjadi sebuah kekuatan yang bisa mengubah dunia dan kita penonton merasakannya. Kegetiran emosinya dan tekanan yang dia hadapi. Ia bersama kita berdiri melawan ketidakadilan. Kita seperti menemukannya mewakili suara kita yang tak terdengar.
Begini lirik chorusnya:
I won’t be silenced
You can’t keep me quiet
Won’t tremble when you try it
All I know is I won’t go speechless
‘Cause I’ll breathe when they try to suffocate
me
Don’t you underestimate me
‘Cause I know that I won’t go speechless
Disinilah visi besar yang tertangkap dalam film ini, bahwa perempuan memiliki suara dan pilihan, terutama perempuan cerdas. Bahkan perempuan dapat mengubah dunia.
Tidak hanya Naomi Scott, Nasim Pedrad (pemeran Dalia) juga sangat kuat memerankan pelayan setia Princess Jasmine yang tidak sekedar menjadi pelayan, namun sahabat yang memiliki andil dalam mendukung dan menguatkan Princess Jasmine.
Ia dihadirkan bukan sebagai tempelan namun sebagai karakter yang turut menjalankan cerita. Dalia juga punya suara dan pilihan bahwa dia mencintai Jin dan memilihnya menjadi suaminya. Suara ini terdengar lantang dan ia menyuarakannya lewat tindakan memilih yang cerdas pula.
Kritik Tersembunyi
Adapun kritik tersembunyi di film ini barangkali kehadiran Prince Anders dari Skanland, yang dibuat terlihat agak kikuk dan terlihat bodoh. Dari semua karakter di film ini, Prince Anders-lah yang berkulit putih, sementara hampir semua yang lain berkulit coklat dan hitam. Hal ini semacam gugatan pada Hollywood yang selama ini sangat “putih” dan cenderung kurang memberi tempat pada “kulit berwarna”, menjadi lebih berwarna dengan kehadiran pendatang baru yang bukan “putih” atau “pucat”.
Naomi Scott adalah aktris berdarah Inggris dan India, Mena Massoud adalah aktor berdarah Mesir Kanada, Marwan Kenzari berdarah Belanda Tunisia, dan Will Smith aktor berkulit hitam dari Amerika. Hollywood yang biasanya diejek dengan “Hollywood is so white” now is not so white anymore. Semua warna non putih ini mengingatkan sebuah warna baru yang menjanjikan di Hollywood.
Benar-benar a whole new world. Bravo Aladdin, eh Princess Jasmine! [T]