UPACARA MUARA TELUK BENOA
(karena kau telah minum, putu satria kusuma)
putu, apakah kau minum tuak, arak, atau …?
mari minum saja di sini, putu!
ini lapak tuak pan sondri
kau belum tahu itu!
tuak yang disadap dari darah dan air mata nenek moyangku
perih terasa memang
tapi mari dan mari bersulang di sini
tenggak habis seberapa kau bisa
sambil bernyanyi – nyanyi mengingat masa lalu
yang penuh gairah menggelandang
(kau dan aku sudah tahu telah banyak kehilangan)
lihat!
perempuan – perempuan malam
satu persatu menanggalkan pakaiannya
menari telanjang dalam buih
dalam bumbung – bumbung tuak
sihirnya silaukan mata
tanganku tanganmu
gemetar menjamah setiap liukan tubuhnya
bulan terkapar di tempayan
anak – anak pesisir teluk benoa
dengan bara api di tangan
mencari – cari jejak moyangnya
ke celah – celah bakau di pasang air payau
“bulanku! bulanku! berlabuh di manakah malam ini?
sunyi malam sedari tadi selalu sunyi!”
jika nanti teluk benoa ditimbun
sungai – sungai kehilangan muara
ke mana sampan mesti menepi
(kau dan aku kehilangan sumber mata air nenek moyang
di tanah sendiri)
malam biarkan semakin larut dan mengental
biarkan perempuan – perempuan menari sampai lupa diri
biarkan semuanya!
ayo, putu! mari minum ini tuak di sudut gelap
biar tahu rasa bagaimana sakitnya moyang
menjaga tanah warisan ini
untuk kau dan aku, untuk anak cucu kelak
ayo minum, putu!
biar lupa semua!
kau dan aku berenang dalam gelisah ombak pesisir
tak berdaya melawan bahasa kuasa
mari bersulang!
mari bersenang-senang!
mari minum!
untuk kemudian
kau dan aku tidak tahu ada di mana
dan bagaimana matahari esok!
(pesisir serangan 2016 – 2017)
UPACARA TERAKHIR
(“lata mahosadhi,
kau harus tahu
tanah moyangmu adalah tanah tembunimu sendiri
tanah yang diupacarai!”)
(1)
dari balik kabut
siapa memainkan bayangku
serupa anak lanang yang menenggak bergantang tuak
berselancar menunggang birahi ombak
terhempas di pasir – pasir pesisir serangan
kerut wajah nelayan di sini
nampak semakin kusut dan keruh
tergusur setapak demi setapak
dari tanah moyang yang disengketakan
(2)
ini hari
jangan ada yang mengirim seteru
buat anak cucu
di atas kulit biawak
kutulis mantra purba dengan huruf purba
kau membacanya berulang ulang
luruh tenung sakti balian kiwa
para peri menampakkan pasang air payau
akar bakau menyusup ke sumsum – sumsum senja
matahari begitu kelam menggantung di langit jingga
para nelayan pesisir teluk benoa
tak tahu mesti di mana menambatkan sampan
jalan pulang di tepi muara tak nampak lagi
setelah kabut kegelapan menutup kaki langit
(3)
duh!
bape rembang! bape rembang!
sesaat setelah bumbang ditabuh di bale banjar
ke mana made teruna menabuh gambelan?
ke mana ni nyoman bajang menari rejang?
pratima para dewa telah kembali ke bale agung
dengan upacara masegeh
bulan teronggok di padang – padang senyap
bulakan tak lagi menampung mata air
asap pedupaan menjadi redup
dan aku kehilangan rona langit
perang pandan orang – orang pedalaman bali
tak mengucurkan darah
buat membasuh luka tanah moyang
(4)
duh! anak lanangku!
saat gerhana di puncak meru
tabuhlah lesung di pekarangan
rajah lidahmu
rajah ubun – ubunmu
panggillah bulan!
panggillah matahari!
rapal mantra – mantra purba
dengan suara paraumu
halau semua seteru
jimatmu benang tridatu
dan tapak silang di ulu hati
jika malam semakin berkabut
dan mantra para seteru semakin mengental
sulut api sorot matamu
nyalakan perapian leluhur
jadikan padang kuru
karena ini pertaruhan terakhir
antara kau dan seterumu
menjaga tanah yang memeram tembunimu
duh made teruna! duh ni nyoman bajang!
akankah kau menyerahkan begitu saja
apa yang masih tersisa dari sisa yang terampas?
(4)
di wajah tuaku
tergurat kegetiran hidup anak cucu
tanpa tanah moyangnya
(pesisir serangan, 2014
denpasar, maret 2018)
DI BULELENG AKU TERDAMPAR DI PANTAI LINGGA
siapa menyalakan matahari senja
cahayanya memantul di bening mataku
teriak sayup menyelinap di antara puluhan batu nisan
dan padang ilalang
ada batu karang kokoh diterjang ombak
seperti memahatkan wajah perjakaku
untuk kemudian hilang begitu saja
terserap dinginnya angin laut
wahai, pantai yang senyap!
deburan ombak semakin menghilang
langit merah berubah kelam
ada bayang menampakkan diri
meninggalkan jejak di pasir – pasir hitam
aku melacak jauh
wahai, pantai yang senyap!
kau tabuhkan bara di degup jantungku
laknat yang kusembunyikan
membuncah pecah di sela – sela kecipak buih
yang menjilati birahi purba
wahai, pantai yang senyap
panggung tarian perempuan bergigi emas
gincunya merah tebal
penuh senyum
mimpi apa yang kau tawarkan malam ini?
(buleleng 2016)
DI PESISIR PELABUHAN BULELENG
aku tak lagi menyapamu
setelah melaut jauh
sampan purba nenek moyang yang kukayuh
menepi digiring angin utara
jangan ada yang tanya
ke sarang mana burung – burung senja pulang?!
laut begitu bening dan tenang
tak keruh dan meronta seperti degup di jantungku
ini membuatku tak betah menantimu
sampan yang kukayuh semenjak kanak – kanak
dengan tali-temali yang usang
kutambatkan pada tiang – tiang dermaga yang rapuh
tanpa jimat tanpa upacara penghormatan
biarkan saja riak air menembang akhir perjalanan ini
mengiringi tarian jiwa yang berlabuh di lidah api
aku mau pulang
ke rumah yang tak kutahu tempatnya
seperti pasir dihempas kecipak air
selalu menepi entah ke sisi mana
di pesisir pelabuhan buleleng
aku menunggu matahari tenggelam
bersama kelam
kulepas bayang sendiri di air
untuk kemudian hanyut dibawa arus pasang
menuju muara yang tak kutahu namanya
saat itu
aku tak lagi menyapamu
(buleleng 2016)