Pada masa pra-agrikultur, manusia mungkin tak mengenal istilah “pulang”, sesuatu yang berlalu sebagai sesuatu yang telah hilang. Tak ada tradisi untuk kembali. Barangkali mereka juga tak benar-benar memiliki masa lalu.
Dan, dengan tak memiliki masa lalu itu, mereka menjadi begitu tangguh. Tak ada tempat yang menyimpan kenangan. Tak ada tempat yang menyisakan romantika untuk diratapi kembali. Tak ada ruang sebagai sesuatu yang lampau dan membayang.
Satu tempat tak lebih sebagai batu loncatan ke tempat yang lain. Atau barangkali yang terjadi adalah sebaliknya, terlalu banyak tempat, terlalu banyak masa lalu, tetapi jiwa petualang mereka enggan untuk berjalan kembali ke belakang, ke sebuah ruang yang bernama “pulang”.
Manusia berpindah dari satu tempat ke lain tempat, sesuai kondisi alam dan ketersediaan bahan pangan. Hidup berburu dan menjadi makhluk nomaden. Apa yang dimilikinya, benda-bendadari alam yang mungkin dianggapnya cukup berharga, sesekali ditinggalkan begitu saja bersamaan dengan ditinggalkannya tempat itu.
Tapi bukan sebagai penanda untuk tempat itu sendiri dan kelak akan dicarinya dan ditempatinya lagi, melainkan sebagai kenang-kenangan untuk yang datang ke tempat itu di hari kemudian. Untuk ditafsirnya akan jejak siapakah kiranya.
Atau, yang secara instingtif mulai sadar estetika, mereka membuat kenang-kenangan melalui susunan batu sehingga menimbulkan keindahan tertentu. Dekorasi alam, penyusunan tulangbelulang, senjata yang begitu sederhana, coretan-coretan di dinding gua berupa gambar mirip binatang atau gambar tangan sebagaimana yang ditinggalkan manusia dari Gua Lascaux. Itulah manusiadari zaman Paleolitikum yang sudah mengenal estetika. Salah satunya dari kebudayaan Abris sous roche.
Meskipun sudahsadar estetika sebagaimana manusia dari kebudayaan Abris sous rochemereka tetaplah manusia nomaden, manusia yang berpindah-pindah dan tak mengenal pulang. Mereka tinggal di gua-gua untuk sementara waktu, untuk berlindung dari ganasnya musim atau hewan liar yang mungkin sulit ditaklukkan dan punya potensi membahayakan diri mereka.
Mereka tetap pergi, bukan pulang. Tapi dari persinggahan-persinggahan sementara, rumah hasil buatan alam yang dijadikan tempat temporer itu kesadaran manusia pada estetika mulai terbentuk, secara lebih praktis di kemudian waktu dikenal sebagai seni. Mulanya kesadaran itu hadir untuk mengisi waktu senggang dari aktivitas berburu, saat istirahat di gua-gua.
Dan, meskipun sudah sadar estetika—dalam bentuknya yang paling sederhana dan fungsinya sebagai pengisi waktu semata—mereka masih sebagaimana para pendahulunya sesama zaman batu yang belum sadar estetika, yaitu belum sadar “tradisi berumah”. Mereka pergi lagi ke lain tempat, selain meninggalkan kenang-kenangan estetik, juga meninggalkan sampah dapur atau kjokkenmoddingeruntuk yang datang belakangan.
Tapi waktu tak membiarkan semuanya tetap. Kawanan nomaden-pemburu dari era neolitikum, megalitikum,zaman logam, berevolusi menjadi manusia agrikultur setelah melewati waktu ribuan tahun. Seiring perjalanan waktu yang panjang itu pula mereka mulai mengenal peralatan yang lebih baik dari sebelumnya untuk menunjang tradisi dan cara hidup yang lebih baru, yaitu bertani.
Prinsip manusia pun kemudian berubah secara fundamental. Dari kaki-kaki petualang liar menjadi kaki-kaki jinak rumahan. Mereka berdiam di rumah karena ada hal yang mengikat, yaitu ladang dan tumbuhan-tumbuhan yang telah mereka tanam. Ataupun kalau mereka pergi kini mengenal istilah “pulang”. Sejauh bagaimanapun mereka beranjak, ada tempat yang selalu meminta untuk ditengok kembali.
Mereka terikat tempat yang dianggap sebagai masa lalu sekaligus masa depan. Tidak hanya secara fisik, jiwa manusia agrikultur menjadi berbeda dengan pendahulunya. Mereka terkekang dan mereka menjadi melankoli. Mereka bergantung pada musim dan berharap kebaikan alam. Bukan menghindariatau menantang alam, atau mencari alam yang lebih menguntungkan.
Ketika masyarakat agrikultur semakin mapan—atau mungkin sampai puncaknya—sebagai ‘pencarian’ cara hidup manusia selama berabad-abad, ternyata agrikultur bukanlah pencarian terakhir manusia terhadap cara hidup itu sendiri. Usai melewati revolusi kognitif yang dimulai ribuan tahun sebelumnya, sampailah manusia pada revolusi industri sebagai imbas dari minat besar manusia pada sains yang terus mengalami perkembangan dan kemajuan dari abad ke abad.
Cara hidup pun ikut berubah. Lebih kompleks dan lebih menggelisahkan ketimbang manusia pemburu yang cara hidupnya begitu sederhana dan tingkat kegelisahannya hanya datang saat-saat mendengarkan auman harimau atau melihat tanda-tanda badai besar akan terjadi.
Era agrikultur posisinya mulai berada di belakang. Industri yang terus tumbuh semakin hari semakin pesat membutuhkan banyak tenaga. Begitu banyak tenaga manusia yang diperlukan. Manusia berubah orientasi dari sektor pertanian ke industri—dalam masa yang tak terlalu jauh juga ke sektor jasa. Manusia menjual tenaga mereka, jasa mereka, menjadi buruh, menjadi kuli, menjadi pekerja.
Mereka berduyun-duyun dari kampung ke kota, dari satu kota ke kota lainnya. Mereka terpanggil oleh “cara hidup” zamannya. Mereka meninggalkan rumah, meninggalkan kampung halaman, meninggalkan pertanian mereka, menjual kota-kota pertanian mereka ke mahkluk raksasa yang bernama industri. Mereka mengembara ke wilayah-wilayah lain. Menetap dan tidak lagi nomaden seperti leluhurnya di zaman megalitikum, karena ada satu mangsa yang diburu dan tak ada habis-habisnya.
Hal ini berbeda berbeda dengan para nomaden-pemburu di zaman batu yang mangsa-buruannya lebih bersifat dinamis. Di satu tempat kijang bisa saja semakin mengecil populasinya atau tingkat bahaya suatu daerah begitu tinggi, mereka harus mencari tempat lain yang lebih memungkinkan.
Sedangkan model perburuan masyarakat industri tidak lagi demikian. Mereka tidak lagi memburu binatang yang melata dan berjalan di bumi, atau berenang di air dan terbang di udara—yang seiringnya waktu bisa saja punah karena terus dibunuh—melainkan memburu “cara hidup” itu sendiri.
Meskipun sama-sama pemburu, manusia zaman industri sama sekali berbeda dengan manusia zaman batu. Tapi tak benar-benar berbeda dengan manusia zaman agrikultur. Kota, desa, kampung halaman, rumah, yang sudah mereka tinggalkan demi sebuah “panggilan” cara hidup, ternyata tak benar-benar mereka tinggalkan.
Ritme kerja para pemburu di zaman industri yang begitu tinggi, kompleksitas hidup yang terus bertambah, perubahan-perubahan yang bersifat artifisial dan fundamental terjadi hampir setiap hari membuat mereka jengah karena watak mereka yang masih agrikultur, watak manusia rumahan yang begitu ramah.Mereka seperti tercerabut dari akarnya, dari sifat fundamentalnya manusia rumahan sebagaimana para leluhurnya yang masih murni berada di tradisi agrikultur.
Klimaksnya mereka mengalami alienasi dengan “cara hidup” yang ditemukan oleh zamannya. Seperti para leluhurnya di zaman agrikultur murni, mereka begitu melankoli dan romantik atas suatu tempat yang mereka sebut “tempat pertama.” Mereka selalu merasa terpanggil untuk kembali ke sana, untuk pulang, meski suara yang memanggilnya tak lebih berasal dari sesuatu yang ilusif sebagai efek dari alienasi itu sendiri.
Mereka masih mewarisi gen manusia agrikultur, yang selanjutnya tetap selalu merasa tak bersahabat dengan kehidupan yang dijalaninya beserta cara hidup itu sendiri. Lalu timbulpemberontakan terhadap realitas. Mereka membesar-besarkan masa lalu, kenangan dan tempat pertama. Lantas mereka melanjutkan tradisi pulang. Meski kepulangannya (sebagaimana kepergiannya) hanya demi menjalanisatu perasaan asing ke perasaan asing lainnya dalam dirinya.
Mereka merasa diri mereka berada di persimpangan “cara hidup” antara sebagai pemburu yang berpindah tempat dan menetap sementara di satu tempat sebagaimana leluhurnya di era Batu, dengan sebagai orang rumah yang selalu mengenal istilah pulang sebagaimana leluhurnya di era agrikultur. Mereka pulang dan pergi, antara berburu dan kembali ke tempat pertama, meskipun pada akhirnya dua aktivitas itu menjadi sesuatu yang sama-sama asing.
Selamat Mudik. Kembali ke udik, ke sisa reruntuhan eraagrikultur. [T]