Tahun 2019 ini Pemkab Tabanan kembali menggelar mudik gratis bagi Umat Islam. Gelaran mudik yang digagas oleh Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti ini sudah delapan kali dilaksanakan.
Seperti biasa, ketika berita mudik ini diunggah di media sosial respon warganet beragam. Ada yang mendukung dan paling banyak saya lihat memberikan respon miring.
Dari sekian banyak respon miring yang saya lihat di medsos, satu kesan saya tangkap dari pesan itu: Pemkab Tabanan memberikan perhatian lebih kepada umat Islam dan kurang simpati dengan warga Tabanan non-Islam.
Selain itu, komentar soal membandingkan jalan rusak dengan program mudik gratis ini pun ada. Bahkan, ada permintaan dari warganet agar saat Galungan mendapatkan perhatian dari Pemkab Tabanan. Paling tidak mendapatkan daging babi gratis.
Perdebatan di dunia maya, khususnya facebook selalu mengundang perhatian saya. Sikap warganet yang kontra dengan kebijakan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti menarik, tapi adalah hal biasa.
Pada program mudik gratis 2019, Pemkab Tabanan menggunakan CSR atau dana dari perusahaan, bukan dana APBD.
Jika saya menjadi pengusaha yang dimintai dana oleh Pemkab Tabanan untuk mudik gratis yang berkisar pada angka Rp 100 juta, pastinya sangat mau jika dibandingkan harus memperbaiki jalan rusak yang jumlahnya puluhan kilometer atau harus menyediakan daging babi bagi seluruh umat Hindu di Tabanan.
Kalau anda yang membaca tulisan ini kira-kira gimana?
Ketidakpuasan warganet muncul ketika jalan masih rusak di Tabanan. Pemkab Tabanan dinilai gagal mengatasi persoalan turun-temurun ini.
Selain itu, keuangan Tabanan yang saat ini defisit pasti menambah kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah daerahnya.
Meski begitu, toh Bupati Eka tetap konsisten dengan program mudik gratisnya. Entah apa yang dicari? Apakah ikhlas memberikan bantuan atau bupati asal Banjar Tegeh, Desa Angseri, Kecamatan Baturiti memiliki agenda lain?
Namun, sebagai sosok yang kontroversial Eka Wiryastuti tetap bisa melenggang sebagai Bupati hingga dua periode. Bahkan pada Pemilu Legislatif 2019, partai yang mengusung Bupati Eka menang besar di Tabanan.
Jika Eka Wiryastuti bisa dipilih untuk kali ketiga sebagai Bupati di Tabanan, saya sangat yakin beliau akan kembali menjabat.
Melihat dari jumlah pelaksanaan mudik gratis Pemkab Tabanan pada 2019 sudah delapan kali, berarti program ini dilakukan oleh Bupati Eka ketika menjabat sejak periode pertama.
Nah, ketika kebijakannnya menimbulkan kontroversi bahkan mendapat cibiran warganet, kenapa Bupati Eka bisa dua periode?
Ok, jika partai yang mengusung Bupati Eka di Tabanan kuat. Pendukungnya banyak, simpatisannya militan, kenapa tidak ada koreksi atau evaluasi dari masyarakat?
Apakah partai pendukung Bupati Eka tidak menyerap aspirasi masyarakat yang mengeluh seperti warganet? Bisa jadi aspirasi warganet tidak masuk daftar dari partai pendukung Bupati Eka.
Atau mungkin, warganet yang tidak bisa membuat perubahan dan hanya riuh di media sosial saja.
Adanya ungkapan “nak dauh tukad” dan menonjolnya sentimen keagamaan membuat saya khawatir dengan framing pemberitaan acara mudik gratis Bupati Eka.
Apakah politik identitas begitu kuat mengakar pada masyarakat kita?
Saya mencium media memanfaatkan kontroversi Bupati Eka dan isu politik identitas yang menguat pasca Pemilu Presiden.
Seksi
Soal agama memang sangat seksi di Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh Ariel Heryanto, guru besar di School of Culture, History and Language, The Australian National University, Australia bahwa politik indentitas di Indonesia menonjolkan soal agama.
Gambaran terkait dengan Orde Baru yang berkuasa sekitar 32 tahun di Indonesia. Islam yang dibungkam, terlalu sekuler dan berkiblat ke Amerika menimbulkan efek domino ketika Orde Baru runtuh. Salah satunya mungkin menguatnya politik identitas.
Di Bali pasca Bom 2002 tekanan terhadap penduduk pendatang non-Hindu meningkat secara fisik dan administratif (Nordholt, 2010: 49). Sentimen tersebut terpupuk dan berkembang hingga saat ini.
Politik indentitas ada di mana saja dan timbul ketika ada pihak yang merasa tidak mendapatkan saluran untuk menyuarakan pendapatnya. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dari negara, instansi publik bahkan partai politik.
Persoalan infrastruktur dan tata kelola di Tabanan harus mendapatkan perubahan, itu sangat wajib. Lebih penting lagi masyarakatnya harus berani melakukan perubahan, karena media sosial tidak akan membawa perubahan, khususnya di Tabanan. [T]