Judul kali ini saya tulis agak panjang. Soalnya beberapa teman katanya suka yang agak panjang. Kata mereka yang panjang membuatnya semakin penasaran. Sekali membaca yang panjang, mereka inginkan lagi-lagi-lagi-dan lagi. Maka untuk memuaskan rasa penasaran itu, saya ajukan satu judul seperti tertera di atas sana. Isi tulisan kali ini, begini:
Malam hari pada tanggal 24 Mei 2019 terdengar dentuman. Seseorang di sebelah saya berkata, “itu suara Gunung!”.Ia berkata demikian, hanya karena mendengarkan suara tanpa melihat langsung gunungnya. Orang-orang sekitarnya mulai memikirkan yang ia sebut “suara Gunung”. Lalu mereka hening. Tidak terkecuali saya.
Anak kecil di sebelah saya menanggapinya dengan berbeda. Dibukanya youtube, lalu dengan kata kunci Gunung Agung Live seketika ditemukannya situasi ter-up-to-date tentang Gunung Agung. Ternyata yang dikatakan bapak-bapak paruh baya tadi benar. Gunung Agung erupsi. Kejadian itu cukup membuat saya memikirkan kembali bahwa yang dapat dipercaya bukan hanya mata, tapi juga telinga. Bahkan menurut orang-orang pintar, segala jenis pengetahuan spiritual berawal dari telinga.
Pelan-pelan dijelaskannya tentang hubungan telinga dan ilmu spiritual. “Sru dalam bahasa Sanskerta berarti dengar. Sruti berarti segala yang didengar. Unsur halus yang digunakan untuk mendengar bernama Sruta, letaknya di telinga. Makanya telinga juga disbeut Sruta Indriya”. Jadi pengetahuan bernama Sruti itu didengar oleh telinga. Di Bali kan ada juga jenis pengetahuan seperti itu. Bukan Sruti sebutannya, tapi pawisik.
Pawisik itu, ya suara yang pelan dan dibisikkan ke telinga. Saking pelannya, tidak sembarang orang bisa mendengar. Hanya orang-orang yang sudah terlatih pendengarannya bisa mendengar bisikan yang sangat halus itu. Karena tidak banyak yang melatih pendengarannya, maka tidak banyak pula yang bisa mendengar bisikan super halus. Tapi tidak kurang juga orang mengira mendengar bisikan ilahi, tahu-tahunya yang didengar adalah suara konflik pikirannya sendiri. Makanya anak lingsir dulu bilang, hati-hati!
Keesokan harinya [25 Mei 2019] adalah Tumpek Landep. Tumpek adalah hasil pertemuan dari dua perhitungan hari. Dua perhitungan itu adalah lima [tri wara] dan tujuh [sapta wara]. Terjemahan istilah triwara[tri berarti tiga]menjadi lima,sengaja saya lakukan untuk meramal siapa yang masih hafal tentang istilah-istilah itu. Sekaligus untuk mengetahui siapa yang benar-benar khusuk membaca tulisan. Kan banyak yang konon suka baca, tapi tidak banyak yang suka khusuk. Baru baca judul, serasa sudah paham isi. Banyak yang begitu? Kita tahu sendiri jawabannya.
Tumpek itu pertemuan antara Saniscara [boleh dibaca Sabtu] dan Kliwon. Ada enam Tumpek yang disesuaikan dengan perhitungan wuku [ada 30 wuku]. Keenam tumpek itu adalah Landep, Wariga, Kuningan, Krulut, Uye dan Wayang. Konon keenamnya memiliki filosofis tersendiri. Landep itu artinya tajam, seperti senjata. Motor, mobil, alat kerja, HP, juga diberikan kain dan sejenis banten. Tujuannya saya tidak tahu, tapi begitulah kebanyakan.
Belakangan banyak juga tulisan beredar tentang makna-makna hari itu. Semuanya terlihat cerdas dan meyakinkan. Katanya tumpek itu begini, tumpek ini begitu. Pokoknya semuanya sangat menyegarkan karena menyediakan tafsir-tafsir atas apa yang banyak dilakukan orang. Saya sendiri tidak coba melihat apa itu Tumpek, apa maknanya, tujuannya dan lain sebagainya. Saya lebih suka memperhatikan orang yang menafsir kata-kata itu dan kalau beruntung, juga ingin melihat apa yang dilakukannya pada saat Tumpek. Soalnya seringkali, apa yang kita katakan sangat sulit kita lakukan. Lebih-lebih jika berhubungan dengan tradisi yang konon seperti buah mangga.
Ya, saya lebih tertarik dengan cara orang menghubungkan teori-teori dengan praktik. Entah apa penyebabnya, mungkin hanya karena alasan subjektif sendiri. Saya juga memandang, antara yang paham teori dengan yang tidak, dari luar terlihat sama saja. Tradisi lama berjalan, tradisi baru pun lahir. Keris, tombak pusaka dirias, dibersihkan dan diberikan tempat yang layak secara biologis maupun mistis. Mobil, motor, sepeda gayung, dan lain sebagainya juga demikian. Keduanya berjalan apa adanya, dengan atau tanpa tafsir.
Tapi ada satu hal lain di balik berbagai tafsir yang ada. Hal itu adalah semacam kerinduan tentang penjelasan yang bisa dipahami. Pemahaman biasanya dibarengi dengan keyakinan. Dan tiap keyakinan adalah kebenaran. Setidaknya kebenaran bagi yang meyakininya. Jika ada yang berkonflik karena keyakinan, yang sedang terjadi adalah konflik tentang kebenaran sendiri.
Menurut banyak guru, konflik itulah yang akan melahirkan sesuatu yang baru. Bahkan bukannya tidak mungkin, “sesuatu” yang baru lahir itu justru yang lebih diyakini dari pada sumber asalnya. Jadi jangan heran.
Gunung Agung erupsi. Tumbuhan di sekitar saya yang jauh dari gunung agung, ditutupi abu. Tumpek Landep tanggal 25 Mei 2019 ini dipenuhi harapan agar hujan turun [karena menurut keyakinan beberapa orang, setiap tumpek biasanya hujan]. Yang dikhawatirkannya adalah padi-padi yang sudah hamil. Jangankan ditutupi abu, diselimuti kabut saja padi-padi itu bisa mati pelan-pelan. Pinggiran daunnya memerah lalu kering seperti terbakar. Padahal kabut itu dingin seperti air, tapi kenapa malah membakar? Mungkin benar kata kumpi, di dalam air itu ada api!
Abu memang masalah bagi sebagian orang dalam kondisi tertentu. Tapi hari itu di tempat saya berada, hujan tidak turun. Harapan agar hujan turun belum surut. Seorang petani sangat yakin bahwa Ida Bhatara Gunung Agung akan memberikan anugerah yang disebutnya swecan widdhi. “Widdhi sudah adil”, begitu keyakinannya. Hari itu hujan tidak turun, meski keyakinan pada widdhimasih ada.
Minggu, 26 Mei 2019 menurut perhitungan wariga adalah Redite Umanis Ukir. Beberapa keluarga ngodalinpada hari itu. Diyakini hari itu sebagai waktu pemujaan kepada Hyang Pramesti Guru atau Bhatara Hyang Guru. Pagi-pagi mulai turun gerimis. Gerimis jatuh seperti benang-benang halus. Harapan yang kemarin belum tercapai, sekarang mulai terjawab. Barangkali “swecan widdhi” itu memang ada. Tapi balada petani belum berakhir. Katanya, “hujan gerimis tidak mampu menjatuhkan abu gunung yang melekat di daun padi. Abu itu akan bersih, hanya jika hujan deras. Tiang tidak mau memohon banyak, cukup satu jam saja”.
Satu jam saja. Seperti lagu-lagu melankolis ABG-ABG. Lalu hujan turun deras setelahnya. Senyum mereka merekah. Abu yang tadinya menjelma jadi bayangan menakutkan, kini sudah dibersihkan hujan. Bahkan menurutnya, abu itu nanti bisa jadi pupuk alami yang bagus bagi tanaman padinya. Saya hanya diam karena tidak mengerti, suka-duka itu memang dipisahkan oleh tirai yang sangat tipis. Mungkin itu yang disebutnya swecan widdhi yang turun pada wuku Ukir. Ukir juga berarti gunung.
Tentang abu, ada ajaran yang menarik tentangnya. Sebuah pustaka kuno menyebut-nyebut abu ini sebagai sarana penyucian. Bahkan konon ada mantra khusus untuk abu. Setelahnya, para pemuja itu akan melumuri tubuhnya dengan abu. Zaman sekarang, mungkin masih ada yang melumuri tubuhnya dengan abu. Tapi tidak seluruh tubuhnya. Melainkan hanya pada tengah-tengah keningnya. Pada tempat itu juga orang meletakkan bija setelah nunas tirtha.
Gunung Agung menurut keyakinan adalah pusat bunga Padma Bhuwana. Di pusat itu pula didirikan tempat pemusatan bernama Padmasana. Entah apa warna bunga Padma itu saya tidak tahu. Kelopaknya konon ada delapan yang menyebar ke seluruh penjuru mata angin. Tafsir memang selalu begitu. Ia menghubungkan satu hal dengan hal lainnya dengan pengetahuan.
Sehabis menafsir itu, saya berpikir, bagaimana jika kita pindah dari tempat yang banyak gunung ini kemudian tinggal di wilayah yang datar tanpa pegunungan. Dimana harus saya cari Padma itu? Saat kebingungan seperti itu, saya berlindung pada shastra dengan membaca puisi terjemahan karya Syekh Fattaah berjudul Ayunan Asmara.
wahai pencinta dengarlah,
jangan boroskan hidupmu,
cari-cari dalam dunia,
yang terdapat di hatimu […]
Begitulah tulisan kali ini. Saya tidak tahu lagi harus menulis apa karena pengetahuan yang kurang. Kurangnya silahkan tambahkan, lebihnya silahkan kurangi. Ingat! Ini bukan basa-basi. [T]