Di Pantai Utara
Celukan Bawang
Tiga nelayan menatap laut
matahari bias di matanya.
Ikan-ikan mengeram sunyi
mengenyam sebagian rahasia
saat buih paling tua
melibas kaki mungil si bungsu.
Karang jauh,
ayah belum berlabuh
Bilik bambu ditetak angin
satu ketapang tumbang
dari mana datang petaka
sebab muasal kita tak terpeta.
Datanglah, datanglah
bulan Sampar, akhir tahun
api unggun, tikar pandan,
ikan bakar, sayur lodehbuatan istri
malam bertamu, duduk bersila
dua gelas tuak, satu batang
mimpi-mimpi penuh dirajam
hal-hal telah diterjemahkan.
Jangkar berkarat di pasir,
rumpon kering ditenggat
Barakuda terjebak di jaring
doa-doa berlayar ke seberang.
Seekor ikan melompat
tubuhnya jadi tanah
matanya jadi benih
tumbuhlah-tumbuhlah.
Laut hanyalah kita
menyamar kemungkinan
batas-batas cahaya.
Oktober 2018
Rumah Dermaga
Doa-doa larung menuju,
perahu rumput laut
di sepuh ombak lunglai
seperti rambutmu
basah, saat bulan ketiga tiba
di dermaga.
Kutemukan segenggam waktu
labuh disengaja
detaknya perlahan,
bisik daun kepada angin
pengembaraan sebentar berakhir.
Sementara dirimu
ibu kepiting, tersesat di lorong pasir
bersembunyi dari deru tongkang,
lapuk nelayan, jala basah tak bertuan
sedang kau susun mantra
datang badai sesekali
agar terang ufuk kehilangan.
Di rumah cahaya sunyi 32 watt
air laut pasi merayu cadik
tidakkah rindu masih berlayar, keluhnya
kawanan ubur-ubur pelangi
manambat pesan dari palung
kita akan baik-baik saja
hanya saja, sejarah milik siapa.
Dalam pekat lekat itu
akhirnya kutemukan juga
sisa diriku mengapung, pecah
entah bertuju.
Januari 2019
Sepasang Hujan
Jakarta
Sepasang hujan
jatuh di dahi
menelusur mata
pipi, dagu, dada, perut
lalu berhenti di depan rumahmu.
Sesungguhnya aku ingin pulang
menyeruput kopi buatan ayah
menyimpan pahitnya
prasangka duka di saku
senyum ibu bergegas
riang-riang di sela selamat datang.
Rajutlah musim hujan
siapa tahu hangat di pinang
sepanjang keyakinan masih utuh,
luruh.
Siang-siang penuh sesak
trotoar mukim usia
kaki awas dipijak
gerimis jatuh sekali lagi
dengarlah denting seng karat,
kardus rumah basah,
ada yang hanyut di sungai
mungkin aku, tapi tubuh
masih satu di angan-angan.
Di hari berikutnya
matahari – bulan tidak punya nama
langit – awan tanpa perhitungan
jejak jejak jalan menuju pulang
berpura-puralah seolah tak ada siapa
aku masih di sini.
musim hanya sisa-sisa
menunggu
tersengal.
Desember 2018 – Mei 2019
Nini Dari Kedonganan
Saat matahari mengingkari janjinya
kepada gunung dan laut
Nini datang dari selatan
membawa keranjang-keranjang pindang
tas selempang, juga batu timbangan.
Kemudian disusun seperti menara
tapi tidak lebih tinggi dari wajahnya
agar Nini dengan leluasa bercuap
mencuri kesesatan para pelanggan
setidaknya ia lupa bau amis
jalan-jalan basah pasar Kumbasari.
Nini memulai dirinya
laut telah menubuh
kutemukan, aku menjelma karang
tempat ikan-ikan sirip kuning
bercinta sepanjang musim angin utara
sementara nelayan dituntun lumba-lumba
meniru tarian rumput laut
memohon hujan berhenti
agar ombak kembali
ke gua-gua paling purba di hatimu.
Jangan sia-siakan.
Baginya ujung pagi
ialah mata-mata ikan menganga
meminta asin malam di pesisir,
ada burai usus, insang, tulang belulang
juga beberapa lalat hijau
menitip telur-telur anyar
di sela-sela hiruk pikuk umpatan
canda gurau, tangis sendu
serta rayuan tukang parkir
dan tentu saja kopi telah dingin
pisang goreng tinggal satu.
Jangan tanyakan Tuhan,
himbau Nini kepada yang datang
ia duduk di sampingku
saat matahari berjanji mengingkari .
Februari 2018
Anakmu, Ratna Manggali
“Ibu, genggamlah luka-luka
agar esok jadi bunga dan doa”
Kabut putih dari gunung
menangkap bulan dan setapak
bergegas, lekas, setiap kau pergi,
terjagalah diri menjadi legenda
desa-desa dari timur.
Seperti malam-malam sebelumnya
kucari ibu di celah hutan bambu
seekor musang menatapku tajam
ada cemas gelisah menari-nari
seperti kupu-kupu merah
terbang di atas rumah kita.
Sampai kapan, ibu di sana ?
deru dendam tetap sama,
nafas kita berkejaran
kemudian beriringan,
barisan semut hitam
menuju rumah di tanah seberang
Lembah-lembah tua di ujung desa
ranting randu menakar langit
lonceng gemerincing jauh
desis mantra memanggil-manggil.
Sudah ibu sepakati hari kematian.
Ibu,
Aku tahu genggam bara, asalnya
ricik air akan menuntunku kesana
jika ku tanam puisi
rindang daun, sejuk hari-hari
di atas akar coklat
yang menjulur ke permukaan
mari kita tenun waktu
jadi lukisan danau atau sungai
tempat ikan ikan menuju liang
menitip benih di bebatuan
Aku paham.
April – Mei 2019