- Judul: Menanam Puisi di Emperan Matamu
- Penulis: Wayan Esa Bhaskara
- Penerbit: Mahima Institute Indonesia
- Cetakan: Desember 2018
- Tebal: xi + 106 halaman
- ISBN: 978-602-51560-3-8
—
Dalam tiap perjalanan selalu ada benturan atau gesekan rasa dan nilai entah dari dalam atau dari luar. Ada yang sekadar berjalan, ada yang merasakan, ada yang mencatat, dan ada yang mencatat rasa-rasa yang mengilhami sukma perjalanan itu. Media tiap orang mencatat perjalanan-perjalanannya tentu relatif. Entah catatan berbentuk tulisan buku harian pada umumnya, dikemas dalam bentuk foto atau video, dan tentu ada segelintir yang mengabadikan perjalanannya dalam bentuk sastra tulis lirik, yaitu puisi.
Pada momen ini, saya diberikan kesempatan untuk menonton catatan perjalanan dari Wayan Esa Bhaskara yang juga adalah seorang penulis giat. Manifestasi catatan perjalanan beliau dikemas dalam bentuk buku kumpulan puisi lirik yang bertajuk “Menanam Puisi di Emperan Matamu”. Mari kita menyelam rasa dan berjalan bersama dengan beliau melalui kumpulan sajak yang sudah dibukukan tersebut.
“Menanam Puisi di Emperan Matamu” merupakan buku kumpulan puisi pertama Wayan Esa Bhaskara. Beliau terbilang adalah seorang penulis sajak yang giat. Menurut pengakuan beliau sendiri, periode produktifnya dalam menulis adalah tahun 2017-2018. Hal tersebut terjadi tentu juga karena adanya pengaruh lingkungan, dimana beliau menyelam dalam lingkaran-lingkaran kreatif sastranya yaitu Komunitas Cemara Angin, Komunitas Mahima, dan Teater Kalangan.
Hingga akhirnya pada tahun ini, kumpulan sajaknya yang dahulu terhimpit di dalam catatan dan laptopnya berhasil dibukukan dan diterjunkan ke khalayak, salah satunya adalah saya. Selamat untuk Wayan Esa Bhaskara sebelumnya, atas peluncuran buku kumpulan puisi ini.
Kesan pertama saya saat membaca beberapa sajak di dalam buku ini adalah, “saya sedang membaca buku harian seseorang”. Hal tersebut memang bisa dikatakan rasa yang umum terjadi ketika orang membaca sebuah buku antologi puisi. Tapi dalam buku ini yang menjadi menarik bagi saya pribadi adalah nuansa intim yang disuguhkan ketika awal membaca sajak-sajak ini. Nuansa tersebut hadir tentu didukung oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik dari sajak- sajak tersebut, diksi, pemilihan judul, penggunaan majas, dll.
Saya lebih senang menyebut kegiatan yang saya lakukan ketika menikmati buku ini adalah berjalan bersama si penulis daripada sekadar membaca sajak lirik. Pemilihan judul untuk tiap sajak bagi saya juga sangat terlihat akrab dengan butir-butir baris di dalamnya. Butir baris yang dialiri oleh kesederhanaan rasa dari penulis sangat menyatu disini.
Kecurigaan saya timbul ketika semakin berjalannya saya mengakrabi rasa dari baris-baris ini, adalah rasa yang terkandung di butir baris itu merupakan kepuasan pribadi bagi penulis itu sendiri, tanpa ada maksud tertentu yang lainnya. Tapi kehadiran rasa itu bagi saya pribadi terproyeksi dengan sangat baik bagi pembaca yang membaca sajak-sajak dalam buku ini.
Topik, momen, dan rasa yang diambil dari perjalanan beliau dan menjadi sajak-sajak ini, sebagian besar terbilang hal sederhana yang dibarengi juga dengan rasa sederhana yang kuat dari si penulis. Pemanfaatan momen estetis dalam kumpulan sajak ini sangat istimewa bagi saya. Sikap ketekunan dan kejelian penulis tentu memiliki andil besar dalam fenomena yang saya tangkap setelah membaca buku ini.
Bagi saya ada beberapa topik yang jika saya alami sendiri hanya akan menjadi angin lalu, tapi bagi Wayan Esa Bhaskara hal tersebut adalah momen penting dan bahan spesial baginya untuk diubah dan diramu menjadi sebuah sajak. Alhasil, hal itu menjadi keistimewaan maupun daya tarik dari sajak dan penulisnya bagi saya.
Jika kita bicara hakikat dari karya tulis, tentu pembahasan tersebut sarat tentang hasil penelitian, pengamatan, tinjauan dalam bidang tertentu yang disusun ke dalam media tulis secara sistematis dan estetis. Terutama topik yang kita bicarakan saat ini adalah karya tulis puisi. Disamping penjabaran secara teoritis tersebut, pandangan saya terhadap sebuah karya tulis (puisi) merupakan media bagi penulis untuk melahirkan dirinya lagi ke dunia.
Sehingga keberadaan manifestasi diri dalam bentuk karya tulis (puisi) merupakan cerminan dari penulis dan juga media bagi kita penikmat untuk mengenal penulis itu sendiri. Jika boleh dibilang ketika menikmati buku ini, saya secara tidak langsung sekaligus mengenal sosok dari Wayan Esa Bhaskara penulis dari sajak-sajak ini sendiri. Ketulusan, kesederhanaan, dan kelembutan. Ketiga kata tersebut adalah kesan pribadi saya tentang si penulis kumpulan puisi ini. Poin tersebut bagi saya merupakan kelebihan dari kumpulan puisi ini.
Buku kumpulan puisi ini membawa keistimewaan dari bagaimana cara pandang penulis tentang hal-hal yang mengisi perjalanannya. Bagaimana beliau memandang hal sederhana, seperti bagaimana ia memandang secangkir kopinya di pagi hari, bagaimana dingin malam yang ia lewati, dan yang teristimewa bagaimana ia memandang momennya bersama orang yang terspesial dalam hidupnya. Semua hal itu terkemas dengan apik dan hangat ke dalam tiap baris sajak yang ditulisnya. Pribadi, ini merupakan buku harian sederhana yang menakjubkan.
Baris-baris sajaknya yang penuh rasa itu juga diperkaya dengan diksi indah dan penggunaan majas yang menarik. Majas yang digunakan terbilang menarik karena berhasil membuat alis saya berkerut sebelum berhasil memahami apa dari maksud dari larik tersebut. Dilihat dari diksi puisi-puisi ini, beliau cenderung sering menggunakan kata mata.
Mata secara harfiah adalah organ yang digunakan manusia untuk melihat, dan sekaligus menjadi jendela dua sisi bagi manusia itu sendiri. Jendela untuk melihat isi dari manusia tersebut dan juga jendela bagi manusia untuk menerima apa yang terjadi dihadapannya secara visual. Penggunaan kata mata menjadi kuat dalam puisi ini karena makna dan nilai dari kata tersebut digunakan tidak hanya terjebak di dalam pakem definisi dari kata itu. Ini bagi saya merupakan perluasan fungsi salah satu unsur alat puitika yaitu citraan indera pengelihatan.
Buku kumpulan puisi “Menanam Puisi di Emperan Matamu” karya Wayan Esa Bhaskara merupakan konsumsi yang tepat bagi para pembaca yang ingin memenuhi asupan sastra mereka atau hanya ingin mengisi waktu senggang dengan membaca sebuah buku. Kesederhanaan dan sajak-sajak yang kaya akan rasa dan pengalaman mampu terproyeksikan dengan baik, selain itu buku ini secara pribadi dapat mengajak pembacanya untuk berjalan bersama dalam perjalanan-perjalanan yang tertuang dalam buku kumpulan puisi ini.
Sekali lagi, selamat kepada Wayan Esa Bhaskara atas suksesnya peluncuran buku kumpulan puisi “Menanam Puisi di Emperan Matamu”. Sukses selalu.
Akhir kata, saya ingin mengutip salah satu butir baris dari sajak “Mengaduk Pagi” dalam buku ini yang memberi kesan tersendiri bagi saya.
“Terus kuaduk secangkir pagi tanpa gula. Ritual setahun belakangan setelah mengenal senyummu. Beginilah, kunikmati hidupku. [T]