Ini adalah catatan aktor sebelum pementasan Komunitas Senja dengan judul “SANG GURU” adaptasi naskah monolog “Pidato 7 Menit” karya Hendra Utay, Sabtu, 18 Mei 2019 pukul 18:00 WITA. Pementasan ini dalam rangka “Program Penyajian dan Pembangunan Seni UPTD Taman Budaya Art Centre 2019”, di Gedung Ksirarnawa, Art Centre, Taman Budaya Denpasar.
***
Beberapa orang mengatakan, “Senja tidak akan padam, Senja belum terbenam”. Bagiku senja memiliki waktunya sendiri untuk merekah. Setelah terbentuk di akhir tahun 2014 oleh para sepuh (Hendra Utay, Heri Windi Anggara, Legu Adi Wiguna, Angga Tri Prasetyawan, Indra Mpol, dan Ryan Giggs), pementasan tunggal Komunitas Senja akhirnya akan terwujud meskipun masih memboncengi nama Teater Cahaya untuk urusan administrasi.
Pada proses kali ini, kami membawakan Sang Guru adaptasi naskah monolog 7 Menit karya Hendra Utay, mas-ku di teater. Orang yang paling sering ku ajak berselisih paham, tapi juga ku hormati. Mulai dari awal produksi pemilihan naskah, pemilihan tim produksi hingga aktor, terlepas dari seberapa jauh dikecewakan – mengecewakan, kami tetap berproses. Perdebatan-perdebatan yang sering kali terjadi adalah salah satu racikan penyedap yang tidak luput dalam suatu proses.
Bagiku berteater adalah sebuah keikhlasan. Tidak semua orang menjadikannya sebagai prioritas. Banyak prioritas lain yang mereka pilih. Apalagi kami adalah sebuah komunitas berdasarkan hobi yang tidak ada tuntutan seperti ekstrakulikuler zaman sekolah dulu. Jadi sah-sah saja bagiku kalau beberapa kawan-kawanku tidak bergabung dalam garapan kali ini.
Tantangan terbesar bagi sebuah komunitas umum adalah penyesuaian waktu dan jadwal kegiatan kami dengan hiruk pikuk yang berbeda-beda. Waktu selalu jadi tantangan bagi kami, tapi disanalah perjuangannya. Seperti yang selalu aku amini, berjuang untuk hidup, hidup untuk berjuang. Ada banyak yang diperjuangkan dan dikorbankan dalam proses kali ini, mulai dari ego, waktu, jam istirahat, dan kompromi terhadap hal ini-itu.
Pada garapan ini apresiasi terbesar aku tujukan kepada Sutradara, Komang Adi Wiguna. Ia biasa dipanggil Legu. Sebagian besar garapan ia selesaikan dengan merangkap sebagai penulis naskah, sutradara, penata musik, bahkan artistik. Semua kelompok maupun komunitas teater apapun itu pasti tidak terlepas dari rangkap-merangkap.
Begitu pula kawan-kawan lain yang merangkap ya aktor, ya tim produksi, seperti Mpol, Ryan Giggs, Bayu Reinhard, dan Eka WP. Aku pun begitu sebagai tim produksi yang mengurusi beberapa hal terkait pementasan, sekaligus memerankan Ibu Bendahara.
Karakter Ibu Bendahara yang aku mainkan adalah centil, manja, dan suka mencari perhatian. Kalau menurutku pribadi, karakter ini bukan aku banget untuk aku yang sedikit kaku, dan malu-malu. Entah bagaimana pandangan orang lain terhadapku, tapi ini adalah salah satu hal terbesar yang harus kuhadapi untuk memerankannya.
Dengan beberapa referensi yang ditawarkan, aku masih meragukan diriku sendiri. Pertanyaan semacam, “ah cocok ndak ya, ah ndak bes lebay aku ni”, selalu jadi pikiran. Ya… ketidakpercayaandiri selalu jadi penyakitku dari zaman dulu. Lebih mudah sepertinyanya menyampaikan rasa melalui bernyanyi. Sebab aku lebih sering bernyanyi ketimbang sebagai aktor.
Tapi bukan berarti aku ingin menyerah dengan pilihanku, jeg lagasin! Kalau katanya Mas Moch Satrio Welang yang beberapa kali mengarahkan kami ketika latihan, “Kamu selama ini menjadi peran yang sendu, sekarang harus buktikan kalau kamu bisa menjadi ody yang lain”. Semoga aku bisa menemukan dan menjadi segala kemungkinan atas diri-diriku yang lain, setidaknya tidak mengecewakan bagi diriku sendiri dan komunitaskulah.
Ini sudah menghitung hari menjelang pementasan, tulisan ini hanya pemikiran-pemikiran yang sekelebat teringat selama berproses Sang Guru, karena kadang aku adalah seorang yang buruk dalam mengingat, hehe. Yang terpenting, semua proses akan terbayar lunas nanti pada tanggal 18 Mei 2019 di Gedung Ksirarnawa Art Centre. Pementasan ini akan menjadi kali keempat ku menginjakkan kaki di gedung itu, tiga kali sebagai aktor, satu kali untuk bermusikalisasi puisi.
Tentu dengan peran dan sensasi ketegangan yang berbeda. Dan segala kekhawatiran dan keresahanku akan kubayar dengan perayaan pasca pementasan nanti, mungkin sampai ambang batas kesadaranku, mungkin juga tidak. Ah, kita lihat saja nanti. Sampai jumpa. Salam. [T]