Beberapa bulan yang lalu saya menjemput seorang teman ke bandara yang katanya akan menikmati jatah libur dari pekerjaannya di Jakarta. Seperti orang pulang kampung pada umumnya, teman saya membawa banyak barang. Mungkin baju atau oleh-oleh. Sebetulnya saya tidak peduli, sebab setiap pulang dari Jakarta dia selalu membawa banyak barang.
Jadi, saya tidak perlu kaget lagi. Ketika pulang, kami mencoba memasuki jalan-jalan kecil dari bandara menuju rumah. Rupanya kami tembus ke jalan Teuku Umar Denpasar. Kebetulan toko buku posisinya dekat dengan jalan itu. Saya mengajaknya singgah ke sana dengan barang bawaan yang cukup merepotkan dan dia setuju.
Tak perlu waktu lama di toko buku, kami kembali ke motor untuk melanjutkan perjalanan. Dengan barang yang dia bawa termasuk di kaki saya yang sudah diisi barangnya, tempat yang satu-satunya kosong melompong adalah bagasi motor yang cukup luas. Pertimbangan itu membuat saya berencana memasukkan beberapa buku yang saya beli ke bagasi. Ketika bagasi telah terbuka, lalu saya meminta buku yang sementara ia pegang.
Dia bertanya, “untuk apa?” Saya katakan bahwa sebaiknya buku ditaruh saja di bagasi, di bawah jok. Dengan tegas dia menolak, “Buku adalah Dewi Saraswati. Masak dipantati, aku bawa aja”.
Di perut teman saya ada sebuah tas, di punggungnya, dua tas ukuran sedang di tangan kanan dan kiri. Kondisi seperti itu membuat saya bingung, antara memberi saran menaruh dulu anggapannya, atau memberitahu anggapan saya.
Saya mengatakan bahwa tak ada maksud saya menduduki buku, tetapi barang bawaan yang berlebihan membuat saya berpikir pilihan terakhir adalah bawah jok, “Toh Tuhan pemaaf, nanti sampai di rumah kita minta maaf” ujar saya sambil tertawa, tetapi dia tetap bersikeras bahwa buku itu sebaiknya dibawa saja dari pada diletakkan di bawah jok. Akhirnya saya mengalah, toh yang beban bukan saya.
Sesungguhnya dia bukan orang yang ambisius dengan buku, hampir mirip dengan saya. Tetapi bedanya, kalau dia membeli buku kemudian selesai atau tidak bacaannya, beberapa hari kemudian akan dia berikan pada saya. Sementara saya, selesai tidak selesai buku dibaca, tidak akan saya berikan padanya.
Ketika kami melanjutkan perjalanan, tiba-tiba kami ingat sebuah warung nasi campur lawar. Kali ini kami sepakat untuk singgah. Saya banyak bertanya padanya tentang pekerjaannya, kelelahannya, waktunya bekerja, hingga gajinya. Kami cukup lama berbincang di sana—perbincangan yang saya rasa tidak terlalu serius.
Semua pertanyaan tadi dijawab dengan tertawa-tawa. Sampai pada akhrinya saya teringat lagi dengan kejadian di parkiran toko buku. Saya bertanya padanya, “kenapa kau begitu takut meletakkan buku di bawah jok?”.
Dia menjelaskan dengan berapi-api bahwa buku adalah representasi Dewi Saraswati. Tentu saja kali ini adalah kesempatan yang tepat untuk memberitahu alasan saya meletakkan buku di jok. Tentu alasannya bukan tentang barang bawaan melulu. Bagi saya, hal ini harus dijelaskan sebab apabila tidak dijelaskan, saya kawatir akan dicap tak percaya pada Tuhan. Cap seperti itu belakangan menjadi satu hal yang murah diberikan pada orang.
Saya mengatakan padanya bahwa buku adalah kumpulan ide secara tertulis. “Bahan Kertas itu apa?” tanya saya padanya. Saya bukan berusaha menguji, tetapi mencoba meyakinkan dari pertanyaan tersebut. Ia mengatakan bahan kertas adalah serat kayu. Tentu saya setuju. Saya bukan orang yang benar-benar tahu bahan dasar kertas sebab belum pernah berkunjung ke pabrik kertas, tetapi dari beberapa sumber yang saya dapat, ya, bahan dasar kertas adalah kayu.
“Kursi juga banyak dari kayu, tapi kita duduki, kok. Tidak ada masalah sama sekali dengan itu.” kata saya padanya.
Dia masih tidak menerima alasan itu dan tetap tidak setuju kalau saya menaruh buku di bawah jok. Dia pun mengatakan bahwa Dewi Saraswati itu ada pada tulisannya, bukan pada kertasnya saja. Jawabannya yang ini membuat saya benar-benar tidak setuju, sebab ada banyak tulisan di bangku ketika saya SD bahkan hingga SMA. Itu juga tak ada masalah. Bahkan, nama orang yang sedang jatuh cinta bisa jadi ditulis pada salah satu bangku. Betapa tulisan itu dianggap sesuatu yang sakral barangkali oleh penulisnya. “Tapi saya duduk dan tidak masalah, teman-teman saya juga” kata saya padanya.
Teman saya mulai menaikkan nada bicaranya. Saya agak curiga, yang membuatnya menaikkan nada bukan karena bantahan saya, tetapi karena lelah oleh perjalanan dan sambal nasi lawar yang pedas. Waktu itu air juga belum datang. Untung saya langsung berinisiatif untuk mengambil minuman dingin. Saat dia membantah, nadanya tinggi dan cukup keras, tentu saja saya beranjak menuju ke kulkas untuk mengambil sebotol minuman. Saya tawari dia minum terlebih dahulu.
Dia menurut, minum dan langsung dihabisinya minuman itu. Tetapi, nadanya masih tinggi ketika berkata, “buku adalah sumber pengetahuan! Buku adalah jendela dunia!”. Mengingat keadaannya, saya menyetujui saja lalu mengambil minuman dingin lagi untuk diri saya sendiri. Pembicaraan ini saya hentikan karena takut membuatnya tak nyaman ketika di perjalanan nanti.
Hingga kini, sesungguhnya saya masih beranggapan buku dengan pandangan saya. Buku sama dengan kursi, dengan motor yang didominasi produk Jepang dan tak pernah ragu untuk diduduki, dengan kloset jongkok atau duduk merk Amerika, dengan sandal dari negara-negara lain. Bedanya buku berbicara ide secara tertulis. Memang buku memberi pengetahuan, tetapi apabila diperhatikan, hal yang paling dekat sekali pun, kursi misalnya, tanpa tulisan nakal anak sekolahan pun sesungguhnya adalah ide yang berbentuk.
Mungkin kursi memang telah memiliki nilai sebagai tempat duduk, tetapi dalam konteks ketika saya menaruh buku di bawah jok, bukankah itu sesungguhnya bukan suatu kesengajaan untuk mendudukinya?
Saya pikir motor pun memiliki kesamaan dengan buku. Orang bisa belajar dari buku, begitupun dari kursi dan motor atau joknya. Tetapi, saya rasa tak ada hari istimewa untuk kursi, kecuali bentuknya yang diadopsi menjadi pelinggih. Tetapi ada hari istimewa untuk motor, itupun tak jadi alasan untuk ragu duduk di motor.
Sampai di rumah, saya kemudian pergi ke sebuah ruangan untuk mengambil air minum dan makanan ringan. Saya melihat ke pelangkiran yang ada di ruangan itu. Pandangan saya langsung tertuju ke sana sebab saya lihat ada tumpukan canang segar yang cukup tinggi dan asap yang keluar dari dupa. Buku tebal bertuliskan Bhagavad-Gita yang rupanya menyebabkan tumpukan canang semakin tinggi.
Kebetulan, ketika itu ada kedua orang tua saya. Saya bertanya siapa pemilik buku itu. Ibu saya menjawab, bahwa itu bukunya. Lalu saya bertanya, “Sudah dibaca?”
“Belum” katanya santai sambil mengunyah nikmatnya nasi lawar dicampur kuah serapah yang saya bawakan. Sementara dupa masih menyala semakin pendek di bawah canang, di bawah buku. [T]