Di awal tahun 2019 Minikino yang diwakilkan oleh Edo Wulia selaku direktur festival, berkesempatan untuk pergi ke Short Film Market terbesar di dunia.
Short Film Market ini adalah bagian dari festival film pendek, Clermont Ferrand International Short Film Festival (CFISFF) di Perancis. Festival film pendek ini termasuk yang terbesar dan tertua di dunia, berlangsung sejak 1979. Di Perancis sendiri festival ini merupakan festival film terbesar kedua setelah Cannes Film Festival, atas perbandingan jumlah penonton dan kehadiran para profesional di bidang terkait.
CFISFF secara resmi menyatakan bahwa setiap tahunnya festival mereka dihadiri lebih dari 160.000 (Seratus enam puluh ribu) pengunjung ditambah 3.500 (tiga ribu lima ratus) profesional, termasuk para filmmaker dan produser. Selain aktivitas pemutaran film dan diskusi, festival ini juga terkenal dengan program Short film Market yang telah dijalankan sejak 1986.
Edo Wulia mengatakan, dalam masa kunjungannya pada tanggal 1 sampai 8 Februari 2019 di Clermont-Ferrand, tercatat bahkan lebih dari 4.000 profesional hadir tahun ini.
Short Film Market atau Pasar Film Pendek di CFISFF memiliki definisi lebih lanjut daripada sekedar kata “pasar” yang kita kenal sehari-hari. Film Market yang dimaksudkan di sini adalah sebuah ajang pameran (showcase) yang diikuti berbagai badan yang terkait dengan festival film dari berbagai belahan dunia.
Badan-badan pemerintah yang berhubungan dengan pengembangan film pendek untuk pengembangan budaya dan industri pariwisata jugamelibatkan diri dalam acara ini. Ajang film market CFISFF secara efektif digunakan untuk berbagai pertemuan dan pembentukan jaringan kerja sama, serta pertukaran informasi global di bidang seni, budaya dan pariwisata.
Short Film Market pada dasarnya diadakan untuk mendorong nilai ekonomi dari sebuah film pendek. Namun pergerakan ekonomi yang terjadi dalam kegiatan pasar film pendek di CFISFF tercipta setelah terbentuknyajaringan kerja global antar filmmaker, festival, distributor, serta badan-badan kenegaraan yang terkait.
Di sinilah seluruh pekerja yang terkait dalam ekosistem film pendek berkesempatan bertemu, berdialog dan mengadakan rapat formal maupun informal. Nilai ekonomi yang dibangun sifatnya jangka panjang dan dengan pemahaman yang lebih mendalam daripada sekedar sebuah kegiatan jual dan beli retail yang kita kenal sehari-hari.
Menurut Edo, sisi komersil film pendek di dalam Short Film Market memang disinggung sebagai salah satu tujuan ketika beberapa perusahan distribusi dan stasiun televisi di beberapa negara, terutama yang berada di region Eropa memang memiliki kemampuan untuk membeli hak tayang dan distribusi. Namun sisi ini relatif merupakan aktivitas khusus (segmented) dan bukan menjadi tujuan pertama dari kebanyakan instansi yang hadir.
Kunjungan kerja Edo Wulia selaku Direktur Festival Minikino Film Week ini dapat terlaksana berkat dukungan pendanaan perjalanan yang diberikan oleh Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) Republik Indonesia.
Dalam laporan tertulisnya Edo kepada BEKRAF RI, Edo mengatakan:
“Saya elihat langsung bagaimana penyikapan negara-negara Eropa dan juga berbagai negara dari region lain yang hadir di Clermont-Ferrand, termasuk Asia yang pada tahun 2019 ini terwakili oleh Korea, Jepang dan Taiwan, saya langsung tergelitik membandingkannya dengan pencapaian Indonesia dalam bidang produksi dan eksibisi film pendek.
Walaupun belum ada yang meraih penghargaan utama di Clermont-Ferrand, namun beberapa film pendek produksi Indonesia sudah beberapa kali masuk dalam sesi kompetisi. Begitu bergengsinya festival ini, sehingga untuk ikut dipertimbangkan dalam sesi kompetisi festival ini saja sudah merupakan sebuah kebanggaan.
Ketatnya seleksi dan standard film-film pendek yang tampil, saya menyaksikan bagaimana festival besar ini menyikapi dan menghormati karya-karya film yang berhasil lolos ke sesi kompetisi. Demikian juga antusiasme penonton merayakannya sebagai sebuah pencapaian yang membanggakan ketika layar-layar raksasa tersebut kemudian memproyeksikan film-film pendek yang luar biasa ini.”
Dalam kunjungan ini Edo Wulia juga semakin menyadari bagaimana Indonesia masih memiliki “pekerjaan rumah” yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Untuk ikut berlaga pada ajang Short Film Market di Clermont-Ferrand, tentu saja lebih jauh daripada sekedar kemampuan menyewa stan.
Dalam kondisi sosial politik di Indonesia yang masih menempatkan karya film-film pendek atau karya film pada umumnya terbatas hanya sebagai komoditi politik dan ekonomi, kondisi ini sedikit banyak mempengaruhi karya-karya yang dihasilkan. Aturan-aturan perfilman yang seharusnya fleksibel dan bergerak dinamis, tidak berhasil disosialisasikan dengan baik.
Hegemoni lembaga sensor yang lebih dari sekedar mengklasifikasi, namun sampai pada pengguntingan karya. Ditambah tindakan persekusi oknum-oknum di masyarakat kepada penyelenggaraan pemutaran masih sering terdengar. Diperburuk lagi oleh pembiaran-pembiaran oleh aparat negara, bahkan seringkali malah berpihak pada pelaku persekusi.
Karya-karya film di Indonesia secara umum bereaksi pada situasi ini. Perkembangan produksinya dari tahun-ke-tahun yang umumnya berhenti pada hiburan ringan yang berharap mengejar sukses komersil, atau sekedar selesai pada pameran teknis semata.
Walaupun relatif belum terlalu diperhatikan oleh pemangku kebijakan ataupun lembaga sensor, situasi ini juga berdampak pada karya-karya film pendek. Dampak yang terjadi lebih parah, karena dengan nilai ekonominya yang minim akhirnya juga dengan konteks sosial budaya yang dangkal, tanpa benefit yang jelas.
Secara perlahan kondisi ini akan mematikan ekosistem film pendek Indonesia, baik di dalam masyarakat Indonesia sendiri dan juga di dunia Internasional.
Kondisi memprihatinkan ini sangat kontras dengan penyikapan pada karya film pendek yang diusung dan dipromosikan dalam Short Film Market Global di Clermont-Ferrand. Karya-karya film pendek dipahami sebagai karya seni, sosial dan budaya dengan penghormatan setinggi-tingginya. Film pendek berkualitas yang mengejar kekuatannya untuk memberi dampak pada nilai-nilai sosial dan budaya dirayakan, dan secara implisit menjadi cerminan cara berpikir dan wawasan masyarakat di mana karya tersebut dibuat. Karya film pendek yang tetap memiliki kepentingan untuk merangkul penontonnya, bukan untuk hasil penjualan tiket, namun untuk mengajak penonton memikirkan kembali tayangan yang baru saja mereka tonton.
Dan disinilah esensi dari kekuatan film pendek yang sebenarnya. Sebuah karya yang sejak tahap produksi seharusnya berfokus pada kualitas daripada mimpi-mimpi tentang sukses finansial.
Kemampuan sebar film pendek yang khas, menjadikannya sebuah bentuk kesenian yang bisa menyentuh berbagai lapisan masyarakat. Menjadikannya perangkat yang jitu untuk membangun kembali budaya sinema di Indonesia. Tentu negara perlu bijaksana untuk mengarahkan, melindungi dan menempatkannya dalam konteks seni dan budaya. Mengarahkan pemahaman masyarakat untuk menerima sebuah karya film pendek dan karya seni lainnya dalam arti yang lebih luas, sebagai produk budaya, selanjutnya sebagai kekayaan pustaka yang bisa digunakan sebagai materi diskusi, penelitian dan wacana yang bisa digali terus untuk pemahaman yang lebih luas dan mendalam. Secara bersamaan, membentuk kekuatan penonton dan masyarakat Indonesia yang lebih berani dan kritis pada tontonannya, lawan kata dari sikap ketakutan dan ketidak-pedulian.
Clermont-Ferrand International Short Film Festival ini telah membuktikan bahwa film pendek merupakan perangkat ampuh untuk menjalin hubungan kebudayaan, sosial, pendidikan lintas disiplin dan lebih jauh lagi adalah pendidikan lintas budaya. Pada sisi tertentu hal ini juga berpengaruh pada posisi sebuah bangsa di mata dunia. Nilai ekonomi dan terbentuknya pondasi untuk pembangunan industri hanyalah hasil dari sebuah proses. Didukung oleh kemampuan berpikir panjang ke depan dan sikap yang terbuka untuk ikut berdialog dan berdebat. Serta terlepas sama sekali dari kepentingan untuk menebar rasa takut dan ancaman. [T] [*]