Rehat sejenak dari hiruk pikuk politik. Kali ini saya ingin membahas rambut. Ya, rambut yang tampak remeh dan sering dianggap sebatas mahkota kepala, ternyata jika dicermati, sarat makna dan mengandung cerita yang panjang di masa lalu.
Tulisan ini hendak mendedah rambut yang mesti diatur, dikuasai dan dinormalkan dalam diskursus sejarah Indonesia. Tulisan ini juga respon akademik saya terhadap pernyataan Pak Made Metera, senior sekaligus guru saya (sekarang Rektor Unipas), yang dalam beberapa kesempatan diskusi di Rumah Tatkala/Rumah Belajar Komunitas Mahima menyatakan bahwa “kita tidak hidup di masa lalu”.
Pernyataannya itu mirip dengan kritik para tokoh posmodern terhadap keabsahan sejarah sebagai bidang ilmu. Di dalam metodologi sejarah mutakhir, kritik itu sudah dijawab melalui penautan peristiwa masa kini yang ditarik ke masa lalu sehingga tampak memiliki kaitan. Dengan begitu, sejarah yang bagi tokoh-tokoh posmodern seperti “mayat hidup” tanpa jiwa akan selalu aktual untuk dbicarakan dan dinegosiasikan di masa kini dan masa depan.
Mengapa laki-laki berambut pendek, sedangkan perempuan berambut panjang? Sejak kapan asesoris kepala yang satu ini dikelaminkan?. Lalu, apakah cara-cara pengaturan rambut itu telah menjadi kodrat yang dibawa sejak lahir? Atau jangan-jangan hanya bentukan sosial yang berproses sesuai dengan jiwa kebudayaannya (rerum gestarum).
Jika anggapan itu adalah mindset tunggal yang mendominasi cara berpikir masyarakat hari ini, bisa dipastikan akan ada banyak orang yang dianggap terlahir di tubuh yang salah hanya karena berpenampilan berbeda dari anggapan umum, termasuk juga Tuan Rumah Tatkala (Pak Ole) yang pada kesempatan hari ini memang memelihara rambut panjangnya.
Di masa kuno, sebagaimana diungkapkan seorang indonesianis wahid, Anthony Reid, rambut bagi masyarakat Asia Tenggara dan penduduk Nusantara khususnya merupakan petunjuk diri yang sangat menentukan. Hubungan yang tidak terpisahkan antara rambut dengan kekuatan dan kewibawaan menyebabkannya harus diberi perawatan terbaik agar tetap hitam dan harum.
Dengan begitu, menumbuhkan rambut sepanjang dan selebat mungkin adalah citra kekuatan, kekuasaan dan kewibawaan seseorang. Penghormatan yang besar terhadap rambut sampai memunculkan adagium “mencintai rambut berarti mencintai kepala”. Akibatnya, memotong rambut dimaknai simbol pengorbanan diri ketimbang pembeda jenis kelamin. Oleh sebab itu, memotong rambut tidak bisa dilakukan sembarangan dan memerlukan ritual khusus.
Disamping keengganan memotong rambut, praktik sebaliknya dilakukan karena motif agama atau salam perpisahan kepada keduniawian. Bisa juga karena membayar nazar atas kesuksesan yang diraih. Aru Palaka misalnya yang menjadi bulan-bulanan historiografi Indonesia sentris karena dianggap memihak Belanda dalam perang melawan Sultan Hasanuddin, memotong rambutnya untuk membayar nazar atas kemenangan terhadap Makassar pada tahun 1672.
Makna rambut bergeser dan mendapatkan definisi baru ketika peradaban Islam dan Barat menginfiltrasi. Rambut mulai diatur dan dinormalkan tidak lagi sebagai penanda kedewasaan dan spiritualitas, melainkan seksualitas yang menekankan pengekangan hawa nafsu dan pembeda laki-laki dengan perempuan.
Pangeran Diponegoro di masa Perang Jawa 1825-1830 menyerukan kepada para pengikutnya memotong rambut untuk membedakan mereka dengan kelompok orang Jawa lain yang dianggap murtad karena membantu Belanda. Soekarno di sisi lain yang mewakili generasi era pergerakan nasional, mempopulerkan peci di tengah arus nasionalisme dan modenisasi yang datang bersamaan. Bak gayung bersambut, necisme gaya baru mendobrak kemapanan kolonial itu disrespon masyarakat bawah yang mayoritas Islam dengan potongan rambut pendek. Tagline nasionalisme sekuler sekaligus Islam pun mendapatkan momentum dan panggung politik saat itu.
Pada tahun 1942, ketika Jepang berjaya di Asia Pasifik, modernitas Belanda direduksi, termasuk cara berpakaian dan gaya rambut. Necisme dan dandisme Barat diganti gaya militeristik Fasisme Jepang seiring pembentukan badan-badan kemiliteran yang dilakukan Jepang terhadap kaum muda Indonesia. Kekalahan Jepang pasca bom Hiroshima dan Nagasaki yang dilanjutkan dengan masuknya Sekutu, membuat Belanda terheran-heran dengan perubahan drastis 3,5 tahun pendudukan Jepang terhadap masyarakat Indoensia. Mereka melihat simbol modernitas Barat yang penuh sopan santun terdistorsi. Di jalan-jalan ditemukan segerombolan anak muda yang berpakaian ala militer dengan rambut gondrong serta bersikap liar. Orang Belanda menyebut fenomena itu “bangsa salah asuhan produk Jepang yang gagal”.
Anthony Reid menyebut fenomena itu sebagai peralihan ke jaman heroisme, yakni suatu pemerintahan revolusioner untuk menggusur rezim kolonial. Sementara dekolonisasi baru yang telah lahir 17 Agustus 1945 tidak mampu menggantikannya secara utuh, maka jalan fisik diperlukan. Di dalam historiografi Indonesia, fenomena yang tengah menggejala itu melahirkan satu periode yang disebut Revolusi Fisik.
Gerakan ini mendapatkan panggung tatkala pemimpin-pemimpin yang lahir sebelumnya dan relatif berpendidikan tinggi dianggap tidak cocok dengan pekerjaan penuh resiko ini. Pemimpin-pemimpin baru yang lahir muncul dengan gaya berbeda berupa rambut panjang terurai, berpakaian militer dan sebuah pistol tersemat di pinggang. fenomena itu menjadi gaya sehari-hari pemuda di Kota Bandung sebelum Peristiwa Bandung Lautan Api dan Yogyakarta ketika menjadi ibu kota negara akibat Agresi Militer Belanda I. Bahkan seorang Pamong Praja, hanya karena keinginan mempertahankan status quo ketika negara kolonial mengalami kebangkrutan, melepaskan jabatannya dan ikut bergabung bersama kelompok-kelompok laskar.
Di era Demokrasi Terpimpin Soekarno, gaya rambut panjang alaThe Beattles yang tengah naik daun itu justru dicap kontra-revolusi karena dianggap mendukung neo kolonialisme dan imperialisme. Pengaturan terhadap rambut didasarkan pada pemikiran marhaen yang menempatkan diri sebagai antitesis kapitalisme. Marhaen sebagai “isme” mengalami ideologisasi sinkretik, bukan mendaku komunis Marxis ala Lenin di Eropa Timur, bukan pula Komunisme Cina. Ia lantas menautkan diri pada kapitalisasi terhadap kemiskinan petani lokal.
Tahun 1966, jaman berganti dan Orde Baru berkuasa melalui usaha kritik semi inkonstitusional Supersemar. Usaha-usaha desoekarnoisasi segera dilakukan, salah satunya dengan menjadikan ekonomi sebagai panglima. Oleh sebab itu gaya berpakaian juga harus mencirikan semangat pembangunanisme Orde Baru. Namun demikian, rambut gondrong yang yang menjadi tren sejak tahun 1970 mulai dirazia. Gaya rambut itu tidak lain karena pengaruh Koes Plus, di era Orde Lama pernah ditahan, namun di Era Orde Baru dianggap memberi pengaruh yang kurang baik kepada kaum muda. Rambut gondrong dianggap simbol ketidakacuhan generasi muda terhadap ideologi pembangunan pemerintah.
Usaha-usaha represif dilakukan untuk mendukung program pemerintah dan stabilitas nasional Orde Baru, dimulai dari penolakan pembuatan SIM, KTP dan Surat Bebas G 30 S bagi pemuda gondrong hingga menggunakan Undang-Undang subversif. Akibatnya, hak mereka sebagai warga negara dibatasi. Di sisi yang lain, usaha opresif melalui razia rambut gondrong ke kampus menyebabkan kemitraan militer dengan mahasiswa merenggang.
Kendali rezim terhadap media turut mengupayakan framingnegatif terhadap rambut gondrong. Mereka dicitrakan dengan diksi-diksi menakutkan dan kriminal seperti pemerasan, pencopetan, perampasan, bahkan pemerkosaan. Mereka juga digambarkan sebagai pribadi urakan, kumal yang tidak memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin di masa depan.
Bahkan, fokus masalah rambut gondrong menjadi persoalan serius saat itu di samping penyelesaian G 30 S. Bisa dibayangkan betapa menakutkankannya rambut gondrong bagi rezim Orde Baru sehingga disejajarkan dengan G 30 S yang tergolong subversi berat. Tindakan rezim terhadap rambut godrong ini mirip dengan legitimasi sosial yang dibangun melalui media terhadap tatto sebagai kriminal, sehingga Petrus terhadapnya dianggap legal.
Gondrong, seperti halnya necis menjadi gaya hidup sekaligus gerakan protes terhadap kemapanan dan ketimpangan ekonomi, sosial, politik dan hukum yang terjadi. Visi Tri Logi Pembangunan Orde Baru yang diaktualisasikan melalui PELITA dianggap belum mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Gelombang protes terhadap tindakan represif dan opresif Orde Baru hampir saja pecah. Hingga akhirnya Soemitro, Kepala Pangkopkamtib turun tangan meredakan ketegangan-ketegangan yang terjadi. Setelahnya, polemik rambut gondrong memang reda. Akan tetapi ketidakpuasan mahasiswa terhadap pemerintah tetap berlangsung dan mencapai kulminasi pada 15 Januari 1974 yang dikenal dengan Peristiwa Malari.
Rambut memiliki makna sosial dan sejarah yang panjang. Rambut bisa menjadi simbol kekuatan sekaligus kewibawaan seseorang, atau juga identitas diri suatu generasi. Namun yang pasti rambut adalah bagian tubuh yang harus diatur, dikuasai dan dinormalkan sesuai dengan jiwa jamannya. Pada titik inilah adagium “rambut sebagai mahkota diri” menemukan kebenarannya. [T]