1. Latar Belakang
Pembacaan/ kaji singkat karya Majalah ini di HP dimana mata tidak awas, mengakibatkan banyak pemikiran yang tertinggal dalam pembahasan ini. Kesulitan penulis dalam mencari sudut pandang penulis, karena tidak ada karya akademik sejarah yang patut saya bongkar secara keilmuan. Sehingga saya seperti menilai “bunga mawar dengan ukuran bunga melati”. Namun sebagai sarana pengembangan nalar, saya rasa tidak masalah.
Sebagian besar karya di Majalah ini menggunakan oral tradition and oral history dalam penulisan sejarah. Yang sesungguhnya ada kajian tersendiri dalam keilmuan, sehingga dalam sejarah masih berupa masalah hiuristik, masih bergulat dalam kritik sumber yang lembek dan terlegitimasi oleh keyakinan, sehingga dianggap bermasalah kalau dikritik, padahal banyak relasi kuasa (politik, agama, budaya,ekonomi, tradisi, dl.) yang tersembunyi di balik bukti itu.[1] Persoalan perspektif dan sumber sejarah yang ada sebagai bahan dasar mengkonstruksi makna dalam wacana/diskursus penulisan sejarah, merupakan sumber perbedaan wacana yang dikonstruksi.
Kesadaran saya bahwa telah “menilai bunga mawar dengan ukuran bunga melati,–menilai karya non-sejarah dengan ilmu sejarah–”. Berlaku juga untuk membesarkan “Majalah “Batur: Kata Penyambung Peradaban” (Batur:KPP edisi selanjutnya). Sekecil apapun sumbangan pikiran ini diharapkan dapat menyumbang untuk kemajuan Batur: KPP, yaitu menghasilkan ontologi wacana sejarah lebih kritis bermakna secara struktural fungsional kritis”. Di samping itu, vista ini berguna untuk menyatukan persepsi kita dalam literasi Batur: KPP, di “Tat Kala Rumah Pintar” asuhan wartawan senior kita Bapak Adnyana Ole ini.[2]
2. Teori dan Metodologi
2.1 Vista dalam Sejarah
Pertama, tidak ada kebenaran tunggal dalam diskursus sejarah, karena kebenaran ditentukan oleh perspektif, teori, filosofi, personal/groups bias, dan relasi kepentingan dalam penulisannya. Sejarah adalah pengetahuan tentang peristiwa berdasarkan kronologis waktu –ilmu urut waktu berkausal– yang berusaha menemukan genealogi, ideologi, pola budaya dan relasi kuasa sumber daya sebuah peradaban.
Kedua, Cessur atau periodisasi dalam sejarah adalah pemenggalan waktu yang secara rial terus bergerak bagai air mengalir (eskatologi). Periodisasi secara pilosofis adalah usaha –sia-sia– menghentikan “cakra mandiling” untuk memenggalnya untuk dapat mengkonsentrasikan jnanasecara terfokus dalam penggalan waktu. Peristiwa sejarah adalah unik (bersifat ideografis) karena kejadiannya hanya terjadi sekali tidak terulang lagi (enmalig). Untuk dapat memahami peristiwa yang sudah lewat dan unik itu, sejarawan hanya dapat berdialog dengan jejak yang tersisa, sehingga membutuhkan bantuan filsafat kritis, teori-teori sosial.
Ketiga, Di sini dicoba menggelar teori verstehen dalam peradaban dengan memahami zeitgeist and cultuurgebudenheid(jiwa zaman dan ikatan budaya zaman)(Weberian) dan teori strukturasi Giddens (2010) yang merambatkan hubungan maknawi antara “waktu—agensi—dan struktur”.
Keempat, sebuah efistimologi (konsep, teori, sintak), diharapkan dapat memberikan pelita pada kajian oral tradition and oral history” ini,–kecuali Suryawan dengan sumber prasasti dan artefak zaman kolonial–, pada Majalah Batur: KPP edisi 1,2. Jadi ada berbagai efistemologi, karyanya populer dalam karya ini, santai tapi sukses.
2.2 Definisi Beberapa Konsep
- Batur: Kata Penyambung peradaban, dalam pemahaman penulis adalah produk “pemolaan peradaban”, dalam bentuk bangunan pura, relief, pematungan, posisi, ritus, tari, tradisi, lembaga, prosesi, dsb, dengan fokus peradaban air sekitar Batur.
- Teori adalah relasi dari beberapa konsep kemudian membentuk pemahaman, yang memiliki perspektif, dasar, asumsi, dan persepsi-persepsi, yang menjadi isi dasar paradigma penulis.
- Setiap zaman (periodisasi) memiliki “zeitgeist dan cultuurgebudenheid”, jiwa zaman dan ikatan budaya zaman yang melingkupinya (weberian). Jiwa zaman disebut ideologi (Altussers,2014) yang mengarahkan, menjadikan, mempengaruhi, membimbing manusia bertumbuh.
- Unsur sejarah difokuskan pada waktu, agensi, dan struktur. Struktur terkait juga dengan kultur, tempat, dan hibridasi/mimikri berupa pola budaya, politik, sosial, kehidupan masyarakat yang menjadi jati diri masyarakat setempat secara umum, sehingga dapat dibongkar relasi kuasa yang ada di dalamnya (bertimbang dengan Martono, 2014).
2.3 Landasan Teori
Penjelasan: Bagan Alir Cessur:[3]
- Tife Megalitik,: Pohon besar, Menhir, Funden Berundak, Sarkopagus, Tahta Batu (Batu Kursi) dll. Dengan Cultus Leluhur (konsep Bhtar sebagai pelindung).
- Tife S-2 (Struktur 2/Rwabhineda), ideologi Rsi Markandeya, masuk abad ke-8 (dari Gn Raung Jatim), Bali Aga. Pemaduan Lokal Genius pemujaan Leluhur dengan Hinduisme, Cultus Dewa Raja.
- Tife-S-3 (Trimurti), ideologi Mpu Kuturan (zaman raja Udayana dan Mahendradatta, pabad 11), Pemolaan zaman Jaya Pangus (1178 M-1181 M)[4]dengan manunggalkan Bhuda-Hindu. Cultus Dewa Raja berlanjut, dengan pembangunan Meru sebagai legitimasi kuasa.
- Ideologi Danghyang Nirartha, Ciwa Sidanta. Cultus Rsi Dewa, dominasi penunggalan couter ideology dengan Islam di Jawa, Padmasana (Ciwa-Sada Ciwa-Parama Ciwa).
2.4 Asumsi-asumsi perlu dibuktikan:
1. Ada hegemoni zaman megalitik, cultural hero, dan agensi yang berkontestasi dalam peradaban air yang berkembang di sekitar Batur.
2. Bentuk peradaban yang berkembang dari zaman ke zaman, secara teori dapat dipahami genealoginya dalam tradisi lisan dan artefak, ritus, sistem budaya (bentuk, fungsi, dan makna) peradaban di sekitar Batur, dalam bentuk hibridasi, mimikri dalam peradaban atau sistem religi yang berkembang di daerah Batur.
4. Kultus Dewa Raja, Leluhur, Dewa/Dewi Raja, Rsi dan catur sanak dalam relasi kuasa dari sistem peradaban di Batur. Seperti Banwa, Kang Ceng Wie/Bhuda, Jayapangus, Cultural Heroes) dan sebagainya. Kontestasi budaya air (pertanian), dan perdagangan (Cina-Bali) menghegemoni peradaban Batur, dan sejarah di sekitar Batur.
Cerita sejarah konstruksi masa lalu yang unik (as actuality/enmalig) dasar penyusunannya perlu dikritisi, bukan ceritanya baik atau buruk, memang ada problem pilihan bahasa di dalamnya, tetapi persoalan terpenting adalah uji kritis sumbernya (artefak megalitik, tradisi lisan, sejarah lisan, tulisan, dll). Karena benar tidaknya sejarah ditentukan oleh dasar ini. Subjektivitas dan relativitasnya dapat dilihat dalam keberpihakannya dalam diskursusnya. Bentuk fungsi dan makna sangat bergantung pada bahan baku pembuatan cerita. Berikut akan dicoba sebuah diskursus kecil tentang Batur yang di dalamnya melihat relasi tife-tife sistem religi, relasi kuasa sumber daya, jiwa zaman dan ikatan budaya zaman dalam bentuk hibidasi/memekri di dalamnya.
3. Model dan Hasil Pembahasan
3.1 Model Cerita: Sejarah Sebagai Dasar Berpikir
Peradaban Air Batur yang terkesan hanya merupakan peradaban untuk menghargai air (Ritus Penghormatan air, oleh I K. Eriadi Ariana (B: KPP, 1: 2018), tergolong dalam kategori masyarakat Bali Aga (hibridasi tife S3). Perbedaan Bali Aga dengan Bali Mula dapat dipahami dari sistem religi yang dijadikan pemolaan. Bali Aga diwarnai oleh sistem pemaduan “agama melayu Austronesia/huruf kecil disebut juga adat-budaya lokal), dengan Agama Hindu dari Gunung Agung Raung. Sedangkan Bali Mula adalah masyarakat dengan sistem religi pemujaan roh leluhur, dan saktinya Sang Catur Sanak yang sudah ada sejak zaman Megalitik (peradaban Melayu Austronesia).[5] Sejarah Agama Hindu di Bali dengan kedatangan agen Rsi Markandeya, pada abad ke-8,[6]terjadi hibridasi antara agama lokal dengan Agama Hindu sekta Waisnawa yaitu penghormatan air untuk pertanian sawah dengan mendirikan subak pertama di Taro (Desa Sarwada), tempat pendirian Pasraman pertama, kini menjadi Pura Agung Raung di Taro. Air sebagai sumber pertanian, sumber kehidupan, menjadi “Dewa Wisnu”, pemujanya disebut sekta Waisnawa.
Fakta sejarah ini dapat penjelasannya diperluas dengan mengembangkan wacana sebagai berikut, “Waisnawa sebagai sekta menjadi dasar sistem religi masyarakat (zeitgeist) dihibridasikan dengan agama lokal Bali pemujaan roh leluhur dalam bentuk Lingga-Yoni (Meme-Bapa keluarga), menjadi Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi, dengan demikian sesungguhnya ada perluasan wawasan dari realistik ke pilosofis. Sedangkan Sang catur Sanak memiliki fungsi Nyaga Satru (penjaga/pelindung) nyatur napak dara (ritual kebalian di Catus Pata). Sedangkan dalam fungsional palemahan desa dijadikan penjaga nyaga satru (atau bhatara): (1) Sang Prajapati di ulum Setra –pelindung desa–; (2) Sang Anggapati di pekarangan – tugun karang–; (3) Banaspati di Merajan – Anglurah–; Sang Banaspatiraja—dimana-mana/ di lebuh dan pintu masuk.[7]
Jika uraian ini dapat dijadikan dasar berpikir, maka Bapa Akasa (Lingga/ bersinar/Div) sedangkan ibu-pertiwi (saktinya/agama lokal saktinya, di dunia ini/sebagai bhatara). Adalah usaha hibridasi hanya memposisikan sakti di bawah dan pepberi anugrah di atas (Bulan-bintang teranggana), adalah sekta yang dianut dengan posisi gunungnya Pucak Penulisan dan pasihnya Goa Gadjah (sekta gajah adalah sekta Ganapati (pemujaan Ganapati), juga “pahami dengan hati-hati” ada relif Bhuda di Goa Gajah. Konsep Rwabhineda- Sakti Nyatur (1/5 India: 4/5 Bali).
Bapa Akasa+ Ibu Pertiwi, memiliki sakti catur sanak/dewa sebagai bhatara. Jika berpikir berdasarkan fakta sejarah ini maka: penyebutan dewa-dewa (representasi panunggalan Brahman dengan Atman/agen (Brahman Atma Aekyam), terutama raja/resi ada relasi penegtahuan cultural hero dan kuasa raja).[8]Dengan dasar berpikir historis ini, kemungkinan besar –kalau dikaji ulang tradisi lisan dan sejarah lisan serta babad yang memuat: pantion dewa seperti: -Dewi danuh Batur (Ibu/Pertiwi); sedangkan Manik Galang/ Genijaya. Dengan –saktinya– Putranjaya (anak), Hyang Tugu, manik G-um-awang, T-um-uw/buh. Dapat disederhanakan Batur sebagai Ibu Pertiwi (Yoni, Bulan/Sasih), sedangkan Manik Galang di Pejeng (sinar)/Genijaya/Gni atau Api/Surya (cocok dengan Pelinggih Hyang Api, Manik Geni, dan ritual Agni Sala di Sukawana/ di Satra (Pasraman di Kintamani). Saktinya itu sama dengan sekta-sekta yang berkembang di lain daerah (berperadaban Waisnawa) atau Rama-Sinta sebagai dasar pemolaannya, terutama adanya monyet riil dan pematungannya di pura yang memiliki relasi sistem religi Bali Aga.
Dengan uraian interpretasi tradisilisan dan beberapa sumber lainnya, maka peradaban air bukan hanya terkait dengan subak dan pertanian, tetapi juga sebagai sekta penguasa yang mengajegkan relasi kuasa dalam sistem religi itu, agar raja tetap diakui sebagai titisan dewa wisnu. Seterilisasi dan mimikri dari cerita Ramayana tentang Rama dan Sinta serta pasukan wanaranya, perlambang sektarian ketika Waisnawa dijadikan dasar arus besar (ideologi) benegara. Prasasti “inilah telapak kaki yang mulia Purnawarman menguasai dunia sebagai telapak wisnu”, ada relasi kuasa dengan membuat “Batu Lukisan Dua Kaki/Enjekan Kaki dipahat oleh Kebo Iwa” pada palinggih-palinggih kontestasi Ramayana pada Pelinggih tua, seperti di Pura Kehen, Angsri Tabanan, Pucak Padang Dawa, Batu Megaang Busung biu, dll.
Menyimak Pura Batur ditemukan banyak patung Wanara, ada Bale Gajah, Batara di Batan Bingin, Pelinggih dengan Batu Besar di atas tudu yang dibangun di pura Batur, serta adanya meru berjejer representasi: roh leluhur; pejabat banwa; medue gama (pengembang sekta/ Markandea); raja, resi, danghyang dsb. Dan adanya pelinggih Ratu Ayu Mas Syahbandar (Ratu Gede Subandar: gender), adalah representasi dari Cung-Kang/ Kang Ceng Wie istri muda Jayapangus. Jadi dapat dipahami terjadi pertentangan antara Dewi Danuh (ulun Danu Songan) dengan Kang Ceng Wie di Ulum Danu Batur di Desa Batur. Saling tidak ingin didominasi sebagai istri raja dapat dilihat dari 40 prasasti yang dikeluarkan oleh Jayapangun sekitar tahun 1181 selalu menyandingkan dua istrinya in, yang satu Bhuda dan yang Satu Hindu Waisnawa, pada zamannya. Prasasti yang banyak ini adalah negosiasi politik pada banwa-banwa (balai Agung penandanya) dengan membebaskan bebeapa pajak, agar tetap dapat diakui sebagai raja, bahkan menjadikan dirinya sebagai sungsungan desa dengan “menjadikan dirinya sebagai representasi Dewa legal yaitu Barong Landung”. Bahkan sampai membuat pemukiman (puri baru) di Dalem Balingkang, pindah dari puri sebelumnya di Bata Anyar daerah Bedulu. Dapat dipahami dari ritus odalan di Ulun Danu batur dengan mendak dan ngantukan dari dank e Dalem Balingkang saat purnama ke dasa, sebagai puncak ngusaba (Kapat dan Kedasa, representasi Subak Bawah dan Subak Atas dalam konteks pembagian penggunaan air/ gadon-masa di subak). Raja bersikeras tetap menikahi Kang Ceng Wie selanjutnya nampaknya Nyegara-Gunung pun akhirnya terpecah (ada dua segara di Pegonjongan di Bll, dan Goa Gajah di Gianyar. Rakyat ada yang berpihak pada Dewi danuh dan ada yang berpihak pada Kang Ceng Wie. Desa-desa yang namanya “bernuansa bahasa cina” di daerah Kintamani sekitarnya sampai ke Payangan tembus Goa Gajah (Pohon Leci penanda Cina, Konco, dan lampion adalah penanda kecinaan sejak zaman lampau. Persetruan ini dapat dibaca dalam Prasasti Cempaga, yang mengakibatkan desanya dibakar habis oleh Banwa rakyat Bintang Danau Batur (Songa, Trunyan, Kedisan, dan Buahan) Ki Buahan sebagai pemimpin banwanya. Penduduk Cempaga migrasi ke Cembaga sekarang di bangle dekat kota, sebagaian lagi ke banua SCTP.
Muncul lingga kembar, ditemukan di Penulisan (Hinduismedan Bhuda), masuk uang kepeng dalam ritual, tradisi kerauhanpun di batur sering menggunakan bahasa cina. Namun bukan berarti Bhuda baru ada sejak Jayapangus beristri bhuda. Banyak bukti sejarah baru ditemukan setelah beredarnya tulisan barat bahwa bhuda pertama berkembang di daerah sekitar pusat kerajaan Bali Aga yaitu Pejeng. Bukti baru jauh sebelum abab kedelapan, sekitar abad ke-7 ditemukan situs bhud di kalibukbuk dan Kalang Anyar Buleleng (Bali Utara) tersebar sampai ke pedalaman Prasasti Gobleg menyebut Siwasogatan (Bhuda Mahayana).
3.2 Mising link Pusat Kerajaan Singhamandawa.
Dimana sesungguhnya pusat keraton Singhamandawa? Pembuatan Cincin Singabersayap (Singaraja) sudah disebut dalam Prasasti Tamblingan (Bulian Sanding Tamblingan) zaman Jayapangus (1181 M). Kalau dianalisis menggunakan studi perbandingan, maka dapat dikatakan Singabersayap adalah binatang hibridasi (Hindu zaman Bali Aga (Garuna-Wisnu-Kencana) dengan Bhuda (ke dunia berupa raja hutan) dapat dipahami dari cerita pada relief Candi Sukuh Jatim.[9]
Jadi Singhamandawa juga adalah kerajaan bertanda-tanda nama Bhuda Mahayana (Gaja (h) yana berarti “perjalanan gajah” di Jatim, ketika itu, di Bali dalam cerita rakyat disebut Gaja (h) wahana), bermakna “wahana/tempat Gajah), menjadi Sekta Ganapati. Apakah ini dapat dikaitkan dengan Batur sebagai parhyangan memiliki Bali Gajah dan Gong Bery penanda sekta dan cinanya. Kalau diselusuri Pura Batur (Jayapangus dan Cung-Kang, penyatuan politik) memiliki kesamaan dengan Gelgel (zaman Dalem Ketut Ngelesir menjadi Pura Dasar/penyatuan politik), dan Besakih (zaman Dalem Waturengong, penyatuan politik. Sekaligus couter ideology Islam saat itu). Apakah Batur sebagai Besakihnya jaman Jayapangus dengan pusat kerjaannya di Dalem Balingkang (sebelum dipugar, penandanya Gundukan Tanah di Pojok selatan menghadap ke Barat, Pura Bali Aga). Paling awal adalah Penulisan dan Dalem Balingkang, kemudian Bandingkan dengan Penataran Sasih dan Pancering Jagat Pejeng (struktur rwabhineda, nyatur. Padma Trilingga memberikan tanda sudah zaman Kuturan, sedangkan Panda Capah, Bebataturan, dan Surya, panda Tiga, Padma Tiga, dan Padmasana adalah genealogi perjalanan tahta batu zaman megalitikum.
Cerita yang dituliskan dalam Majalah Batur: KPPsudah ada bahan tradisi lisan, ritus, dan artefaknya, namun sudah banyak dihegemoni oleh sistem religi berikutnya, sehingga mengaburkan kita dalam menganalisis dan memaknainya, karena disampaikan oleh orang yang memiliki wibawa di Batur, dan dilontarkan, dipuranakan, dan diceritakan dari mulut kemulut, terutama “menyimpang dari pagu pemolaan”, sehingga lama-lama menjadi dianggap benar – nasi telah menjadi bubur”.
3.3 Literasi “Batur : Kata Penyambung Peradaban“
4. Simpulan dan Saran
4.1 Simpulan
Pembahasan tradisi lisan dan sejarah lisan sekitar daerah batur, dapat digunakan jalan pikiran historis dengan melihat waktu, agennya dan struktur masyarakatnya, karena dari sana akan dapat diketahui sistem dan peradanan yang menjadi tradisi lisan. Tokoh Jayapangus, Dewi Danuh (Ulun Danu Batur di Songan) dan Kang Ceng Wie/ Cina/Bhuda Mahayana) menjadi tokoh sentral dalam peradaban sekitar Batur. Tradisi megalitikum dan tradisi Bali Aga masih sangat kental di daerah Penulisan (dualitas/Rwabhineda), dan nyatur, rwabhineda, dan trimurti Mpu Kuturan berkontestasi di Batur. Hanya saja butuh pelan-pelan memahami, karena di Batur juga merupakan peradaban perlawanan dengan kerajaan pusat (Kelungkung), sehingga perlu hati-hati menganalisisnya.
Pemujaan Api (Agni sala) prasasti Sukawana (tahun 882 M), adanya penampakan budaya cina, seni cina, dan nama-nama dengan bahasa cina di sekitar Puncak Penulisan—ke selatan Catur- Payangan- ke Gua Gajah membuktikan memang pengaruh peradaban cina/bhuda sangat kuat di zaman kuasa batur, bahkan menjadi pura dasar pemolaan religi di Bali.
Jangan-jangan kang Ceng Wie bukanlah cina dan bhuda baru di Bali Utara, tetapi merupakan kontinuitas dari Bhuda Mahayana yang memang disebut sebut sebagai Siwa Sogatan dalam prasasti di Tamblingan, dan bahkan dengan jejak sudah pernah hidup jaya di abad ke-7 dengan penemuan Situs Bhuda di Kali bukbuk.
4.2 Saran-saran
Cerita sejarah (labeling sejarah tapi babad, dll) sering mengalahkan sejarah struktural kritis itu. Sumber keras dan kredibel tidak dapat dibedakan dengan sumber lembek, penuh tipu muslihat terkadang, karena menyembunyikan kepentingan di dalamnya. Paling tidak orientasi penulisan, perspektif, filosofis, dan kredibelitas penulisnya perlu dipertanyakan dalam mengkaji cerita sejarah, atau non-ilmu sejarah menulis peristiwa sejarah (sejarah adalah antropologi masa lalu), tapi bukan antropologi adalah sejarah masa kini (kontinuitas dan diskontinuitas penuh ceruk, lubang, gunung, dan tabungan atau investasi masa depan).
Butuh kehati-hatian melabeli sejarah karena sejarah dijadikan dasar berpikir, seperti diuraikan di atas, sejarah katakana sejarah, teori katakana teori, dan asumsi katakana asumsi, sehingga kita tidak sesat memaknai hidup dan kehidupan kita, termasuk anak cucu kita di masa depan. Seperti terpaksa saya “menggugurkan geger nusantara karya Iwan Pranajaya (2018), karena kekhawatiran saya atas kesalahan generasi masa depan memaknai kebenaran historis.
DAFTAR PUSTAKA
Atmodjo, R.M. Sukarto K. 1970. Manuskrip “Prasasti Buyan-Sanding-Tamblingan. Disampaikan dalam Seminar Sejarah Nasional II, 26-29 Agustus di Yogyakarta. |
Foucault, Michel. 2012. Arkeologi Pengetahuan. Inyak Ridwan Muzir (penerjemah). IRCiSoD: Yogyakarta. |
Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Soaial Masyarakat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. |
Ginarsa, Ketut. tt. “Prasasti Baru Raja Ragajaya”, dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia.Maret –Juni 1963. Jilid IV, No 1,2. UI: Jakarta. |
Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern, dan Postkolonial. Rajawali Pers: Jakarta. |
Palmer, Richard E.Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. |
Ricoeur, Paul.2009. Hermeneutika Ilmu Sosial. Kreasi Wacana: Yogyakarta. |
Shastri, N.D. Pandit. 1963. Sejarah Bali Dwipa. Jilid I. Bhuwana Saraswati: Denpasar Bali. |
Sumaryono, E. 2013. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Kanisius: Yogyakarta. |
Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Jalasutra: Yogyakarta. |
[1] Metodologi sejarah bergelut dengan perspektif teori, sementara metode adalah sintak/procedural penulisan sejarah yaitu: “ heuristik, kritik, interpretasi, dan model penulisannya.
[2] Rumah pintar Milik Pak Adnyana Ole ini adalah lokus dari Tat Kala yang mempublish beberapa tulisan popular dan seni yang kreatif dan produktif, semoga langgeng!. (Diskusi Berkala, Sabtu 13 April 2019.
[3] Inilah kerangka berpikir yang saya gunakan untuk menganalisis sumber terkait dengan Batur.
[4] Babakan ini diambil dari I Gede Semadi Astra, 1977. Jaman Pemerintahan Maharaja Jayapangus di Bali, 1178-1181 M. Denpasar: Lembar Pengkajian Budaya.
[5] Jika dapat disetujui maka pemahaman Ngurah Suryawan perlu diluruskan,
[6] Dalam Babad disebutkan Rsi Markandeya (agen) datang pertama pada abad ke-8 disebutkan membawa pengiring Wong Aga/ Wong Gunung Raung sebanyak 800 orang camput, kemudian beliau balik ke Jatim “semedi di Gunung Raung” kembali datang kedua kalinya dengan pengiring Wong Aga sebanyak 400 orang. Dengan membawa Wahyu untuk melakukan pembuatan sawah dan subak harus melakukan ritual “Nanem Panca Datu di Tohlangkir, sehingga ditandai dengan Batu Berdiri/Menhir.
[7] Buku-buku Kanda Pat sangat banyak, semuanya sesungguhnya dikembangkan dari agama lokal Bali ini.
[8] Sejalan dengan M. Foucault dalam membongkar sebuah archeologi/wacana dalam geneologinya, “science is a power” atau kuasa pengetahuan.
[9] Dasar menyalahkan posisi GWK di selatan Bali, kalau kita melihat kosmos Bali sebagai Bhuana Agung, namun pembenarannya menggunakan teori Copernicus- Bumi Bundar.