Aku menggenggam sebuah CD ROM yang sudah tidak terpakai lagi. Sebuah CD ROM yang mungkin banyak menyimpan kisah tersembunyi di balik komputer seorang guru yang berintegritas. CD ROM ini mungkin pernah diculik dari tangan tuannya yang tidak tahu jalan pulang. Bahkan mungkin, CD ROM ini tidak mau lagi menunjukkan datanya pada mata-mata yang ingin menyalin data tuannya.
Aku pun lihat CD ROM ini merasa kesal kepada mata-mata yang selalu memplototi data-data dalam dirinya dengan penuh kemenangan tanpa perjuangan. Aku dibuat terheran-heran pada pola goresan melingkar di CD ROM ini. Pola goresan dalam CD ROM memberikan isarat tentang kemarahan. Kemarahan kepada mata-mata yang sibuk bergosip tentang sebuah kepuasan. Kepuasan menelantarkan profesinya, tetapi menuntut tunjangan profesinya.
“Kak…, jadi melihat pelangi?” anak-anak mengagetkan bayanganku di dalam CD ROM.
“Ya anak-anak, sekarang kita lihat pelangi,” jawabku yang masih menggenggam CD ROM dan memandang bayanganku di dalamnya tersenyum kecut.
“Aku bukan bagian dari mereka. Paling tidak aku masih memahami Bildung dan Erziehung,” teriak batinku menyangkal dan kembali memandang bayanganku di dalam CD ROM.
Aku melangkah mengajak satu kelompok anak-anak usia dini ke tanah lapang. Mereka sangat riang-bahagia akan menyaksikan sebuah pelangi. Apa lagi, sebelumnya mereka sudah mendengarkan sebuah dongeng jembatan pelangi yang digunakan oleh bidadari untuk bisa turun ke bumi.
Bidadari yang bercanda riang menikmati jernihnya gemericik air sungai. Gemericik air sungai yang mungkin hanya akan kita nikmati dalam dongeng-dongeng imajinasi. Imajinasi pun mungkin sudah punah tertelan wajah-wajah generasi yang membatu di dalam gelarnya.
Aku tidak menggunakan ember yang berisi air dan cermin. Cermin di dalam air inilah menangkap cahaya mentari yang kemudian memantulkan pelangi di kertas. Dan hari ini, sang mentari tidak memberikan kecerahan cahayanya. Seolah-olah sang mentari mengerti kemarahan dan kesedihan si CD ROM.
“Dengarkan aku sekarang CD ROM! Aku akan membuatmu bahagia dengan senyuman anak-anak ini. Aku akan menunjukkan sebuah kejaiban yang berada dalam dirimu walaupun menganggap dirimu sudah rusak,” ucap batinku seolah-olah menjawab keraguan dan kemarahan si CD ROM yang semakin memuncak.
Keraguan dan kemarahan si CD ROM semakin menjadi-jadi ketika aku mengajaknya Bersama anak-anak ke tanah lapang. Apalagi kemarahan itu semakin dikukuhkan oleh sang mentari yang bersembunyi di balik awan mendung. Awan mendung yang hampir tidak mampu lagi menggenggam butiran-butiran air. Butiran air yang tidak lagi menemukan akar-akar hidup dan hanya tergelincir pada tanah-tanah yang mulai murka.
“Kamu bawa ke mana diriku ini? Jangan membuatku semakin murka. Aku sudah terlalu lelah berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Aku sudah bosan disalin hingga ribuan kali, tetapi isi dalam tubuhku tidak pernah dilaksanakan dengan benar. Aku hanya dipajang di meja-meja sebagai pernghormatan kedisiplinan. Sadarkah kamu?”
Di depan anak-anak, aku menggerak-gerakkan CD ROM perlahan mencari posisi yang pas. “Kak, itu ada pelangi di CDnya,” ucap si anak senang yang baru pertama kali melihat pelangi.
“Benar ada pelangi. Wow benar-benar ajaib ya, CDnya bisa mengeluarkan pelangi,” sahut anak-anak lainya penuh ketakjuban di wajah-wajah yang masih polos.
“Aku juga mau coba di rumah. Aku banyak punya CD bekas,” celetuk anak lainnya.
“Aku pernah lihat pelangi di langit. Waktu itu hujan dan ada terik cahaya matahari,” kata salah satu anak menceritakan pengalamannya.
“Ya. Kalau tetesan air hujan terkena cahaya matahari yang cerah, terjadilah pelangi,” terangku mendukung pengalaman anak itu.
Aku tidak mungkin menceritakan pengalaman Newton menemukan pembiasan cahaya kepada anak-anak usia dini. Newton meletakkan sebuah prisma di kamar yang masih tertutup. Newton membuat celah kecil mungundang secercah cahaya mentari menembus prisma. Prisma pun membiaskan cahaya mentari menjadi berbagai warna dan disebut sebagai pelangi. Namun, paling tidak anak-anak sudah mengerti bahwa CD ROM bisa menunjukkan ada pelangi.
“Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu bahagia sekarang setelah melihat senyum polos anak-anak? Apakah kemarahanmu sudah mulai mereda?” tanyaku kepada si CD ROM.
Pertanyaan terkatup di bibir, tetapi petanyaan ini melayang-layang dipikiranku bersama pantulan pelangi di permukaan si CD ROM yang masih memperlihatkan goresannya.
Akan tetapi, ketika sudah kusadari, anak-anak sudah bermain dengan si CD ROM. Mereka meperhatikan pola pelangi yang terbentuk di tubuh si CD ROM. Seolah-olah terjawab sudah semua pertanyaan yang ada di pikiranku. Si CD ROM bercengkrama hanyut bersama senyum anak-anak. Kebermaknaan menemukan bentuknya di setiap pelangi yang terbentuk di tubuh si CD ROM.
“Kak, ayo nyanyi ‘Pelangi-pelang’!” ucap anak-anak memecah pikiranku terhadap si CD ROM.
“Ayo kita mulai nyanyi ‘Pelangi-pelangi’,” jawabku
Aku dan anak-anak mulai menyanyikan lagu “Pelangi-pelangi”.
Anak-anak riang gembira bernyanyi. Pelangi pelangi // Alangkah indahmu // Merah kuning hijau // di langit yang biru // Pelukismu agung //Siapa gerangan //Pelangi-pelangi //Ciptaan Tuhan.
“Kak, lagunya salah. Masak pelangi ciptaan Tuhan. Kan tadi bisa buat pelagi dari CD. Bararti kita bisa buat pelangi,” protes salah satu anak ketika sudah selesai bernyanyi.
“Kalau pas hujan ada cahaya matahari, baru ada pelangi. Hujan, baru Dewa-nya yang buat,” sahut anak yang sempat bercerita melihat pelangi di langit.
“Anak-anak, ayo kita masuk kelas. Waktunya kita pulang,’’ terdengar panggilan temanku yang juga seprofesi denganku menemani anak-anak usia dini bermain.
Anak-anak bergegas merapikan mainnya dan berlarian menuju kelas bersiap pulang.
“Kak, ini CD-nya.”
Aku ambil CD ROM itu. Aku perhatikan permukaan depan CD ROM itu karena sebelumnya belum menjadi perhatianku. Di permukaan depan, tertempel sebuah label bertuliskan “Data RPP” yang mulai pudar termakan waktu.
“Oh, tulisan “Data RPP” ini yang membuat si CD ROM marah dan bersedih. Aku mengerti sekarang apa yang telah diisyaratkannya,” pikirku menghela napas. Aku masukkan CD ROM ke kotak penyimpanan. [T]