Seks di dunia timur maupun dunia barat, sebetulnya sama saja. Barangnya, ya sama. Gayanya, ya itu-itu juga. Yang berbeda dan menjadikannya begitu rumit, adalah persepsinya.
.
Jika dalam masyarakat barat, seks tidak ditempatkan sebagai ukuran moralitas, sebaliknya di tengah-tengah masyarakat timur seks memegang peranan sangat penting dalam mengukur moralitas. Di sinilah bedanya.
Saat ia dijadikan sebagai ukuran moral yang posisinya sedemikian tinggi, di balik pintu, seks sangat diminati sebagai kebutuhan tubuh yang paling rendah. Kenapa disebut paling rendah? Karena seks atau kawin, seperti juga makan, dapat dilakukan oleh semua mahluk, yang hampir tak berotak sekalipun.
Belalang misalnya, dalam hal ini belalang sembah (Mantis religiosa), bahkan ia punya cara kawin yang sangat unik dan kejam. Belalang sembah betina akan memutus, mengunyah dan memakan kepala pejantannya selama atau setelah kawin.
Anehnya, meski ini sebuah kebetulan belaka, dalam dunia manusia, laporan-laporan kematian saat atau setelah berhubungan seks juga selalu terjadi pada laki-laki, sama seperti pada fenomena belalang sembah. Tak perrna ada laporan seorang wanita mati saat bercinta, kecuali itu memang suatu tindak kriminal perkosaan dan pembunuhan.
Dalam perilaku manusia yang lain, ada satu fenomena yang dinamakan orientasi seks, kalau tak mau dibilang kelainan, yang disebut sadomasochism. Yang terjadi dalam hal ini adalah seseorang memperoleh kenikmatan seksual saat yang bersangkutan menerima siksaan fisik dari pasangannya yang juga merasakan hal yang sama. Kita tak tahu, akankah ia tetap bahagia dan senang jika kepalanya diputus dan dikunyah seperti nasib belalang sembah itu?
Satu kebutuhan yang “sangat rendah”, jika dijadikan sebagaui ukuran moral yang sangat tinggi, akan kemudian memberi tantangan yang sangat besar dalam kehidupan. Ia rendah karena dekat dengan naluri primitif, yang tak butuh dipelajari. Ia bukan skil dan tak butuh kognisi yang kuat. Ia telah dirancang secara alami oleh kekuatan paling primitif dalam struktur jiwa manusia.
Jangan terlalu sinis dengan hal-hal yang kita sebut primitif. Insting inilah yang sesungguhnya pondasi dari kehidupan itu sendiri, apa yang disebut sebagai pelestarian yaitu reproduksi.
Akan hal ini, membawa kita ingat pada tulisan sastrawan besar tanah air, Pramoedya Ananta Toer, yang sangat mengesankan dalam bukunya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Kisah hidupnya saat ia menjadi tahanan politik di Pulau Buru. Ia tak lupa menuliskan sedikit hal menarik tentang perilaku seksual penduduk asli di pulau itu.
Kalau boleh dikatakan, mungkin fenomena prilaku seksual inilah yang dapat dibilang sebagai standar moralitas, karena hubungan seks hanya dilakukan untuk maksud reproduksi atau menghasilkan anak belaka.
Diceritakan, pada saat yang sudah ditentukan, sepasang lelaki dan perempuan akan pergi ke dalam hutan hanya untuk bersetubuh, tak diketahui apakah mereka juga telah bercinta? Entahlah! Satu-satunya gaya koitus yang mereka ketahui dan lakukan adalah, seperti binatang, menyetubuhi pasangannya dari belakang dalam posisi berdiri atau setengah membungkuk.
Setelah ejakulasi, usai pula ritual mulia tersebut, bergegaslah mereka kembali ke kampung. Baru setelah hadir orang-orang pendatanglah, mereka kemudian diajari gaya bercinta yang lain, yang menurut kaum pendatang itu jauh lebih membuai dan menerlenakan. Dan penduduk aslipun menyetujui dan mengakuinya, gaya bersetubuh yang baru memang lebih gila rasanya, yaitu gaya berhadap-hadapan, karena “semuanya kena”, begitu alasannya.
Dalam masyarakat barat, seks sepenuhnya fenomena biologis dan pilihan manusia, apakah heteroseksual, homoseksual atau biseksual, semuanya dianggap normal. Karena dari sana, semua dapat memperoleh sensasi erotika dan klimaks. Seks itu kebutuhan hidup belaka, titik! Maka jika merupakan sebuah kebutuhan, dapat saja ia menjadi kebutuhan tersier, kemewahan dan kebanggaan, seks dapat menjadi prestise.
—
BACA KOLOM DOKTER LAIN:
- Acintya
- Nyepi: Terapi Kesehatan
- Pasien, Guru yang Sempurna
- Dokter dan Sepotong Filsafat
- Dokter & Dukun, Tujuan Sama, Satu Naik Heli, Satu Naik Boat, Tidaklah Bertabrakan…
—
Untuk itu mari bahas Hugh Hefner, bos majalah tersohor Plaboy itu. Tak satu orang pun menuduhnya amoral karena telah tidur dengan ratusan model majalah panasnya tersebut. Sampai pada akhir hayatnya, tak satupun ada yang melaporkannya sebagai tindakan zina. Karena memang tak ada yang merasa telah dicuri miliknya, maka moralitas hanya diukur dari penghormatan atas hak-hak orang lain sepakat atau tidak untuk melakukan seks.
Ia hanya akan berhadapan dengan hukum saat ada unsur pemaksaan atau faktor belum cukup umur. Jadi kita takkan pernah tahu apakah Hugh Hefner, terkait perilakunya itu telah masuk neraka atau surga. Kalau toh ia masuk neraka, ia bakal bertemu Dewi Venus yang juga suka gonta-ganti pasangan seks. Bagi Hugh, ini justru sebuah upgrade karir, hahaha!
Saat piala dunia Jerman 2006, pun ada satu hal cukup menarik. Sedari jalan-jalan ke luar bandara hingga di kota-kota, terpampang baliho-baliho iklan yang menampilkan profile wanita pekerja seksual komersil untuk pendatang yang akan menonton bola yang mungkin butuh pemenuhan kebutuhan biologis. Biasa saja, seakan-akan baliho iklan sabun atau caleg di tanah air.
Mungkin karena itulah di sana istilah munafik atau hipokrit tak begitu sering terpakai. Nah, semoga tulisan yang ke sana ke mari ini tak membuat pembaca menjadi rumit pikiran dan kehilangan klimaks! [T]