Akhir-akhir ini pasar moderen merambah Bali tidak hanya perkotaan tetapi juga perdesaan.
Ada kritik menohok yang ditujukan kepada perilaku belanja kelas menengah . Kalau mereka belanja di pasar moderen, mereka langsung membayar harga barang yang dibutuhkan berapapun harganya. Sebaliknya kalau berbelanja di pasar tradisional, harga seikat sayur lima ribu rupiahpun masih ditawar hingga setengah harga.
Kritik itu memang merupakan pembelaan terhadap pedagang kecil. Kelas menengah yang hidupnya sudah mapan agar mengubah prilaku berbelanjanya jangan terlalu menekan pedagang kecil dan sebaliknya sangat loyar kalau berbelanja di pedagang yang sudah kaya.
Memang harga-harga di pasar moderen sudah pasti. Tidak ada proses tawar-menawar. Harga-harga barang ditentukan oleh penjual. Tentu saja penjual sudah memperhitungkan persaingan. Kalau mereka memasang harga terlalu tinggi maka mereka akan kehilangan pelanggan. Namun, akan merugikan konsumen kalau tidak ada pesaing.
Persoalan harga sudah menjadi perdebatan sengit di awal munculnya ilmu ekonomi di paruh kedua abad ke 18, sampai akhirnya ada titik terang penyelesaian berkat jasa seorang ahli matematika yang “menemukan” kurve permintaan dan penawaran.
Pada mulanya dikatakan harga barang ditentukan oleh nilai kerja yang dikorbankan untuk menghasilkan barang itu. Harga satu set meja kayu lebih mahal dari satu set kursi kayu, karena kerja untuk memproduksi meja kayu lebih banyak ketimbang kerja yang diperlukan untuk membuat kursi kayu.
Pemikiran itu muncul saat itu mungkin karena bahan baku kayu ada secara berlimpah, tinggal mengambil di alam sehingga tidak dihitung nilainya sebagai pembentuk harga.
Pemikiran mengenai harga kemudian berkembang, tidak hanya memperhitungkan nilai kerja tetapi juga memperhitungkan faktor produksi lainnya. Hingga dikatakan yang menentukan harga adalah biaya produksi.
Pemikiran mengenai harga itu tetap mendapat kritik karena hanya mempethitungkan sisi produksi, sisi penawaran. Tidak memperhitungkan sisi pembeli yang melakukan permintaan.
Kemudian muncul pemikiran mengenai harga yang memperhitungkan kepuasan konsumen. Harga segelas air di padang pasir bisa lebih mahal ketimbang harga satu kilogram emas. Namun harga satu gelas air pertama itu tidak bisa dipakai sebagai patokan harga. Harga air berikutnya lebih murah karena kepuasan konsumen sudah terpenuhi. Kemudian harga dikatakan ditentukan oleh kepuasan tambahan (marjinal) yang dapat diberikan oleh suatu barang kepada konsumen. Jadi masalah harga ditentukan oleh permintaan konsumen.
Demikianlah perdebatan mengenai harga terus bergulir antara ditentukan oleh produsen yang melakukan penawaran dan konsumen yang melakukan permintaan.
Akhirnya muncul seorang ahli matematika, Marshall, yang kemudian menjadi ekonom kenamaan menawarkan kurve permintaan dan penawaran. Pemikiran Marshall memadukan pemikiran mengenai harga yang sudah ada sebelumnya. Harga menurut Marshall ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar.
Sejak munculnya pemikiran Marshall mengenai harga itu, persoalan harga sudah dapat dipecahkan dalam ilmu ekonomi. Setidaknya perdebatan mengenai harga tidak lagi sengit.
Saya tidak tahu apakah Marshall sering datang ke pasar tradisional menyaksikan tawar-menawar antara pedagang dan pembeli sampai terjadi kesepakatan harga. Hingga kemudian ia melahirkan konsep kurve permintaan dan penawaran yang memecahkan persoalan harga dalam ilmu ekonomi. [T]
Singaraja, 13032019, dari pasar tradisional sehabis jalan pagi…