“Ketika tubuh manusiawi dan bumi diasumsikan memiliki sifat-sifat kesamaan alami, keduanya harus dipahami sebagai berinteraksi dan tergantung. Misteri alam oleh karena itu harus menjadi misteri tubuh manusia, atau tubuh manusia menjadi mikrokosmos jagad raya, dan ini diperhitungkan untuk kosmogoni Tantra yang bertujuan untuk menjelaskan kelahiran jagad raya di dalam pengertian misteri kelahiran pengada manusiawi” — Narendra Nath Bhattacharyya
——
DALAM kebudayaan masyarakat agraris, perempuan menempati posisi yang sangat ‘mistik’. Hal itu bisa dilihat dari akar-akar teologi purba seperti pemujaan terhadap Tuhan feminim.
Dalam sejarah religi di India misalnya, pemujaan terhadap the Mother Goddes tidak pernah berhenti menjadi pemujaan yang penting. Pemujaan terhadap Tuhan feminim sangat identik dengan kesuburan. Bisa dikatakan, terjadi identifikasi antara bumi dan perempuan. Fungsi bumi dan perempuan pun dianggap sama: menyuburkan perempuan sama artinya menyuburkan bumi.
Bhattacharyya dalam bukunya The History of Indian Erotic Literature (1975) menjelaskan bahwa kesuburan ladang ketika dihubungkan dengan kesuburan perempuan telah memunculkan kepercayaan universal bahwa apapun yang ditanam oleh seorang perempuan hamil akan tumbuh dengan baik, sementara seorang perempuan mandul diperkirakan menyebabkan mandul.
Mitos primitif yang menghubungkan temuan pertanian dengan perempuan ditemukan di seluruh dunia. Para perempuan dari banyak suku di seluruh dunia dikenal secara periodik melucuti pakaian dan telanjang untuk kesuburan tanaman.
Adat istiadat ini, menurut Bahttacharyya, diikuti oleh masyarakat Yunani Kuno dalam sebuah upacara berhubungan dengan Demeter oleh kaum perempuan Flemish, para pendeta perempuan Inggris di era pra-Kristen dan dihubungkan dengan praktek-praktek Taois di Cina khususnya di dalam usaha menurunkan hujan. Adat istiadat yang sama tersebar luas di India, bahkan di Asia Tenggara.
M.C Ricklefs dkk (2013: 8-9) dalam buku A. New History of Southeast Asia secara gamblang menyebutkan, ada dua perhatian penting dalam kebudayaan primordial di Asia Tenggara yakni kesuburan dan perlindungan dari bahaya. Kesuburan selalu diidentikkan dengan pemujaan terhadap perempuan. M.C Ricklefs mengambil dua contoh komunitas masyarakat seperti etnis Bali dan Thai yang memercayai dewi padi sangat berhubungan dengan panen berlimpah.
Altar untuk menjamin kemampuan perempuan memiliki anak dibangun mengelilingi batu berbentuk seperti alat kelamin pria yang diasosiasikan dengan Dewa Siwa. Ada pula roh – seringkali perempuan – yang dipercaya menerima permohonan perempuan yang belum memiliki anak maupun yang sedang hamil.
Selain itu, salah satu ciri kebudayaan Asia Tenggara adalah pentingnya perempuan ‘spesialis’ dan paranormal. Di berbagai tempat di wilayah Asia Tenggara, paranormal yang terkenal adalah kaum perempuan. Memang tidak dipungkiri banyak pula paranormal pria, namun mereka cenderung homoseksual, bahkan transeksual yang terang-terangan mengidentifikasi diri sebagai perempuan.
Pada banyak kasus, makhluk halus itu sendiri adalah perempuan seperti ibu suci sebutan bagi etnis Vietnam dan Po Nagar yang merupakan dewi terpenting dalam etnis Cham. Ini artinya, dalan sejarah religi dunia, perempuan menempati posisi tertinggi. Namun demikian, dengan diperkenalkannya agama seperti Budha Theravada, Islam dan Kristen yang cenderung memberi peran subordinat pada perempuan dalam hirarki spiritual, muncul ketegangan akibat asosiasi tradisional kekuatan spiritual dengan perempuan (Ricklefs dkk, 2013: 8-9).
Dalam kasus Bali, khususnya di Desa Cempaga, sebelum masuknya istilah Pemangku di Desa Cempaga, segala bentuk ritual dipimpin oleh seorang Balian Desa yang dijabat oleh perempuan. Sebelum dilakukan upacara Nurunang Hyang untuk pemilihan Pemangku, Balian Desa pada waktu itu dijabat oleh Dadong Kajeng. Tapi saat ini ada perubahan, tidak ada lagi istilah Balian Desa, melainkan diganti dengan pemangku.
Sejurus dengan itu, pemimpin ritual pun tak lagi perempuan, namun digantikan oleh laki-laki, namun peran ritual yang diambil tetap sebagai perempuan (Utama, 2015). Sampai saat ini, pemangku di Cempaga adalah laki-laki yang berperan sebagai medium Tuhan feminim yang disebut Tapakan Sanghyang Giri Putri, sedangkan dewa maskulinnya adalah Ratu Bagus Tulak Senjata.
Dalam setiap ritual kesuburan, juga selalu melibatkan sebuah kesatuan seksual (persenggamaan). Festival-festival yang menandai berbagai operasi pertanian ditandai oleh upacara-upacara yang memperlihatkan persenggamaan. Lingga atau organ laki-laki adalah simbol tindakan penanaman, sementara Yoniatau organ perempuan mewakili Ibu Bumi (mother earth). Hubungan kesatuan seksual dengan pertanian bisa dikatakan universal. Mereka memiliki kepercayaan bahwa tindakan seksual membantu meningkatkan hasil panen.
Jadi bisa dikatakan, ritual-ritual pertanian yang bersandar pada asumsi bahwa produktivitas alam atau bumi bisa ditingkatkan dengan peniruan reproduksi manusia ini memunculkan upacara-upacara seks di seluruh dunia, termasuk pemujaan Lingga dan Yoni.
Ketika tubuh manusiawi dan bumi diasumsikan memiliki sifat-sifat kesamaan alami, keduanya harus dipahami sebagai berinteraksi dan tergantung. Misteri alam oleh karena itu harus menjadi misteri tubuh manusia, atau tubuh manusia menjadi mikrokosmos jagad raya, dan ini diperhitungkan untuk kosmogoni Tantra yang bertujuan untuk menjelaskan kelahiran jagad raya di dalam pengertian misteri kelahiran pengada manusiawi (Bhattacharyya, 1975: 19).
Figur penting kosmogoni Tantra adalah prinsip perempuan, sementara prinsip laki-laki hanya memiliki posisi sekunder. Pandangan dunia yang didominasi oleh perempuan ini sangat sejalan dengan pandangan Sankhya. Menurut prinsip ini prakrti material yang dipahami sebagai sebuah prinsip perempuan adalah sebab jagad raya dan purusa atau prinsip laki-laki tidak lain adalah penonton pasif.
Victor M. Vic dalam The Tantra (2003) menjelaskan bahwa prinsip perempuan memainkan peran penting di dalam teori penciptaan Tantrik–yang dipahami sebagai kekuatan primordial (purba), sebuah rahim (yoni), sebuah matriks sebab-akibat yang memuntahkan semua zat (matter) dan memberinya bentuk-bentuk, warna dan atribut-atribut lain yang disebut prakrti. Teks-teks Tantrik secara panjang lebar menjelaskan berbagai kemampuan, sifat-sifat dan moda-moda (cara) operasinya.
Teori tantrik percaya bahwa ketika Siva-Sakti berada di dalam sebuah kepadatan ekstrem dan keadaan kesadaran dalam, dan sebelum ia menginginkan Sakti menampakkan wujud dirinya, Sakti disebut Mula-Prakrti.
Teori ini selanjutnya menyatakan bahwa Sakti di dalam keadaan prakrti diberkati dengan tiga kekuatan, yang disebut guna: 1) Sattva (kesadaran); 2) Rajah (kemampuan berubah); 3) Tamas (statis). Lebih jauh, saat Sakti berada di dalam keadaan prakrti ketiga guna itu beristirahat di dalam sebuah keseimbangan dan oleh karena itu Sakti menjadi tidak aktif, tetap tidak terwujud, yang hanya menunjukkan kekuatannya sebagai prinsip kerja Siva.
Tetapi ketika keseimbangan dari ketiga guna itu terganggu oleh keinginan Siva untuk menampakkan wujud dirinya sendiri, yang menciptakan ketegangan di antara guna-guna itu, Sakti mengubah dirinya sendiri menjadi Maya, prinsip penciptaan, yang dengan demikian memunculkan tahap selanjutnya di dalam proses penciptaan. Menurut Victor M. Vic (2003) kesatuan Siwa dan Sakti dalam Tantra Hindu mengarah pada penciptaan sebuah dunia baru.
Kesatuan antara unsur feminim dan maskulin juga banyak ditemukan dalam setiap upacara ritual di Bali. Dalam kepercayaan penduduk Bali Mula di Terunyan misalnya, dikenal dengan dewa lokal bernama Ratu Sakti Pancering Jagat atau Da Tonta. Selain Ratu Sakti Pancering Jagat, yang juga dipuja adalah Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar, yang tidak lain dari permaisuri Ratu Sakti Pancering Jagat (Danandjaya, 1989: 635).
Persenggamaan kosmik antara Ratu Sakti Pancering Jagat danRatu Ayu Pingit Dalem Dasar dilakukan dengan medium kesenian yang dinamakan Barong Berutuk. Dalam penghujung tarian, ada prosesi metambak sebagai simbol kesatuan antaraBhatara Da Tonta dengan Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar. Perkawinan kosmik ini dianggap penting oleh masyarakat Terunyan karena sangat berhubungan dengan kesuburan alam semesta.
Tidak hanya di Terunyan, dalam konsep kosmologis di Bali pun selalu menunjukkan kecenderungan perkawinan kosmik seperti halnya pertiwi-akasa, dan segara giri. Begitu juga dalam pagelaran pementasan Calonarang, selalu menunjukkan klimaks perkawinan kosmik tersebut. Tujuan perkawinan kosmik ini pun adalah untuk kesuburan atau penciptaan dunia baru sebagaimana pandangan Victor M. Vic di atas.
Salah satu bentuk simbol kesuburan yang berlanjut hingga saat ini adalah Cili. Yang menarik dari penggunaan simbol Cili ini adalah adanya dua unsur yang bersifat dualitas yaitu laki-laki dan perempuan. Pertemuan kedua unur ini merupakan representasi dari konsep perkawinan kosmik yang berkembang pada masa pra sejarah dan berlanjut hingga saat ini.
Dalam aktifitas pertanian lahan basah di Bali, Cili digunakan pada saat upacara mabiyukukung atau pada saat padi mulai bunting dan pada saat akan mengetam padi di sawah. Cili dalam hal ini adalah simbol perwujudan laki-laki dan perempuan yang dikawinkan sehingga menghasilkan panen yang diharapkan (Utama, 2015).
Berbagai macam upacara ritual untuk cita-cita kesuburan melalui proses perkawinan kosmik menunjukkan jika alam semesta menempati posisi yang aktif dalam proses produksi. Alam yang diidenfitikasi sebagai sosok perempuan secara aktif mampu membuahkan hasil yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Upaya menjaga kesuburan alam pun dilakukan dengan cara-cara yang puitis: ritual persenggamaan!
Hal ini sejalan dengan pandangan Bhattacharyya (1975) bahwa perempuan tidak hanya menjadi simbol generasi, tetapi produsen aktual kehidupan. Organ-organ dan atribut-atributnya dipahami sebagai yang diberkati dengan kekuatan generatif, dan dengan demikian mereka menjadi kehidupan yang menghasilkan simbol-simbol.
Pada fase-fase awal evolusi sosial, keibuan inilah yang menjaga ladang, ibu yang menghasilkan kehidupan dan menjadi tokoh sentral religi. Dalam upacara-upacara ritual di Bali, aroma aspek Sakti ini sangat menyengat baunya. Artinya, Sakti atau prinsip perempuan tetap diberikan posisi sebagai elemen aktif – bukan pasif, sebagai subyek bukan obyek. Namun kebudayaan modern dengan revolusi industri dan kemajuan teknologi pertanian cenderung mendegradasi posisi perempuan-alam bukan lagi sebagai subyek melainkan obyek pasif.
Pemikir eko-feminisme India, Vandana Shiva (2005:33) menjelaskan, sejak terjadinya revolusi industri dan teknologi, hukum-hukum alamiah dinegasikan. Proses alamiah untuk pembaharuan justru dianggap membebankan. Bibit produk industri dinilai lebih unggul sebagai bibit yang berasal dari alam dan kesuburan tanah. Hukum alamiah dan reproduksi kehidupan sekarang dilanggar oleh bentuk kehidupan rekayasa transgenik, yang dampaknya terhadap kehidupan belum diketahui dan tak terbayangkan.
Di sini ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang berakar dari rasionalitas subyek, memposisikan alam-perempuan tidak lagi sebagai subyek aktif. Kesuburan alamiah tidak lagi diperlukan dan digantikan oleh rekayasa kesuburan untuk kecepatan produksi.
Menurut Vandana Shiva (2005:35), revolusi ilmiah telah menggulung batas-batas kebodohan. Suatu tradisi pengetahuan yang memandang alam dan perempuan hanyalah sekadar sebagai sumber semata dan hukum alam sebagai kendala telah menciptakan kebodohan yang dilakukan manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kolonisasi terhadap alam mencerminkan pola terhadap kolonisasi terhadap tubuh perempuan.
Secara singkat dikatakan, revolusi industri dan kemajuan pengetahuan dan teknologi justru melahirkan monster dan teknik-teknik patriarki terhadap alam-perempuan. Pada titik ini, alam tidak lagi diperlakukan secara puitis dengan bungkusan mitos dan religi – melalui upaya perkawinan kosmik – untuk menghasilkan kesuburan.
Cara-cara yang dianggap rasional dengan tujuan kecepatan produksi-ekonomis dan kemajuan kehidupan justru mengancam kelangsungan ekologis. Sebut saja untuk kasus Bali, pola pembangunan kini menampakkan wajah-wajah patriarki. Pemerkosaaan terhadap ‘ibu pertiwi’ melalui alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman kian marak terjadi.
Depuitisasi alam dilakukan dengan dalih pencapaian pembangunan dan kesejahteraan sosial. Hal ini tentu sangat berbanding terbalik dengan kehidupan orang Bali yang kaya akan puisi-puisi religi yang lahir melalui rahim kebudayaan agraris. Melalui upacara ritual, kesadaran manusia Bali digedor untuk memaknai proses alamiah alam dan menyambut hasil alam dengan cara-cara yang puitis.
Sampai saat ini, bisa dikatakan ritual-ritual kesuburan seperti upacara Usaba Desa atau Usaba Nini masih dilaksanakan oleh masyarakat Hindu di Bali – kendati lahan pertanian dan perkebunan makin terjepit. Hari Raya Galungan pun sebenarnya adalah sebuah ‘pesta’ agraris orang Bali – yang kemudian dimaknai secara lebih heroik: hari kemenangan dharma.
Politik Tubuh
Dalam kebudayaan agraris, label kesuburan dicantelkan pada perempuan. Sekali lagi, fungsi bumi dan perempuan dianggap paralel, sama-sama menjadi representasi dari kesuburan: perempuan yang menghasilkan anak seperti ladang yang menghasilkan buah. Dalam kebudayaan Bali, label kesuburan yang dilekatkan pada perempuan bisa dilihat dari tokoh yang bernama Men Brayut.
Brayut adalah seorang perempuan yang menyusui banyak anak. Bisa dikatakan, Brayut adalah konstruksi identitas masyarakat agraris yang mewakili simbol kesuburan dan kesejahteraan masyarakat. Brayut juga sering dipuja untuk memohon keturunan.
Namun sejak Orde Baru ketika program Keluarga Berencana (KB) sedang digalakkan, sosok Brayut mengalami stigmaisasi; dianggap mewakili kehidupan keluarga miskin yang kumuh. Pada masa itu keluarga Brayut adalah model keluarga yang harus dihindari jika ingin membentuk rumah tangga yang harmonis dan sejahtera (Utama, 2016).
Di sini tampak bahwa kekuasaan telah memberikan label atau identitas tertentu kepada tokoh Brayut. Artinya tokoh Brayut tidak lagi menjadi representasi kesuburan dalam arti luas, melainkan direduksi sebatas urusan keluarga dan tubuh perempuan yang harus dikontrol dan didisiplinkan demi cita-cita pengendalian populasi yang berdampak pada kesejahteraan sosio-ekonomi.
Melalui program keluarga berencana (dua anak saja cukup) negara melakukan upaya kontrol terhadap tubuh perempuan, termasuk kontrol terhadap kodrat kesuburan secara alamiah yang dimiliki perempuan. Sekali lagi: kekuasaan negara sudah sampai ke rahim perempuan!
Filsuf kontemporer Michel Foucault (1926-1984) dalam The History of Sexuality jilid I membeberkan bahwa memasuki akhir abad ke 18 muncul kebutuhan akan pengendalian populasi. Kebutuhan akan pengendalian populasi ini secara konkret berisi kebutuhan untuk mengontrol perkawinan, kelahiran bayi dan hidup tiap-tiap individu. Saat itu tumbuh minat besar akan studi mengenai manajemen perkawinan dan kelahiran dalam konteks demografi, di sini untuk pertama kalinya dalam sejarah ketika itu mulai diadakan proyek pengorganisasian populasi secara statistik. Foucault menyebut ini sebagai kesadaran-biopolitik.
Menurut Foucault jantung kontrol pupulasi ini adalah kontrol seksual. Kontrol seksual pada abad ke 18 ini adalah kontrol seksual yang tujuan utamanya adalah untuk pengendalian populasi dan pencetakan mutu penduduk demi menghasilkan sumber daya manusia yang sehat.
Di sini kontrol seksual diberlakukan untuk menghasilkan target-target politik semacam pencapaian kelangsungan penurunan penduduk serta tingkat harapan hidup yang tinggi pada penduduknya. Foucault melihat kontrol seksual di abad 18 bukan menghasilkan semacam diskualifikasi tubuh tapi sebaliknya ia melahirkan suatu intensifikasi atau maksimalisasi tubuh. Singkatnya: rasisme!
Pada titik ini, negara berkolaborasi dengan pengetahuan medis, turut andil dalam melakukan kontrol terhadap seksualitas masyarakat termasuk ritme kesuburan alamiah perempuan. Melalui program Keluarga Bencana, tubuh perempuan dan seksualitasnya didisiplinkan untuk mencapai target-target politik negara yang didasarkan atas asumsi-asumsi medis dan ekonomis. Di sini tubuh perempuan benar-benar diposisikan sebagai obyek melalui upaya politik tubuh. Ritme tubuh yang alamiah diinterpretasikan secara sistematis-medis.
Pengobyekan tubuh perempuan juga terjadi dalam praktik-praktik medis belakangan ini. Penanganan persalinan telah dikaitkan terhadap mekanisasi tubuh perempuan menjadi seperangkat bagian yang bisa difragmentasikan, dipuja-puja, dan bagian yang dapat dipindahkan dan diatur oleh para pakar profesional. Di sini seorang perempuan yang sedang hamil tidak banyak dilihat sebagai sumber regenerasi manusia, tapi hanyalah sebagai ‘bahan baku’ darimana produksinya – si bayi – dilahirkan. Dalam situasi demikian, bukan si ibu yang dipandang telah berjasa melahirkan anak tapi sang dokterlah (Shiva, 2005: 33).
Rahim perempuan pun telah direduksi menjadi sebuah wadah yang tak berdaya, dan kepasifan mereka telah direkayasa seiring dengan ketidaktahuan mereka. Ikatan organik langsung antara seorang perempuan dengan janin digantikan dengan pengetahuan yang ditengahi manusia dan mesin. Di sini tidak ada lagi hubungan emosional antara perempuan dan janin.
Perempuan bukan lagi menjadi sosok yang paling tahu keadaan janin termasuk tubuhnya, melainkan ia harus mengkonsultasikan diri kepada pakar-spesialis. Pada titik ini, kontrol seksual dan ritme kesuburan alamiah perempuan ini akan menghasilkan apa yang namanya histerisasi tubuh. Perempuan akan merasa terasing dengan tubuhnya sendiri. Ia merasa terlepas dengan tubuhnya sendiri.
Melihat realitas ini, Anna Oakley mencibir dengan sinis: rahim perempuan merupakan wilayah yang diperebutkan oleh berbagai macam ideologi dan tindakan dari mereka yang tidak percaya bahwa perempuan mampu merawat diri mereka sendiri. Penaklukan rahim perempuan merupakan dominasi dari paradigma ilmiah fisikalis dan maskulinis, logika tertinggi, bukan semata penangan kehidupan, namun dari suatu pandangan dunia Cartesian, di mana perilaku tubuh dapat dijelaskan dan dikontrol secara bebas oleh pikiran.
Pada titik ini, eksploitasi tubuh perempuan dengan power knowledge yang berwajah patriarki akan terus terjadi. Mitos kelebihan penduduk pada negara-negara miskin hanya dijadikan pembenaran untuk meningkatkan pembangunan teknologi anti kesuburan (Mies, 2005: 201). Termasuk upaya kontrol kesuburan untuk cita-cita keluarga ideal yang diproyeksikan negara merupakan bentuk penegasian terhadap kerja alamiah (kesuburan) tubuh perempuan. Hal ini berbanding terbalik dengan pandangan hidup orang Bali yang justru berorientasi pada kesuburan baik secara mikro maupun makro. [T]