Menjelang Hari Nyepi kemarin, saya menikmati liburan di kota kelahiran sahabat saya di Bondowoso.
Bagaimana pun, bagi saya, liburan tetaplah liburan; bisa dinikmati di mana saja dan dimanfaatkan untuk apa saja, tanpa harus ada aturan-aturan baku maupun kebiasaan-kebiasaan umum lainnya.
Saya tidak ikut merayakan Nyepi—tentu saja, saya bukan termasuk umat Hindu. Saya hanya ingin liburan, di rumah sahabat saya, berkumpul dengan Mbak Titin, Cacak, Zia—gadis manis berumur tujuh tahun itu—, berbagi pengalaman dan belajar bersama di Kelas Inspirasi, dan bertemu teman-teman baru di sana, serta melakukan hal-hal yang biasa saya lakukan ketika berada di Bondowoso: bangun pagi, mandi di sungai, sarapan penganan, ngopi, ngobrol sampai menjelang tengah hari, lalu makan masakan Mbak Titin—ya, yang enak itu, kemudian jalan-jalan menikmati alam Desa Glingseran dan sekitarnya, termasuk—tentu saja—wisata Rengganis dan Arak-Arak.
Di Bondowoso, lebih tepatnya di Desa Glingseran, Kecamatan Wringin,beberapa kartu seluler kesulitan untuk mendapatkan jaringan. Kurang lebih lima hari, saya hampir tidak memegang telepon pintar sama sekali.
Namun, di sinilah, saya bisa melihat sisi lain dari kehidupan, dan menemukan bahwa tidak semuanya tentang orang-orang yang berjalan tergesa-gesa sambil menunduk, melihat layar gadget, dan tidak semuanya tentang keriuhan media sosial yang semakin memuakkan.
Tidak semua tentang fitnah-memfitnah, ujaran kebencian, kebohongan, saling telikung-menelikung, tak peduli kawan maupun lawan, dan kekonyolan-kekonyolan yang diumbar tanpa rasa malu dan malah diagung-agungkan.
Tidak semuanya tentang capres-cawapres, caleg, dan kehidupan yang terus disumpal hal-hal yang berbau politik praktis.
Di sini, semuanya tentang kedamaian, kekeluargaan, keharmonisan, dan kebahagiaan.
***
Dan, seperti yang sudah saya duga, saya menyukai kehidupan seperti ini, kehidupan orang-orang yang menikmati setiap detik yang mereka miliki, kehidupan orang-orang yang melewatkan hari yang cerah dengan duduk-duduk di teras rumah sambil membuat pernyik—wadah ikan yang terbuat dari anyaman bambu—, ditemani secangkir kopi, sambil nglinting tembakau hasil panen sendiri.
Kehidupan yang sangat sederhana, begitu minimalis. Tak kalah dengan kaum-kaum minimalis yang banyak bermunculan di Jepang—yang mulai banyak dibicarakan sejak tahun 2010.
Mereka tidak perlu harus membaca buku The Life-Canging Magic of Tidying Up karya Marie Kondo—yang melejit-laris dan ikut mendorong merebaknya tren hidup minimalis—untuk bisa memahami bagaimana seni hidup sederhana, minimalis. Juga tidak perlu harus tahu apa yang melatari munculnya seni hidup minimalis ala Fumio Sasaki—yang menuangkan pemikirannya tentang hidup minimalis dalam buku berjudul Goodbya, Tings: Hidup Minimalis ala Orang Jepang.
Alam telah mengajarkan mereka tentang segalanya. Mereka tidak pernah bicara bahwa “neraka adalah orang lain” seperti Sartre. Mereka belajar dari bau tanah, lumpur, langit, alam semesta yang membuka diri, dan daratan yang diam tak disapa. Mereka hidup dengan konsep dan ide yang tak baku dan formal, tapi keindahan yang bersahaja dan primitif punya arti yang hangat di situ: kehangatan matahari yang menembus pori-pori.
Tak juga dapat diabaikan ialah citra mereka sebagai pembawa pesan moral—dan moral adalah sebuah kata yang penting bagi kesadaran bangsa ini. Mungkin ini juga yang tak ditawarkan oleh orang-orang yang hidup di kota, yang hidupnya selalu saja tentang pragmatis, individualis, tergesa-gesa.
Di sini, bersama orang-orang desa, saya menemukaan tanah masa kanak, suara rendah burung-burung, vibrasi pohon sengon dan kadal-kadal yang ingin tak terlihat. Dan mungkin ini semua bisa jadi hanya sebuah metafora: kiasan untuk masa lampau yang tak bisa dilepaskan oleh siapa pun. Saya menyukai kehidupan ini.
***
Faktanya, kebahagiaan, kedamaian, atau apa pun itu, tak mungkin abadi. Dalam sebuah perjalanan, lalu singgah sebentar, kemudian merasakan kenyamanan, tetap saja kau harus kembali, menjalani rutinitas dari kehidupanmu sebelumnya. Justru—seperti yang pernah dituliskan oleh Mumu Aloha—di situlah seninya bepergian, merasakan bahwa setiap pengalama dalam hidup ini tidak ada yang abadi.
Satu saat kau di sana, saat yang lain kau di tempat yang lain lagi, dan suatu hari nanti, entah akan ke mana lagi. Seperti hujan yang datang sebentar, membasahi bumi yang kering, dan meneduhkan hati yang panas. Seperti mimpi yang mampir dalam tidurmu. Seperti lagu yang sesaat membuai jiwa, untuk kemudian menjadi kenangan, mungkin untuk selamanya.
Namun, suasana ini, gelak tawa ini, esensi ini, orang-orang ini telah menyadarkan saya bahwa saya takkan pernah sendirian. Mungkin liburan kali ini saya kehilangan makna “pulang”, tapi bukankah saya tidak pernah pergi? Bagi saya, di negeri ini, di mana pun saya berada, semuanya adalah rumah.
Dan jika kau bertanya, daerah mana yang paling berkesan yang pernah saya singgahi? Sejujurnya, saya tidak pernah punya jawabannya. Semua daerah memiliki cerita yang berbeda-beda. Yang sama hanyalah rasa sakit ketika berpisah. Karena perpisahan, semanis apa pun itu, seindah apa pun itu, perpisahan tetaplah perpisahan. Ada cerita yang harus berubah menjadi kenangan.
Panjang umur, kebahagiaan. [T]