Kenapa harus hujan? Bagi saya itu adalah sebuah pertanyaan kecil yang hadir dalam intuisi.
Ada sesuatu fenomena atau seperti ada kekuatan besar mengingat masa yang pernah terjadi silam. Saya tidak tahu harus memulai cerita ini dari mana. Baiklah saya akan menceritakan antara saya dan hujan.
Saya berada di Singaraja hampir tiga tahun sebagai anak rantauan hanya untuk kuliah. Meninggalkan keluarga, saudara, dan sahabat jauh dari pulau Jawa. Entah berapa musim hujan terlewati. Ketika hujan turun sepertinya ada kekuatan yang hadir mengingatkan cerita kecil yang ada di tanah Jawa.
Saat itu hujan di waktu pagi, kebetulan hari sabtu tidak ada kegiatan. Dari jendela kos kulihat hujan turun dan setiap tetesanya menghadirkan cerita.
Saya ingat ketika pagi seperti ini sewaktu di kampung saya harus berada di ladang bersama bapak. Menenteng sabit, cangkul, dan karung. Untuk urusan memotong rumput-rumput belukar yang mengganggu tanaman itu bagian saya dengan sabit dan karung yang saya bawa, sementara bapak saya hanya mencangkul bagian pinggir ladang karena tanah di sana kalau musim hujan sering kelimpahan air dari aliran sungai-sungai kecil yang ada di pinggir ladang.
Selain kami berdua masih saya ingat sosok ibu, acap kali mengantarkan makanan untuk kami yang ada di ladang mulai dari pagi. Makanan yang Ibu bawa memang tidak seberapa, hanya nasi putih dicampur jagung sedangkan lauknya hanya tahu, tempe, dan sayur-mayur dilengkapi dengan sambal beserta krupuknya.
Tapi rasanya sangat berbeda jika dibandingkan dengan makan di rumah walaupun yang dimakan itu berlauk ayam atau ikan laut.
Ada kenikmatan tersendiri makan bersama seperti di sawah-sawah sembari melihat petani desa memanggul rumput, ibu paruh baya menggendong bayinya, dan melihat burung-burung kecil yang melalu-lalang hinggap. Seharian berada di ladang mungkin kami pulang hanya untuk Shalat Duhur lalu setelah itu kembali lagi ke ladang untuk meneruskan kembali menyabit jika belum selesai.
Suasana yang sangat saya rindukan beberapa tahun ini, dan cerita lama ini muncul dalam ingatan ketika hujan turun bahkan terkadang membuat saya larut dalam rindu dan kesedihan.
Entah berapa musim hujan saya masih ada di Singaraja, kembali lagi hujan mengingatkan pada sebuah cerita.
Pada sore itu, saya ingat ketika berteduh di kantin sembari menyeruput kopi. Kebetulan sekali tugas kuliah semakin menumpuk dan di sisi lain dimarahi oleh dosen. Sekali lagi hujan mengingatkanku, betapa asiknya ketika saya masih belum kuliah.
Dulu kalau di kampung hujan-hujan seperti itu asik bermain bola bersama teman-teman sebaya, lucunya lagi kami bermain bola bukan di lapangan tapi di halaman rumah tetangga karena untuk bermain bola di lapangan jaraknya cukup jauh dari kampung.
Masih saya ingat waktu itu bermain bola memiliki peraturan-peraturan yang kocak di tanah yang becek dan itu menjadi suasana bermain sangat nyaman, jatuh tersungkur, dan ketika pulang diomeli oleh ibu itu sudah menjadi kebiasaan yang kami lakukan.
Lamunan di kantin saat itu buyar ketika petir menggelegar semakin keras, sementara saya harus pulang karena menjelang petang.
Terkadang saya berpikir ada apa dengan hujan, karena bak ada kekutan yang mengembalikan seseorang pada cerita lama. Bahkan hal demikian tidak melulu hanya dialami oeh saya, melainkan juga sahabat ketika asik bincang-bincang tentang kekuatan di balik hujan. Bahkan mereka juga menceritakan ingatan masa lalunya dengan versinya masing-masing, yang pasti cerita yang diambil dari kampung masing-masing.
Saya ceritakan lagi ingatan silam yang datang, kali ini pasca langit biru lepas hujan. Saat itu duduk meringkuk di atas karpet depan kos, sendirian pula. Seteguk teh hangat yang menemani sampai habis bersama rintik hujan yang reda.
Tiba-tiba saya ingat, dulu pasca hujan seperti ini di kampung mencari jamur bersama kerabat, kadang pula bersama rekan sebaya. Mengingat kami anak yang lahir dan besar di kampung nan banyak tanah lapang berupa persawahan. Kami menyusuri setiap petak sawah di bagian pojok, biasanya jamur-jamur adanya di sana berjejeran di tanah yang lembap.
Selain di pojok sawah juga tak kalah banyak mencari jamur di bawah lumbung padi di antara tumpukan jerami yang petani simpan di dekat lumbung, lumayan banyak entah itu jamur jenis apa. Penat yang kami rasa solah-olah hilang karena serunya mencari jamur dengan canda dan tawa mereka di area persawahan.
Biasanya selepas mencari jamur kami serahkan pada Ibu entah nanti mau digoreng atau dibuat jamur dengan kuah yang lezat, sangat nyaman apa lagi biasanya kami makan bersama dengan keluarga. Kali ini saya rindukan momen yang seperti sedia kala, tapi yasudahlah waktu liburan semester masih lama.
Kamarin, saat hari raya Nyepi tepatnya pagi yang lengang saya terperangah dengan penglihatan masih temaram saat kembali lagi hujan kecil. Mulailah cerita masa lalu datang. Biasanya pagi-pagi yang masih remang-remang seperti ini saya dan petani desa di kampung mulai ke sawah membawa penggilis padi, gadang, sabit, dan terpal.
Beramai-ramai memanen padi bergerombolan setiap keluarga dan itu saya lakukan setiap kali musim menanam padi. Di sana ada dangau tempat kami berteduh tempat sejenak melepas penat bersama embusan angin, kicau burung, tupai-tupai di dahan pohon, domba-domba petani, dan sebagainya.
Sebenarnya masih banyak lagi cerita kecil yang belum saya utarakan dalam tulisan ini, tapi yasudahlah cukup sampai di sini saja, kali lain akan saya lanjutkan. Insyaallah, saya tidak mau berjanji karena takut dosa jika tidak ditepati.
Hujan memang begitu, di setiap tetes meghadirkan sebuah cerita. Cerita-cerita ini hadir hanya saat hujan dan pasca hujan turun. Bahkan catatan kecilpun terkadang lebih nyaman di tulis saat hujan. Di bawah ini potret kampung halaman saya yang masih asri. Ah…ingat, ini bukan puisi hanya saja catatan kecil.
KAMPUNG-TANAH JAWA
Berapa kemarau panjang dan musim hujan
menghiasi waktu aku merantau.
Aroma tubuh dan rimbunmu menyeruak
masuk memancing rindu.
Aku pulang pertiwi masih tak berlumur.
Mata air memancur di tepi bukit.
Mengalir dari hulu ke hilir
membasahi kering rerumputan.
Sekelumit petak tanah masih membekas
jemari di antara lumpur.
Teduh jerami kering dangau di sanalah Ibu meringkuk.
Menyantap buah nyunyuran kecil berteman angin
yang meniup-niup sekujur tubuh.
Tak kutemukan bising bus kota.
Suara ringkih ujar petani desa.
Kicau burung pipit menyahut bergantian.
Sirkus tupai bergelantungan dari ranting ke ranting.
Domba liar di hamparan rumput tanah Jawa.
Sekali lagi bumi pertiwi masih tak berlumur.
Tempat aku menjamah santapan pagi bersama Ibu.
Memberi dongeng lampau turun-temurun hingga
padaku sebagai anakmu.