kottamaning sang hyang śāstra, twara lenan panangkānñane jati, awinan saratang surud, ring sang mahā paṇdhita, pakedhӗpan śāstrane wkasing lӗngūt, pӗñcarang pasuk wtuwang, īdhӗpang dadi hyang sami
[keutamaan Sang Hyang Shastra, tiada lain keberadaannya yang sejati, maka mohonkanlah segera, kepada ia yang bijaksana, kenyataan shastra yang teramat indah, sebarkan keluar masukkan, bayangkan menjadi Hyang semuanya]
________
I
Shastra-Ba[ng]li
Sang Hyang Shastra. Kepadanyalah pengarang mengabdikan diri agar senantiasa dianugerahkan benih-benih inspirasi. Kepadanya pula puja-puji dikumandangkan. Bukan bermaksud melankolis puitis, tapi begitulah Shastra, ia membuat yang keras jadi lembut. Shastra memberikan ruang kepada manusia agar terbebas dari kemelut pikiran. Pikiran dibuatnya tenang, hening dan bening. Tidak salah jika kemudian, pencerita Geguritan Putra Sasana menyebutkan bahwa pada Panditalah shastra itu bersemayam. Pandita berarti, ia yang bijaksana.
Kebijaksanaan itulah inti dari shastra. Sebab, shastra dan kebijaksanaan muncul dari pikiran yang sama, yaitu pikiran yang telah suddha[hening]. Pikiran yang suddha itu dalam ajaran shastra disebut sebagai buddhi. Shastra lahir dari buddhi sang kawi [ikang aji, sangkaning buddhi sang kawi][Sarasamuccaya, 4]. Jika shastra adalah produk buddhi, maka shastra adalah produk dari kebijaksanaan. Hubungan antara shastra dan kebijaksanaan, seperti hubungan orang tua dengan anak yang saling melahirkan. Shastra dan kebijaksanaan menjadi anak dan orang tua di saat yang sama.
Dengan cara pandang demikian, shastra telah distanakan pada padmasanayang istimewa. Tidak hanya berhenti pada pengertian bahwa shastra adalah produk seni olah kata atau olah bahasa tetapi sekaligus olah rasa. Menurut Agastia [1992] dan Palguna [1998], bahasa dan rasa adalah satu kesatuan yang utuh. Lebih lagi jika susunan kata yang digunakan dalam karya shastra adalah kata-kata terpilih. Tujuannya adalah membangkitkan rasa keindahan [kalӗngӗngan]. Kakawin Dharma Śūnya menyebut bahwa sarinya keindahan, adalah kumpulan rasa [sāra ning kalӗngӗngan, yatika pasamudāyaning raṣa].Jika memang demikian keutamaan shastra, adakah peranannya terutama bagi Bangli dari dulu hingga kini?
Pada sub judul di atas, nama Bangli sengaja diberikan tambahan tanda kurung ‘[]’ untuk mengapit suara ‘ng’. Alasannya sangat subjektif dan personal. Tentu tidak ada maksud untuk merubah nama Bangli yang sudah tercatat dalam prasasti Pura Kehen C itu.
Shastra dan Bangli dalam beberapa studi shastra Bali, sangat jarang disebut-sebut. Kebanyakan penelitian shastra, menyebut nama besar seperti Ida Pedanda Made Sidemen [Sanur], Ida Cokorda Mantuk Ring Rana [Denpasar], Ida Pedanda Ngurah [Tabanan], Ida Ketut Jelantik [Buleleng], Ida Anak Agung Istri Kanya [Klungkung], Ida Pedanda Nyoman Pidada, Ida Pedanda Ketut Pidada, Anak Agung Istri Biang Agung [Karangasem].
Bangli pada masa tertentu sepertinya memiliki tradisi nyastra. Salah satu hasil karya yang sempat ditemukan di wilayah Bangli, adalah Geguritan Putra Sasana. Selain itu juga ada tiga karya lain yang juga ditemukan di daerah ini, yakni Geguritan I Gusti Wayan Kaprajaya, Kidung Lungsir Petak, dan Kakawin Kebo Tarunantaka. Ketiganya adalah karya Anwam Siwi. Anwam berarti Nyoman, Si adalah Singgin, Wi adalah Wikarman. Nyoman Singgin Wikarman.
Kata Putra Sasana, ditemukan di dalam teks berbunyi; ne inucap di tutur putra śaśaṇa, sakawonganña wyakti, yan twara urukang, ri solaḥ ūttama, ban blog bapānña dadi, liwating trӗṣṇa, kraṇa takut miyӗrin [yang disebutkan dalam tutur Putra Sasana, benar-benar manusia itu, jika tidak diajarkan, tentang perilaku yang baik, sebab kebodohan ayahnya, terlalu sayang, karenanya takut memarahi]. Putra Sasana disebut sebagai tutur, karena isinya berkaitan dengan menyadari kewajiban sebagai anak. Disebut geguritan, karena menggunakan pupuh. Tetapi di dalam bait tersebut, kalimat ne inucap di tutur putra śaśaṇa bisa berarah dua. Pertama, Putra Sasana yang dimaksud adalah nama karya shastra tersebut. Kedua, Putra Sasana adalah rujukan yang digunakan untuk membuat karya itu. Hal ini bisa dibicarakan panjang lebar dalam studi filologi maupun kodikologi.
Judul Putra Sasana diperoleh secara verbal dari pewarisnya yakni Anak Agung Gede Bagus Ardana dari Puri Kilian, Bangli. Sebagai pewaris, menyebut naskah ini sudah ada sejak lama. Sayangnya angka tahun dan pengarangnya tidak diketahui [anonym]. Setelah dilakukan pemeriksaan sekilas, di dalamnya belum ditemukan suatu petunjuk apapun perihal pengarang maupun angka tahun selesainya karya ini ditulis. Putra Sasana sebagai nama karya, selain naskah yang ditemukan di Puri Kilian, juga menjadi koleksi Pusat Dokumentasi Provinsi Bali. Setidaknya ada tujuh naskah yang memuat judul Putra Sasana. Ketujuh naskah tersebut, jelaslah tidak sama dengan naskah yang digunakan dalam tulisan ini. Adapun judul-judul ketujuh naskah tersebut ialah Kakawin Putra Sasana A, Kakawin Putra Sasana B, Kakawin Putra Sasana C, Geguritan Putra Sasana 1, Geguritan Putra Sasana 2, Geguritan Putra Sasana 3, dan Putra Sasana Cowak.
Putra Sasana dari Puri Kilian [selanjutnya disebut Putra Sasana K], diawali pupuh durma dengan bait dhūḥ mās miraḥ cahi atmā jiwan bapā, dumadak mangde cahi, sadya dirghgā yuṣa, mamanggiḥ kaeśwaryyan, dibya guṇa sadhu buddhi, mabahan pangkat, dadi kaphalā nӗgri [O, engkau permata hati jiwa hidupku, semoga engkau, berhasil berumur panjang, selalu menemukan kemenangan, berilmu tinggi berbudi tenang, menjalani tugas, sebagai kepala negeri].Di antara ketujuh koleksi Pusat Dokumentasi Bali, hanya satu naskah saja yang diawali dengan pupuh durma yakni Geguritan Putra Sasana 1, berbunyi dhūrmmanggalā anggon panӗmbengakṣama, ring ida dane sami, sang sudhi mawosang, śastran titiang tuna pasang, tan ngatutin pupuḥ gӗṇdhing, saking makṣayang, I blog mapi ririḥ [durma digunakan untuk menembangkan maaf, kepada saudara sekalian, yang berkenan membaca karya saya yang kurang aturan, tidak mengikuti aturan pupuh atau gending, sebab karena memaksa, si Bodoh yang berpura-pura pintar].
Berdasarkan petikan itu, jelaslah kedua karya yang berjudul sama ini, memiliki kandungan isi atau teks yang berbeda.
Jika membaca Putra Sasana K, pembaca akan menemukan sudut pandang, yang dalam tulisan ini disebut pencerita. Pencerita dibedakan dengan pengarang. Pengarang adalah nama yang mengarang, pencerita adalah sudut pandang. Sudut pandang Putra Sasana adalah Bapa [Ayah]. Pencerita menyebut dirinya Bapa, memberikan tutur kepada anaknya yang disebut mās miraḥ atau atmā jiwa.Ada enam jenis pupuh[1]yang digunakan yakni Durma, Sinom, Pangkur, Ginanti, Smarandana, dan Dangdang. Di dalam teks, Durma dan Sinom digunakan sebanyak dua kali. Untuk mengetahui isinya secara singkat, maka berikut ini adalah ikhtisarnya.
Bapa memberikan tutur pada anaknya, dan sekaligus berharap agar anaknya berhasil menjadi pemimpin. Setelah berhasil, agar diingatnya pula bahwa ia memiliki saudara dan harus saling mengasihi, suka duka ditanggung bersama. Shastra itulah yang musti dipelajari, terlebih lagi sebagai seorang pemimpin diibaratkan seperti cermin jagat. Perhatikan Tri Kayika, agar selalu baik maka pastilah akan menemukan keberhasilan [Durma I, 1-5].
Seorang ayah harusnya mengajarkan anak agar selalu berperilaku baik sesuai dengan ajaran shastra. Jika tidak, maka anak tidak akan tahu arah hidupnya. Jika sudah demikian, ayahnyalah yang akan dijadikan bahan tertawaan oleh masyarakat. Memang begitulah kewajiban orang tua dan juga anak, mereka saling menjaga nama baik [Durma I, 6-15]. Semestinya anak itu sedari kecil sudah diajarkan, tidak terlalu dimanja, jika salah patut dihukum. Ajarkan juga membaca shastra, agar terbiasa dan tahu benar salah. Jika ia sudah paham dengan shastra, maka patutlah disayangi. Tetapi perlu juga selalu diawasi, sebab manusia bisa saja lupa. Ada lagi nasihat yang patut diperhatikan, janganlah suka bertengkar. Lebih lagi dengan sesama manusia, pasti akan melahirkan penderitaan [Sinom I, 1-10].
Pagi hari setelah membersihkan diri, ingatlah memuja Sang Hyang Maulun memohon keselamatan. Beliaulah yang disebut Saraswati yang berstana di tengah Padma hati. Setelah itu, pelajari shastra bersungguh-sungguh. Sebagai pembersih buddhi. Jangan lupa mengabdi kepada guru. Juga kepada orang tua. Jangan terburu-buru menginginkan kekayaan serta kemasyuran. Belajarlah dahulu utamakan. Mohonkan kepada para guru agar diberikan pencerahan. Agar hilang segala kekotoran batin itu [Pangkur, 1-11].
Tersebutlah seorang anak yang teramat bodoh, ada juga yang sangat pintar. Sebab memang dari kelahirannya begitu. Maka perhatikanlah anak yang lahir nanti. Ingatlah juga ketika masih dalam kandungan. Membahayakan kehidupan Ibu. Salah sedikit saja, maka meninggallah ibumu. Maka janganlah suka melawan orang tua, jika tidak ingin dikutuk. Kasihilah mereka. Pelajari pula segala ilmu [Ginanti, 1-12].
Itulah yang musti dilaksanakan sebagai anak. Agar orang tua turut bahagia bagaikan mendapat surga ketika berada di dunia. Ingatlah pula cara-cara memimpin negeri. Perhatikan semua punggawa, juga masyarakat. Periksalah semua punggawa itu, apakah dia cerdas atau tidak, menjalankan kebaikan atau tidak. Maka jika ia telah mempelajari Raja Niti Kamandaka, Kutara Mandawa, Sila Kramaning Ahulun, Purwa Adigama Sasana, Sara Dreta Shastra Widdhi, Swayambhu Resi Sasana, Asta Brata, patutlah ia dihormati. Tetapi engkau juga tidak boleh kalah dalam hal ilmu. Dan belajarlah kepada para wiku yang sudah berhasil menguasai segala ilmu, pikirannya tenang seperti langit, budinya tidak mendua, wiku yang demikianlah patut kau jadikan guru [Smarandana, 1-13].
Semoga berhasil segala usaha yang dilakukan, terutama untuk mengabdi kepada negeri. Ingat-ingatlah segala ajaran shastra agar pasti. Pelajari isi dunia juga tubuhmu. Pahami isi shastra seperti asta dasa parwa termasuk adi parwa, sarasamuccaya, dan gunakan sebagai penuntun [Dangdang, 1-3]. Demikianlah semestinya perilaku seorang pemimpin. Gunakan harta kekayaan untuk melayani masyarakat. Jangan hanya berupaya menyenangkan diri sendiri. Perbuatan yang baik itulah pegang teguh. Terlebih lagi saat berperang, maka engkau harus berani. Jangan suka menghina orang lain. Jangan lupa memeriksa bawahan, ingatkan mereka untuk belajar shastra. Kemarahanmu itu kendalikan, jika tidak kawan akan hilang, dan musuh banyak mendekat. Ingat juga berdana kepada masyarakat yang kurang mampu. Perhatikan lingkungan seperti saluran air, jembatan, terowongan, segala yang menyejukkan negeri. Jangan lupa perhatikan kuda-kuda, kereta, senjata, kereta api, kapal perang, juga semua tentara. Jika memungkinkan, sering-seringlah memperhatikan para guru, juga berpunya dana. Perhatikan semua masyarakat, meski yang melarat sekalipun, jika dia setia, maka perhatikanlah dia. Itulah sang raja diibaratkan seperti gunung Himawan [Durma II, 1-23]
Inilah caranya memerintah negeri, pada dirimu terlebih dahulu ukur. Terutama ajaran shastra itu agar kau pahami. Para patihpun demikian, perhatikan perilakunya baik-baik. Pahami ajaran seperti dewa-dewa, Indra, Yama, Rawi, Candra, Baruna, Kwera, Bayu, Agni. Itu disebut Asta Brata. Juga pahami Kutara Manawa dan Sastra Sarwa Dreti, itulah sebagai senjata seorang pemimpin. Janganlah tidak hati-hati ketika memimpin negeri. Jika demikian maka patutlah disebut sebagai pemimpin [Sinom II, 1-17]
Jelaslah bahwa Putra Sasana K, tidak hanya berisi nasihat atau ajaran tentang bagaimana sesungguhnya perilaku [Sasana] seorang anak [Putra]. Tetapi juga berisikan petuah-petuah bagi para pemimpin dan calon pemimpin. Intinya adalah seorang anak dan pemimpin haruslah belajar shastra. Geguritan Putra Sasana, cukup memberikan peta bahwa pemimpin yang nyastra adalah pemimpin yang ideal. Tentu ungkapan itu sangat relevan untuk didiskusikan, dipelajari, dipahami lebih lanjut terlebih pada situasi tahun politik. Putra Sasana yang ditemukan di Puri Bangli, setidaknya menjadi salah satu petunjuk penting, bahwa ada banyak hal yang masih bersembunyi di Bangli. Bangli itu seperti buku tua yang tebal dan terasing dari buku-buku modern. Membacanya tidak cukup dari satu sisi saja, musti ada terobosan pembacaan. Konsekuensinya adalah kenyataan-kenyataan yang mungkin saja seperti loloh kantawali, pahit tapi harus ditelan. Tetapi masalah belum selesai, pertanyaannya, adakah yang ingin menggali peradaban batin shastra Bangli? Hadirkah negara dalam usaha penggalian, pelestarian, serta pengembangan itu?
II
Putra Sasana, Bangli dan Sekar Padma
Padma adalah nama tumbuhan purba. Nama lainnya adalah Pangkaja. Pangka berarti lumpur, Ja berarti lahir. Pangkaja artinya yang terlahir dari lumpur. Meski lahir dari lumpur, bunga Padma tidak dikotori lumpur. Lumpur itulah mala, jadi sekar Padma adalah simbol kesucian. Iatidak kotor, meski lahir dari kekotoran. Tidaklah mengherankan jika kemudian Padma menjadi tempat duduk [asana] para dewa-dewi. Padmasana nama tempat duduk itu. Padmasana juga disebut sebagai tempat yang utama [adisthana]. Maka pada tempat yang satu itulah, beliau bersemayam [padmasana eka pratista ya]. Tentang Padma, ada sebuah kutipan kakawin yang menarik.
dura n manduka ya pamuktya wangining tuñjung prakirneng bañu
ekhasta rahineng kulӗm tathapi tan wruh punya ning pangkaja
bheda mwang gatining madhubrata sakeng doh ndan wawang sparsaka
himpӗr mangkana mudha ning wang anukӗr jöng sang widagdheng naya
[Kakawin Nirartha Prakrӗta]
[mustahillah katak dapat menikmati wangi bunga tunjung yang banyak tersebar di air. Berhari-hari dan bermalam-malam ia tinggal di tempat yang sama, tapi tiada mengetahui keindahan bunga teratai itu. Berbeda halnya dengan si lebah, dari jauh ia sudah mengetahuinya dengan segera. Seperti itulah kebodohanku yang hanya mengotori kaki para ahli yang bijaksana] [Palguna, 1999: 331].
Petikan Kakawin Nirartha Prakrӗta di atas membicarakan perihal katak, kumbang, dan bunga Padma. Katak adalah representasi dari pengarang [orang dalam] yang mengaku bodoh. Kumbang adalah representasi dari orang cerdas yang berasal dari luar. Katak menjadi aktor yang dikalahkan, sedangkan kumbang menjadi pihak yang dimenangkan dalam kasus “mengetahui” keindahan bunga Padma. Mengapa Padma menjadi topik yang penting dan harus diketahui?
Ada banyak alasan yang bisa menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Padma selain sebagai nama bunga, juga sekaligus sebagai konsep kesucian. Geguritan Putra Sasana K, menyebutkan nama Padma sebanyak tiga kali, yakni padmā hrӗdaya [III. 1], padmā sari [IV. 12] dan Padma wangi[VI. 3]. Padma hredaya disebut sebagai stana dari Saraswati, Padma sari adalah stana Hyang Giri Pati bersama dengan Sang Hyang Guru, Padma wangi adalah stana Sang Hyang Sastra. Padma adalah tempat berstananya Sang Hyang dalam Putra Sasana K. Tentang Padma sebagai stana dari Sang Hyang, bisa dilihat pula dalam petikan kakawin berikut ini.
sang hyang wāgīśwarīndaḥ lihati satata bhaktingkw i jöng dhatṛdewī
pinriḥ ring citta munggwing sarasija ri dalӗm twas lanenastawangku
nityāweha ng waranugraha kaluputa ring duhka sangsara wighna
lāwan tāstu wruheng śāstra sakala guṇaning janma tapwan hanewӗḥ
[Wrӗttasañcaya, I.1]
[sang hyang Saraśwatī lihatlah senantiasa baktiku yang tak hentinya ke hadapanMu Dewi Pencipta Alam, hamba mengharapkanMu bersemayam dalam Padma hatiku yang senantiasa hamba puja, agar senantiasa menganugrahi kemuliaan sehingga luput dari duka nestapa dan halangan, dan semoga hamba dapat memahami sastra serta memiliki ketrampilan sebagai manusia dan tidak ditimpa kesulitan] [Agastia, 1987: 6].
Saraswati, dewi ilmu pengetahuan itu distanakan di dalam Padma hati. Di sanalah ia dipuja, tujuannya agar terlepas dari duka nestapa serta halangan. Ungkapan itu mirip dengan ungkapan yang ditulis oleh pengarang Geguritan Putra Sasana K.
smöng marabang mbang wetan, wus masnanā lumkas mangabhakti, ring ida sang hyang maulun, manunas karahayuan, tan lyan ida sang hyang saraśwatī mungguḥ, ring tlӗnging padmā hrӗdaya, siddha mangalangin ati [III.1].
[pagi mulai terbuka di timur, setelah bersinar segera menghaturkan bakti, kepada beliau Sang Hyang Maulun, memohon keselamatan, tiada lain beliaulah Sang Hyang Saraswati berstana, di tengah Padma Hati, berhasil menerangi hati]
suśila dharmmā tur putus, wruḥ ring mulaning dadi, jitakṣara weddha paragā, nityasā muja ngastuti, ngaraccaṇa hyang diwangkāra, makadi hyang giri pati [IV. 11]
[kebaikan tingkah laku adalah kewajiban dan akhir, mengetahui awal kelahiran, menguasai aksara juga ilmu pengetahuan disebut terpelajar, selalu memuja dan berdoa, memuja Hyang Diwangkara, seperti Hyang Giri Pati]
dhampati ring sang hyang guru, liningganing padmā sari, pinuṣpa ring sakabwatan, īnārpāna jñaṇa sandi, sinimpӗn maring prӗliṇa, smāraddhanane mangӗnti[IV.12]
[bersanding dengan Sang Hyang Guru, distanakan pada Padma Sari, dipuja dengan bunga harapan, dipersembahkan segala ilmu, disimpan pada ketiadaan, terbakarnya cinta itulah yang mengganti]
Selain konsep kesucian, Padma juga bisa menjadi peta wilayah. Maksudnya, batas-batas wilayah suatu kerajaan atau negara bisa dilihat sebagai Padma. Jika data yang diberikan oleh Suarsana [2018: 9] valid, itu berarti peta wilayah Bangli bisa dilihat sebagai Padmabhuwana yang berdaun delapan. Kedelapan daun itu merepresentasikan batas-batas wilayah Bangli yang didasarkan pada prasasti Pura Kehen C, mulai dari batas utara, timur laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, sampai barat laut. Dengan demikian, Padma dalam hal ini juga merepresentasikan arah.
Sebagai arah, maka padma berarah dua. Dua arah itu disebut dengan dik-widik. Arah dik adalah empat arah utama mata angin, yaitu Purwa [Timur], Daksina [Selatan], Pascima [Barat] dan Uttara [Utara]. Arah widik adalah empat arah lainnya, yang berposisi di antara dik. Keempat arah widik ini adalah Agneya [Tenggara], Barat Daya [Neriti], Barat Laut [Wayabya] dan Timur Laut [Airsanya].
Selain Padma, kata kumuda juga merujuk pada bunga yang sama. Tri Kumuda adalah sebutan untuk tiga jenis bunga teratai di dalam Kidung Bhramara Sangupati. Ketiga Teratai itu berwarna Nila [hitam], Suddha [putih], dan Sindhura [merah]. Ketiganya merepresentasikan tiga arah mata angin, yakni Utara [hitam], Timur [putih], dan Selatan [merah]. Ketiga warna ini disebut Gana. Selain merepresentasikan tiga jenis bunga sesuai warnanya, Gana juga berarti pengetahuan yang diajarkan kepada murid yang patut [Palguna, 2008: 47].
Di dalam konsep mistis, Padma adalah simbol Cakra. Cakra adalah pusat-pusat tattwika yang dinamis dalam tubuh manusia [Avalon, 1997: 49]. Ada tujuh jenis cakra dalam tubuh, berikut urutannya dari bawah: 1] muladara, seperti bunga Padma merah berdaun empat; 2] swadhisthana, Padma berwarna mengkilat berdaun enam; 3] mani pura, Padma keemasan berdaun sepuluh; 4] anahata, Padma merah gelap berdaun dua belas; 5] wisuddha, Padma berwarna seperti api berdaun enam belas; 6] ajña, Padma merah berdaun dua; dan 7] sahasra, Padma berdaun seribu.
Padma pada dasarnya memang merupakan tumbuhan yang dijadikan stana [asana] para dewa-dewi. Padma juga bisa menjadi peta wilayah geografis dan mistis. Sebagai peta geografis, Padma menunjukkan arah. Sebagai peta wilayah mistis, Padma menunjukkan pusat. Jika Bangli kini belum mendapatkan bunga tertentu yang bisa merepresentasikan keluhuran daerah, dari tingkat biologis sampai pada tingkat filosofis. Tampaknya Sekar Padma, Tunjung, Pangkaja, Kumuda, Sarasija, dan sebutan-sebutannya yang lain, sangatlah layak dipertimbangkan. Maka cobalah menjadi seekor katak, yang ada di bawah bunga Padma. Meski tidak tahu sari bunga, setidaknya pernah menyelam ke dasar akarnya. Mana yang lebih utama, kembali pada bunga atau kembali ke akar? [*/T]
Rujukan
Geguritan Putra Sasana K, Koleksi Puri Kilian.
Geguritan Putra Sasana 1, koleksi Perpustakaan Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Bali, kode G/XVIII/12/Dokbud.
Geguritan Putra Sasana 2, koleksi Perpustakaan Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Bali, kode G/XVIII/13/Dokbud.
Geguritan Putra Sasana 3, koleksi Perpustakaan Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Bali, kode G/XVIII/14/Dokbud.
Kakawin Putra Sasana A koleksi Perpustakaan Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Bali, kode Ka/VII/15/Dokbud.
Kakawin Putra Sasana Bkoleksi Perpustakaan Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Bali, kode Ka/VII/17/Dokbud.
Kakawin Putra Sasana C,koleksi Perpustakaan Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Bali, kode Ka/VII/16/Dokbud.
Putra Sasana Cowak. koleksi Perpustakaan Dokumentasi Budaya Bali Provinsi Bali, kode Ki/II/4/Dokbud.
Agastia, IBG.
1987. Wṛttasañcaya Gitasañcaya Kumpulan Wirama dan Pupuh. Denpasar: Wyāsa Sanggraha.
Agastia, IBG.
1992. Wija Kasawur. Denpasar: Warta Hindu Dharma.
Avalon, Arthur.
1997. Mahanirwana Tantra. Terj. Ketut Nila. Denpasar: Upada Sastra.
Menaka, I Made.
2002. Sarasamuccaya. Singaraja: Indra Jaya.
Palguna, IBM Dharma.
1998. Ida Pedanda Ngurah Pengarang Besar Bali Abad ke-19. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
Palguna, IBM Dharma.
2008. Sekar Ura Menafsir Tattwa, Menyimak Bahasa, Belajar Membaca, Yang Dikalahkan. Mataram: Sadampatyaksara.
Putra, IGA Darma.
2018. “Lungsir Petak: Pencipta dan Ciptaan”. Makalah. Disampaikan pada diskusi Kelompok belajar Bahasa, Aksara dan Sastra Bali, Jumat 25 Agustus 2018 di STAHN Mpu Kuturan, Singaraja
Suarsa, Komang.
2018.
Pura Kehen Pemersatu Krama Bangli. Bangli: tp.
[1]Dalam tulisan ini, masing-masing pupuh diberikan nomor sebagai kode, secara berturut-turut ialah: Durma [I], Sinom [II], Pangkur [III], Ginanti [IV], Smarandana [V], Dangdang [VI], Durma [VII] dan Sinom [VIII].
*Tulisan ini adalah makalah IGA Darma Putra yang disampaikan pada dikusi Shastra Bangli dan Dialog Interaktif, Sabtu 16 Pebruari 2019