HAWA DINGIN YANG MENGINTAI
Menjauhlah dari pintu, dalam ruang sempit ini tak ada penawar andai engkau memaksa masuk dan melindap satu satunya yang aku punya.
Naungmu pada pohon pohon di halaman, tempat embun memamerkan beningnya dan menangkap siapa saja yang melintas, lalu engkau menyelimutinya layaknya ibu dan anak.
Rasa hangat di ruang sempit ini, dan hanya itu yang kupunya, dan menjadi penawar ketika malam malam benar benar empedu dan sepi merajah seluruh tubuhku.
Memang tak ada memar atau ruam merah, namun empedu yang pecah dan membaluri seluruh tubuh dan rasaku itu rasanya seperti apa, jika engkau ingin tahu.
Aku seperti dilempar ke kutub, dengan suhu yang mampu merontokkan sendi sendiku, dingin, sepi, lengang yang berlipat lipat.
Tunggulah sampai esok jika engkau ingin masuk, sampai matahari menyentuh kulit tubuhku, sentuhnya yang mampu menembus jantungku dan merayapi seluruh tubuhku. Lalu engkau boleh bermain main di ladang tubuhku, bahkan menyentuh ceruk rahasiaku.
Permainkan seluruh tubuhku hingga tanpa sisa,
sampai engkau mampu menghitung pori poriku yang meremang, dengan julangan bulu
bulu lembutku, hingga hangat di ruang yang saat ini kupuja lindap atau malah
purna.
–
NARASI DAUN
Kolaborasi yang indah, desau angin, dentang jam angin, gemerisik dedaunan, lengkingan lengkingan bambu terbelah, derit ranting.
Entah , esok apa yang berserak di tanah, dan terjerembab dari ketinggian, menyudahi takdir akan perjalanan, akan kehidupan.
Siapa yang salah. Waktu kah, Tuhan kah, angin kah, atau daun-daun itu sendiri?
Mereka mencoba bermain akrobatik dengan instrumen alam, melayang dan berputar putar.
Nyatanya, daun yang gugur adalah kematian panjang, henti sudah yang bernama petualangan.
Ucapkan salam pada tanah, sebagai penghormatan terakhir sebelum esok menjadi serpih serpih. Dan bakterilah yang berkuasa menjadikanmu remah-remah, sebelum akhirnya menjadi surga bagi cacing-cacing yang melata.
Siapa yang menanti selanjutnya, setelah tanah dan daun menjadi bubur penuh gizi?
Pohon sexy tanpa daun yang meminang lembut bubur tanah dan telor cacing, menjadi santapan terlezat untuk tumbuh kembang, sebelum daun berikutnya tumbuh, dan kembali mengulang putaran yang sama.
Sesungguhnya, hidup ini hanya melakukan
pengulangan pengulangan dan pengulangan yang sama, dan kematian pun bagian dari
pengulangan pengulangan itu sendiri.
–
NARASI MERDEKA
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, apa artinya bagi diriku. Merdeka adalah lepas sejenak dari etika yang membelenggu.
Contoh ringan namun menjengkelkan, makan tak boleh terdengar suara kunyahan, karena gigi yang beradu dan mengeluarkan suara itu tak sopan. Habis makan tak boleh sendawa dekat meja makan, karena itu terkesan jorok. Alat makan tak boleh beradu dan menimbulkan dentingan keras, karena ini ini ini. Tak boleh begini begini begini karena akan menimbulkan itu itu itu.
Halah, repot amat ini hidup!
Sejenak kasih kemerdekaan, apakah belum puas membaca babat, membaca sejarah yang tebatnya melebihi dosa. Lepaskan aku dari etika etika yang sebenarnya tak menambah dosa jika kulanggar.
Jadi, bolehkah aku keluar dari kamar mandi dengan kolor yang tersampir di pundak. Apakah ini melanggar etika kesopanan?
Rumahku adalah negaraku dan aku presidenya, aku rakyatnya dan aku tukang bersih bersihnya. Jadi boleh dong sejenak saja aku suka suka tanpa etika.
Tak ada kok yang akan melotot, kalau pun ada,
apakah tembok dan cicak akan terangsang terika manusia sejenak tak beretika?
–
LIBURAN
Liburan telah tiba, rasanya seperti judul mengarang pada pelajaran bahasa Indonesia sebelum kaum milenial tiba. Dan isinya seputar pergi ke rumah nenek atau ke kebun binatang. Pergi ke sungai atau melihat gajah yang besar.
Seperti bumi dan langit kisah liburan sekarang. Jaman telah berubah dengan cepat. Liburan bagi orang tua bukan lagi bertemu dengan keluarga dan membuka kembali album masa lalu, membongkar brankas kenangan tempat tawa, tangis orang tua dan saudara saudara. Tabungan rindu pun mungkin mulai menipis karena dikikis oleh kesibukan oleh teknologi yang memudahkan setiap saat bersapa. Atau mungkin tradisi yang bisa meremajakan usia karena mengungkit kembali masa kanak telah purna.
Liburan tidak lagi meremajakan pikiran dengan sejenak jeda dari kesibukan. Namun perjalanan jauh dan berdesakan di jalanan karena kemacetan. Berdesakan di tempat wisata hanya untuk berfoto ria dan tak lagi menikmati yang ada, jika ditanya detailnya tak mampu untuk menjawab karena hanya sibuk berpose dan memajang senyum palsu di kamera. Selanjutnya kesibukan tak berguna melilit tubuhnya, memilih foto terbaik, mengedit, dan membagikan media sosial. Menunggu pemberitahuan masuk, menghitung jempol yang menandai kehadirannya, tak lupa menjawab komentar palsu. Aaah sibuk sekali.
Liburan macam apa itu?
Inilah fenomena jaman, kemajuan atau kemunduran untuk sebuah nilai dari liburan.
Mungkin akan libur panjang dan tenang setelah
dikubur di kuburan.
–
HIKAYAT SUNGAI
Tak ada risau, apakah esok akan ada bidadari dengan kulitnya yang pualam dan geraian mayangnya yang hanyut menjauh itu berenang di tubuhnya. Tak ada risau, apakah esok akan ada anak anak seperti kijang, melompat dari ketinggian menuju lambungnya dengan riang. Tak ada kesangsiang baginya, apakah esok ada biduk yang mendayung di arus tubuhnya. Baginya, mengalirkan bening tanpa riak apalagi ombak adalah segalanya, sebelum kembali pada takdirnya, mencapai kedalaman laut tanpa ada kebimbangan akan tersesatnya arus dalam menempuh perjalanan.