Saya senang membaca berita tentang putra bangsa kelahiran Bali, Mayor Jenderal (Mayjen) TNI I Nyoman Cantiasa diangkat menjadi Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus. Sejumlah media online, termasuk tentu saja media di Bali, ramai memberitakannya. Saya membacanya, dan langsung teringat ayah Sang Danjen, yakni I Nengah Tinggen, sastrawan dan penulis buku yang produktif pada masanya.
Sekira tahun 2004 saya mewawancarai Nengah Tinggen di rumahnya di Jalan Pramuka Singaraja. (Kini rumah itu tergusur akibar perluasan SMAN 1 Singaraja). Saya hendak mewawancarai dia soal bahasa Bali, sastra, dongeng-dongeng Bali, dan pengobatan tradisional, yang kerap ditulisnya dalam banyak buku. Tapi wawancara berlangsung agak kacau, karena, maaf, pendengaran dia saat itu sudah lemah.
Saya bertanya banyak masalah sastra dan bahasa Bali, namun ia lebih banyak menjawab soal perjuangan revolusi yang dilakoninya saat masa perjuangan melawan NICA. Saya beberapa kali mengulang-ulang pertanyaan tentang sastra, tapi jawaban yang saya dapat selalu berbelok ke masa-masa perjuangan. Maklum, selain sebagai penulis buku, ia juga dikenal sebagai veteran pejuang.
Saya kemudian menyerah. Saya letakkan tape recorder sebagai perekam di atas meja, lalu saya biarkan tokoh sastra itu bercerita sesukanya. Saya tak menyela dengan pertanyaan, dan hanya mengangguk-angguk. Dia tampak bersemangat.
Ini sepenggal dari cerita perjuangan yang terekam dan pernah saya tulis di Bali Post:
“Pada zaman revolusi fisik sekitar tahun 1940-an, kami ini memang keluarga pejuang. Kebetulan rumah kami dipakai markas pejuang di Bubunan, Seririt. Rumah kami lokasinya memang strategis, berada di antara Joanyar di timur, Ringdikit di selatan, Sulanyah, dan Bubunan. Kebetulan di situ juga ada auman yang aman untuk tempat sembunyi.
Apalagi setelah kemerdekaan tahun 1946, para pemuda pejuang kumpul terus di rumah kami. Saya sendiri punya pasukan 50 orang yang berada di alam terang (tidak menyingkir-red). Saat itu saya masuk anggota PMC atau penyelidik militer khusus.
Setiap hari saya menyamar dengan membawa cangkul, sabit dan pura-pura berkebun. Tugas saya menyampaikan informasi tentang keberadaan NICA. Jika ketemu NICA di sebuah sawah yang menuju ke timur misalnya, saya cepat berlari ke timur melalui jalan lain untuk menginformasikan kedatangan NICA.
Saya sempat ditangkap empat hingga lima kali. Apalagi jika saya diketahui sebagai adik dari Wayan Sada, maka hukuman bagi saya akan bertambah berat. Kakak saya Wayan Sada itu dikenal sebagai pemberontak. Saya sendiri sering dirayu NICA untuk diajak bekerja baik-baik. Saya hanya mengangguk, tapi setelah lepas kembali melakukan perjuangan.
Kakak saya Wayan Sada punya keahlian dalam hal mengatur telepon dan kabel. Tahun 1946 itu dia mengacaubalaukan jaringan telepon NICA di Seririt. Saya bersama 50 pemuda pejuang turut membantu menyembunyikan alat-alat telepon itu, saya tanam di Pura Taman di Bubunan. NICA pun mengetahuinya sehingga kakak saya jadi buronan NICA lalu menyingkir ke luar daerah.
Selanjutnya terjadi pertempuran di Kayuputih. Dalam pertempuran itu ada seorang pejuang tertangkap yang kemudian membocorkan keberadaan Wayan Sada, kakak saya. Maka markas kakak di Dencarik diobrak-abrik NICA dan semua pemuda ditangkapi. Di situ terjadi pertempuran. Pemuda pejuang gugur enam orang, termasuk kakak saya. Mayat kakak saya ambil di Banjar lalu dikuburkan di Bubunan. Rumah kami kemudian dihancurkan. Setiap minggu dikurung. Ayah saya, Ketut Badung, ditahan di Seririt dan sering disiksa, kepalanya dimasukkan ke air. Ayah keluar tahun 1948, keluar sakit lalu meninggal.”
Di bagian akhir cerita soal perjuangan, ia dengan bangga bercerita soal anak-anaknya. Salah satunya tentu saja Nyoman Cantiasa yang disebut (beberapa kali) sebagai tentara. Saat itu, nama anak ketiganya itu disebut dengan lapal Santiasa (dengan huruf S paling depan, bukan C).
Saya ingat ia bercerita banyak tentang anaknya yang tentara itu, tapi saya tak merekamnya dan kini tak bisa mengingatnya dengan baik. Saya menganggap cerita itu tak penting karena tak berhubungan dengan apa yang ingin saya tulis saat itu, yakni tentang bahasa dan cerita-cerita Bali. Namun saya ingat betul bagaimana Nengah Tinggen bercerita tentang anaknya itu dengan wajah yang berbinar-binar, sama berbinarnya ketika ia bercerita soal perjuangannya melawan NICA.
Mungkin dengan menjadi tentara ia anggap anaknya itu sebagai penerus perjuangannya melawan NICA di masa lalu. Mungkin dengan menjadi tentara, anaknya itu bisa “membalaskan dendam” atas rumahnya yang hancur, dan atas kematian ayahnya (kakek Cantiasa) setelah sempat ditahan NICA.
Beberapa tahun belakangan ini saya tahu Cantiasa itu ternyata sosok unggul dengan karir yang bagus di TNI sehingga saya cukup menyesal kenapa dulu tak mendengar cerita Nengah Tinggen tentang si anak dengan lebih cermat. Meski begitu, saya bisa membayangkan, jika Nengah Tinggen masih hidup, bagaimana bangganya dia saat mendengar anaknya kini diangkat menjadi Danjen Kopassus, sebuah kesatuan elit yang diidam-idamkan banyak tentara.
Mayjen TNI Nyoman Cantiasa dipercaya sebagai Danjen Kopassus mengantikan Mayjen TNI Eko Margiyono yang dirotasi sebagai Pangdam Jaya melalui Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/81/I/2019 tertanggal 25 Januari 2019 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia.
Sayangnya, Nengah Tinggen, meninggal dalam usia 85 tahun di rumahnya di Seririt, Sabtu 3 November 2012. Saat ia meninggal, I Nyoman Cantiasa sudah berpangkat kolonel dan bertugas sebagai Danpusdik Kopassus Batujajar.
Selain meninggalkan anaknya dengan karir yang cemerlang, sebagai tokoh sastra, Tinggen meninggalkan sekitar 65 buku hasil karyanya yang sebagian besar berisi pengetahuan tentang bahasa dan sastra Bali.
Jadi, Nengah Tinggen adalah tokoh sastra yang selain melahirkan banyak buku demi kemajuan ilmu pengetahuan di Bali, ia bersama istrinya, Ni Ketut Mari, juga melahirkan anak-anak unggul yang punya jiwa pengabdian besar terhadap bangsa dan negara. Selama hidupnya, selain mengasuh anak, ia juga mengabdikan diri demi mengasuh dan menjaga ilmu serta ajaran-ajaran luhung dari leluhur.
Jika Mayjen Cantiasa punya berderet karir bagus di dunia ketentaraan, Nengah Tinggen punya sederet buku bagus yang sudah pernah diciptakan, antara lain buku “Pasang Aksara Basa Bali”, “Sor Singgih Basa Bali”, “Kidung Dewa Yadnya lan Kramaning Sembah”, “Tata Bahasa Jawa Kuno”, “Merawat Kesehatan Sendiri Melalui Triduara Boga” dan “Sarining Usada Bali jilid 1, 2 dan 3”.
Tinggen yang lahir di Desa Bubunan 1931 itu juga menerjemahkan cerita-cerita rakyat Bali dari lontar di Gedong Kirtya. Atas pengabdiannya itu ia dianugerahi Piagam Tanda Kehormatan Satya Lancana Karya Satya dari Presiden Soeharto (1998), Citra Karya Insan Pendidikan Nasional dari Yayasan Pandu Citra Indonesia (2000), Wija Kusumadari Bupati Buleleng (1997), Dharma Kusuma dari Gubernur Bali (2003) dan sejumlah penghargaan lain.
Terakhir, ia mendapatkan pengharagaan Rancage sebagai pemerhati sastra Bali yang sangat setia.
Karena kini Danjen Kopassus putra seorang sastrawan dan penulis buku, saya berharap tak ada lagi peristiwa penyitaan buku yang dilakukan aparat. (T)