Jaman Orde baru telah berlalu dan kediktatoran rezim penguasa otoriter telah meluntur sebagaimana ditandai dengan catatan peristiwa bersejarah reformasi tahun 1998. Reformasi telah menjadi lukisan sejarah aksi perlawanan antara elemen masyarakat khususnya aktivis mahasiswa dengan rezim penguasa.
Bukan hanya tentang euphoria semata, melainkan sebagai konsekuensi logis dari kesadaran warga negara sebagai “Volkgeits” jiwa kebangsaan yang berlandaskan prinsip nilai luhur kedaulatan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Demi tegaknya supremasi hukum serta terwujudnya penguasa yang sejalan dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Hadirnya reformasi telah menekankan perubahan fundamental di berbagai aspek sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama perbaikan dalam tatanan kehidupan politik. Sehingga berimplikasi nyata terhadap keberlakuan instrumen political socialization atau pendidikan politik, dalam lingkup khusus terhadap instansi pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi serta dalam lingkup masyarakat pada umumnya. Dengan besar harapan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman secara mendalam terkait hak-hak dan kewajiban terhadap masyarakat sebagai (homo politicus).
Namun anehnya, wajah pemuda harapan bangsa kini mulai memburuk seakan memunculkan gaya statemen baru. Kebanyakan kalangan terpelajar kini cenderung bersikap acuh dan skeptis terhadap kontestasi pemilu. Sehingga berimplikasi pada kemunculan penyakit degradasi yang mulai menjangkit kesadaran pemuda khusunya pelajar dan mahasiswa. Padahal mereka adalah regenerasi harapan bangsa yang memegang peranan penting dalam mewarnai kehidupan demokrasi di tahun-tahun selanjutnya.
Kemunculan rasa acuh dan skeptis dari kalangan pelajar sebagai pemegang hak politik terjadi dengan dalih sebagaimana berikut: (1) kurangnya sosialisasi dari KPU maupun partai politik; (2) kaum pelajar tidak ingin disibukan dengan hal-hal yang berbau politik; (3) golput sebagai budaya baru, dikarenakan termakan dengan pengaruh stigma idealisme anti pemilu dari oknum mahasiswa lainya; (4) lemahnya kepercayaaan terhadap pemerintah sebab penyelewengan politik kekuasaan dengan isu (SARA) untuk saling menjatuhkan; dan (5) sebagian besar kasus korupsi mendarah daging dalam struktur kekuasaan.
Sehingga tak jarang dari kalangan pelajar maupun mahasiswa merasakan kebutaan politik di masa mudanya. Dengan kondisi dan alasan apapun tetap saja (golongan putih) tidak dibenarkan dalam tatanan demokrasi yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu penting sekali adanya “Dukungan Mahasiswa Melalui Sumbangsih Organisasi Mahasiswa Sebagai Media Rekontruksi Karakter Pendidikan Politik Generasi Muda 2019”.Mengingat berhasil atau tidaknya penerapan pendidikan politik di kalangan pemuda, akan menentukan demokrasi pancasila dikemudian hari.
Sebagaimana data pemilu 2014, yang diperoleh dari sumber Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwasannya kehadiran tingkat partisipasi sebesar 70,9 % dan angka golput sebesar 29. 1% dalam pemilu 2014.[1] Tentu data tersebut merupakan bentuk kemunduran kesadaran masyarakat terhadap pasrtispasi aktif sebagai pemegang hak politik. Sebagai upaya untuk menghadirkan kembali pendidikan politik.
Seharusnya pemerintah mulai berbenah dengan menjalin kerjasama secara langsung dengan elemen masyarakat khusunya pelajar dan mahasiswa. Dimana hal tersebut dapat diselaraskan dengan semboyan bapak fouding father Ir. Soekarno tentang “Jas Merah” (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Tentu semboyan tersebut, disampaikan dengan pesan moral yang mendalam oleh Ir. Soekarno, agar kita semua bisa mempertahankan harkat martabat bangsa ke arah lebih baik.
Permasalahan di atas, merupakan problem pemuda khusunya pelajar dan mahasiswa yang mulai hilang kepercayaan terhadap partai politik, dan acuh terhadap pemilu. Lantas, yang perlu dipertanyakan yakni, apakah pemerintah dan elemen masyarakat khususnya pelajar dan mahasiswa sudah menerapkan dengan kesungguhan terkait pendidikan politik. Ataukah kehadiran pendidikan politik sudah tidak diperlukan di negeri kita. Menanggapi hal tersebut, sebagai bangsa yang menghargai demokrasi Pancasila seharusnya kita wajib merekontruksi kembali instrumen pendidikan politik, sebagaimana kita mengingat pesan Ir. Soekarno tentang (Jas Merah).
Namun di sisi lain, terdapat larangan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang membatasi partai politik untuk berkampanye masuk ke ranah instansi pendidikan. Sebagaimana diperkuat dengan berlakunya Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.14 Tahun 2010. Ketentuan Pasal 22 huruf (b) menyatakan bahwa “Alat praga tidak dibenarkan ditempatkan pada lembaga pendidikan (gedung dan sekolahan)”.[2]Padahal jika ditelaah secara mendalam sebenarnya alat praga politik, membantu pemuda khusunya pelajar dan mahasiswa untuk memahami partai politik secara mendalam.
Seharusnya komisi pemilihan umum (KPU) memperbolehkan hal tersebut. Mengingat hak pilih kebanyakan saat ini berasal dari bangku sekolah dan bangku kuliah. Namun dengan catatan partai politik tidak boleh melakukan depolitisasi maupun indoktrinasi politik terhadap kaum pemuda. Membahas lanjut tentang pendidikan politik di lingkungan instansi pendidikan.
Sebenarnya pendidikan politik ditujukan pada semua jenjang pendidikan, baik di dalam maupun luar sekolah, dibuat untuk meningkatkan pemahaman akan bahasa dan meningkatkan kemampuan kita untuk menyelesaikan masalah, mengatur hubungan-hubungan eksternal atau kejadian-kejadian untuk memperpanjang berbagai skala pilihan di dalam diri mereka, dan mempengaruhinya (Crick, 1974: 13-24).[3]
Sehingga dapat dipahami dengan mendalam bahwa “pendidikan politik sebagai salah satu fungsi politik yang dilaksanakan oleh struktur politik masyarakat. Untuk memberikan pemahaman secara langsung terhadap masyarakat mengenai nilai-nilai, simbol-simbol, keyakinan dan pandangan sistem politik melalui dialog terbuka, dengan kritis, rasional atau penyadaran. Karena pendidikan politik bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik secara demokratis dalam kehidupan bernegara”.
Selanjutnya dalam ketentuan Inpres No. 12 Tahun 1982 tentang (Pendidikan Politik bagi generasi muda)[4]menimbang : a) bahwa dalam rangka pelestarian Pancasila dan UUD 1945 perlu terus menerus dipupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa demi kelangsungan hidup bernegara dan kenegaraan; b) bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada poin huruf (a) diatas, kepada generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa Indonesia perlu diberikan pendidikan politik, untuk mengetahui norma, nilai, tata cara, dan aturan dalam kehidupan politik bangsa.
Tujuan dari pendidikan politik secara gamblang ditujukan pemerintah untuk dapat menciptakan generasi muda yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jika ditarik benang merah terdapat 3 mekanisme yang hendak dicapai. Pertama, tentang pengetahuan yang berhubungan dengan kesadaran politik atau Cognitif morality; Kedua, berhubungan bedasarkan dengan keberlanjutan untuk pematangan sikap (afektif); dan ketiga, yakni perilaku yang dilakukan setelah individu atau seseorang mendapatkan pendidikan politik secara mendalam.
Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa, “pendidikan politik pada hakikatnya merupakan bagian dari pendidikan yang ditujukan sebagai upaya edukatif yang intensional, disengaja, dan sistematis. Sebagai upaya membentuk individu dalam sebuah masyarakat yang sadar politik dan mampu menjadi pelaku politik yang bertanggung jawab secara etis maupun moral dalam mencapai tujuan politik suatu bangsa”. Dalam Buku Political Education (Patricia) diterangkan bahwa beberapa argumentasi untuk mendukung adanya pendidikan politik pada awal perkembanganya, antara lain dikemukakan oleh Nicolas Haines dalam bukunya Person to person.
Menurut pandangan Haines, menyampaikan bahwa” adanya spesialisasi di pendidikan tinggi membuat orang menjadi kurang kompeten dalam bidang yang ada di luar spesialisasi mereka. Sehingga apabila mereka bukan spesialisasi politik akan membatasi diri dalam minat kegiatan politik. Akan tetapi, ternyata masyarakat moderen sangat bergantung pada kelas menengah berpendidikan yang sedang tumbuh. Dalam sistem demokrasi setiap orang harus berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, akan tetapi proses pendidikan tidak mempersiapkan kelas profesional untuk kegiatan partisipasi tersebut”.[5]
Sejalan dengan pernyataan di atas, Ernest Gellner menyampaikan bahwa “ prakondisi yang harus diciptakan untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis adalah melibatkan peran serta masyarakat dalam kehdiupan demokrasi tersebut, untuk itu maka peran pendidikan demokrasi sangat penting untuk mencapai kondisi ideal kehidupan demokrasi tersebut (Syaifullah Syam, 2003: 202).
Memang benar adanya bahwa instrumen pendidikan politik belum bekerja secara optimal dan masih terjadi ketimpangan antara Das Sollen dan Das Sein. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk membina generasi pemuda-pemudi dalam bidang politik harus dipersiapkan secara matang sejak awal dari tataran bangku sekolah maupun pada jenjang kelanjutan perguruan tinggi.
Tamparan untuk pemuda khususnya mahasiswa, bilamana lemahnya instrumen pendidikan politik tetap dibiarkan. Karena Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. “Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta” itulah sepenggal kata, yang diberikan oleh Bapak Founding father (Mohammad Hatta).
Mengingat fungsi mahasiswa Agen of change, Social Control, Iron Stockdi harapkan bukan hanya semata-mata (Jargon maupun slogan basi). Melainkan lewat gerakan nyata yang mampu membawa bangsa Indonesia ke peradaban yang lebih maju. Oleh karena itu, melalui upaya “Dukungan Mahasiswa Melalui Sumbangsih Organisasi Mahasiswa Sebagai Media Rekontruksi Karakter Pendidikan Politik Generasi Muda 2019”. Dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan politik di tahun 2019 maupun di tahun-tahun berikutnya. Maka penulis dalam hal ini memberikan gambaran solusi yang dapat ditawarkan.
Sebenarnya mahasiswa memiliki fungsi strategis dalam meningkatkan pendidikan politik untuk generasi muda. Mengingat dengan bekal pengetahuan, keilmuan dan pengalaman yang dimiliki dalam wacana-wacana maupun wawasan politik yang dihasilkan dalam ruang publik dari pengejewantahan hadirnya Organisasi Mahasiswa seperti BEM Rema, MPM Rema, BEM Fakultas, HMJ, maupun UKM sebagai fasilitator di lingkungan internal kampus, maupun eksternal kampus. Dengan tujuan untuk menjunjung tinggi hak-hak politik yang dimiliki melalui kegiatan formalisasi dari acara-acara yang berorientasi pada wawasan kebangsaan serta dalam standar penerapan adminitrasi. Terbukti dalam segala kegiatan dari perekrutan maupun pemilihan ketua/suksesi dan rapat kerja, bedasarkan musyawarah mufakat untuk mengambil sebuah keputusan.
Sehingga kegiatan pemilihan maupun perekrutan ketua, dari awal hingga akhir akan menjadi pembelajaran pendidikan politik yang sangat demokratis dalam lingkungan internal kampus. Tidak bisa dipungkiri, dalam ruang lingkup pergerakan Organisasi mahasiswa sering mengadakan kegiatan formal diskusi ruang kelas terbuka bersama dosen maupun mengundang pemeran politik di kancah nasional seperti Presiden RI, Jendral TNI, Kepolisian, Kemenag, KPU, KPK, MPR RI, DPRD, Bawaslu. Sebagai kebiasaan lumrah dari pengejewantahan Pendidikan Politik di lingkup kehidupan kampus. Bahkan dalam kegiatan non-formal diluar kampus, mahasiswa juga secara langsung bersentuhan dengan elemen masayarakat khususnya pemuda melalui bedah buku, diskusi, workshop literasi pendidikan, debat pemuda sebagai petugas knowledge transfer dari dunia kampus menuju luar kampus.
Sejatinya Organisasi mahasiswa telah menjadi media penunjang mahasiswa dalam berproses, bahkan motor penggerak inteletualitas masyarakat khusunya kaum pemuda yang teroganisir. Sebagai mahasiswa partisipasi aktif untuk menghidupkan jargon “Hidup Mahasiswa!!” dari hulu kehilir dan dari sabang sampai merauke digaungakan sebagai kontrol terhadap kebijakan pemerintah, yang semata-mata di tujukan untuk membuka mata rezim dan mengakomodir suara rakyat, dengan melakukan audiensi untuk memberikan masukan terhadap pemerintah dalam segala sektor pembangunan.
Oleh karena itu keberadaan organisasi mahasiswa dirasa sangat penting dalam mengakomodir pendidikan politik untuk kaum pemuda maupun masyarakat. Sebagai bentuk pengabdian besar untuk mewujudkan instrumen pendidikan politik yang sejalan dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
[1] https://www.rappler.com/indonesia/berita/157558-golput-partisipasi-masyarakat-pemilu-pilkada/diaksespada 3 November 2018 jam 07.00 wita.
[2] Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.14 Tahun 2010
[3] Crick, Bernard. 1974. Basic Political Concept and Curriculum Development, Teaching Politics
[4] Intruksi Presiden No. 12 Tahun 1982 Tentang Pendidikan Politik bagi generasi muda
[5] Prof. Dr . Idrus Affandi, S.H dan Karim Suryadi,S.Pd.,M.Si. Teori Dan Konsep Dalam Konteks Pendidikan Politik PKNI4423/MODUL 1