Sarangeul
haeda uriga manna
Jiuji moshal chueogi dwaeda
Bolmanhan mellodeurama
Gwaenchanheun gyeolmal
Geugeomyeon dwaeda neol saranghaeda
(Love Scenario by
iKON)
Sepenggal lirik lagu di atas saya ambil dari album kedua iKON, Return. iKON sendiri adalah salah satu boyband Korea Selatan yang bernaung di bawah YG Entertainment. Meski debutnya telah dimulai sejak 1 Oktober 2015, tetapi, baru pada lagu Love Scenario yang rilis pada 25 Januari 2018 melejitkan namanya. Bukan tanpa alasan, secara statistik, di awal kemunculannya, lagu itu mampu bertengger pada urutan kedua di Melon Chart dan urutan teratas di iTunes Charts Worldwide. Selain itu, hampir di setiap kesempatan, saya melihat orang atau sekelompok orang, terutama remaja putri memperdengarkannya. Meski tak tahu artinya dan kadang berusaha melafalkan liriknya walau terkesan dipaksakan, tetapi lagunya cukup enak didengar, mengalir dan mengendap sehingga tanpa sadar mengikuti iramanya.
Budaya pop, khususnya Hallyu Korea Selatan yang sedang mewabah di seluruh penjuru dunia, akhir-akhir ini memang tengah menjangkiti remaja putri Indonesia. Selain boyband dan girlband, salah satunya boyband iKON yang saya tukil di atas dan telah membius jutaan pasang mata dengan efek koreografi dan visualisasi yang menawan, film dramanya juga tidak kalah peminat. Dibanding korean pop yang identik dengan boyband dan girl band, drama korea memiliki segmen pasar tersendiri, khususnya perempuan di atas umur 20-an tahun yang saya temui mengaku lebih menyukai drama korea dibanding korean popnya. Alasannya, mereka lebih menemukan keintiman dan aktualisasi kedirian (sense of self). Di samping itu, mereka merasa lebih mudah memahami situasi perempuan yang lebih mengedepankan perasaan. Meski demikian, mereka tak menampik menyukai korean pop, meski tidak sedalam drama. Hal tersebut disebabkan perkenalannya dengan budaya Hallyu terlebih dahulu diawali dengan boyband dan girl band.
Sebagai satu bentuk tontonan yang tengah digandrungi remaja putri, saya memasukkan drama korea ke dalam kategori melodrama. Jika dicari dalam KBBI, melodrama adalah pergelaran, seperti sandiwara atau film, dengan lakon yang sangat sentimental, mendebarkan, dan mengharukan, yang lebih mengutamakan ketegangan daripada kebenaran. Dengan melihat deskripsi itu maka kita bisa menyimpulkan bahwa kegemaran remaja perempuan menonton film bergenre melodrama dilatarbelajangi alasan film jenis ini seringkali dianggap dekat dengan dunia perempuan yang sentimentil dan emosional. Dengan kata lain, ada sebentuk usaha dari identifikasi film bergenre melodrama untuk “dikelaminkan” sebagai tontonan kaum perempuan. Persinggungannya dengan film laga, aksi, horor, dan atau petualangan sebagai representasi dunia lelaki menghasilkan semacam oposisi biner.
Salah satu makna melodrama sebagai film berkaitan dengan visualisasi, gaya, desain dan penyajian emosi yang estetis. Itu berarti, film jenis ini dibuat atas dasar pengetahuan dan kompetensi yang dibangun secara spesifik feminim dan konsumtif, sehingga memberi ruang bagi perempuan untuk menggali dan mengeksploitasi feminitas dengan gaya baru. Dengan memperhatikan kategori di atas, selain drama korea, yang termasuk film jenis melodrama adalah sinetron lokal seperti tayangan FTV dan tidak ketinggalan pula telenovela negara-negara Latin seperti Marimar dan Betty la Vea yang sempat hits di tahun 2000-an..
Sejak awal, film-film melodrama memang dialamatkan untuk segmen tertentu. Jika merunut pada proses panjang pembuatan film ini maka dengan gampang kita bisa menarik kesimpulan bahwa phak-pihak yang terlibat dalam pembuatannya menyangkut produser, penulis cerita, para pengiklan, memiliki bayangan tertentu tentang citra perempuan. Bagaimana mereka memandang perempuan dalam film melodrama tentunya akan berpengaruh pada proses cerita dan citra.
Ada banyak hal yang membuat perempuan tertarik untuk menonton melodrama. Dalam film jenis ini, cerita-cerita disajikan dalam kerangka dasar yang sama yakni tentang cinta dan persoalan keluarga dengan plot yang berliku-liku, dan tentu saja mengharu biru. Para tokoh melodrama dianggap mewakili impian dan perasaan kaum perempuan. Segmentasi pasar yang hendak diraih biasanya menghasilkan alur cerita yang berbeda. Jika yang disasar adalah ibu-ibu rumah tangga, maka citra protagonis sejak awal dibangun dalam kondisi yang memperihatinkan dan mengenaskan. Untuk mendapat efek visualisasi yang emosional, sang sutradara perlu menghadirkan antagonis sebagai musuh bersama yang paling dibenci dan tentu saja harus dilenyapkan.
Melalui kegigihan dan keikhlasan yang dibumbui moralitas agama yang menggebu namun kadang agak sulit diterima akal sehat, semua rintangan yang dialami bisa dilalui dan berakhir bahagia. Sederhananya, film ini memberi hikmah dasar bahwa teks ideal yang ingin dicapai adalah kejahatan akan selalu kalah dengan kebaikan. Pada beberapa bagian, disajikan juga sceneberlebihan untuk bisa lebih memancing emosi pernonton seperti adegan kekerasan mertua kepada menantunya atau sebaliknya. Adegan–adegan ini ditampilkan dengan asumsi bahwa perempuan yang dilekatkan dengan stereotip emosional, suka dengan adegan-adegan yang melankolis.
Itulah mengapa film jenis sinetron yang tayang primetime di program televisi laris manis ditongkrongi ibu-ibu rumah tangga yang telah bekerja seharian penuh mengurus suami, anak, rumah dan dirinya. Seorang suami, seberapapun jantannya, bahkan jika ada yang memiliki cita-cita mengubah dunia, tidak akan berani mengubah channel televisi jika pada saat yang bersamaan si istri tengah menikmati imajinasinya dalam tayangan sinetron yang ditonton. Jika demikian kondisinya, seharusnya laki-laki yang telah menjadi suami itu harus mengubur mimpinya mengubah dunia, karena jangankan mengubah dunia, mengubah channel televisi saja tidak mampu. LoL.
Di sisi lain, jika segmentasi pasarnya adalah anak kuliahan atau perempuan singel yang sedang meniti karir, citra perempuan yang ditampilkan biasanya dalam keadaan cantik, dengan busana yang indah-indah dan rumah yang mewah. Namun sering juga protagonis ditampilkan sebagai perempuan yang datang dari status sosial bawah. Hingga pada suatu ketika bertemu pria kaya, tampan, terkenal, terlibat cinta lokasi dan akhirnya menikah melalui jalan cerita yang sederhana, dengan atau tanpa intrik yang menghalangi hubungan keduanya.
Meski narasi yang ditawarkan adalah perempuan atau lelaki miskin, tetapi tetap saja tampilan fisik yang kinclong para pemerannya menjadi daya tarik bagi penonton.hal ini tidak bisa dikesampingkan karena akan terbetik hikmah bahwa kecantikan feminim bukanlah sesuatu yang melekat sejak lahir, melainkan bisa diraih. Pada akhirya perempuan sebagai entitas menemukan ruang untuk melihat feminitas sebagai sebetuk identitas yang terus berubah, bisa dilekatkan dan dilepaskan kapan saja mereka menginginkannya. Di samping itu, perempuan juga mendapatkan kesempatan untuk merasakan aktivitas dan kompetisi konsumtif yang eksklusif.
Film melodrama kerap dituding menjual mimpi indah bagi perempuan. Ia menjadi dekat dengan film melodrama karena merasakan bahwa sementara mereka menyaksikan adegan demi adegan, kisah di yang terjadi di dunia yang hanya fiksi itu kemudian diparalelkan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pada titik inilah film melodrama menjadi dunia “tetangga” yang dekat dengan, namun tidak sungguh-sungguh menjadi bagian dari kehidupan. Bentuk tontonan yag dialamatkan pada perempuan seperti melodrama berkembang menjadi sebentuk budaya populer yang memberikan ruang bagi representasi sebuah wilayah pengalaman dalam kehidupan personal sekaligus emosional.