Waktu di Bali dikenal dengan sebutan Kala. Kala yang berarti waktu, penyebutannya sering ditambahkan dengan kata Bhatara Kala, bukan Dewa Kala. Penyebutan ini terkait dengan waktu, sebagai wadah perbuatan dalam kehidupan, bukan sebagai sinar atau esensi murni.
Dalam lontar Kalatattwa, waktu atau Bhatara Kala, diceritakan terlahir dari kama atau nafsu Siwa yang jatuh dan tercecer di bumi, tanpa sempat masuk ke dalam rahim Parwati. Dalam hal ini, kama atau nafsu Siwa tidak masuk dan tercerap ke dalam tanah, tetapi berada di atas permukaan tanah.
Dalam lontar digambarkan, bahwa Bhatara Kala sangat kuat dan beringas, besar, luas dan tanpa batas yang bernafsu memakan segala yang ada di bumi, terutama yang berada di simpang tempat, simpang waktu dan simpang kondisi. Dan semua mahkuk hidup, manusia pastilah pernah ada pada persimpangan-persimpangan itu, yang membuat dirinya goyah dan bimbang. Hanya yang dalam kesadaranlah yang tak boleh dan tak bisa dimangsanya. Hal ini tentu tak aneh, karena yang selalu berada dalam kesadaran, juga berarti telah mampu menguasai nafsu atau kama.
Dalam kondisi “sadar”, kama atau nafsu membentuk keinginan, yang menciptakan waktu atau kala yang ada tetapi abstrak. Pikiran adalah raja indria, raja keinginan, maka semakin cerdas pikiran, semakin besar keinginan yang direflesikan oleh pikiran, maka semakin besar, luas, dasyat Bhatara Kala yang siap menerkam. Bhatara Kala yang beringas dan tanpa batas akan tercipta dari nafsu pikiran yang beringas dan tanpa batas pula. Nafsu yang beringas dan tanpa batas, hanya bisa tercipta dari kecerdasan yang beringas dan tanpa batas pula.
Dalam kondsi “tak sadar” pingsan dan tidur, waktu atau kala tak ada. Waktu atau kala juga hilang bagi yang dalam kondisi “sadar” tetapi berada dalam berkesadaran. Yang sadar dalam kesadaran ini konon bisa terhindar dari santapan Bhatara Kala. Ini bisa terjadi hanya jika yang dimaksud dengan berkesadaran itu adalah seseorang yang memang telah mampu mengendalikan raja indria atau pikiran yang diibaratkan sebagai macan, dan racun nafsu-nafsu tubuh yang dikatakan membelit seperti ular. Orang yang seperti ini digambarkan sebagai Siwa atau Parwati atau buddha yang menuntun atau mengendarai macan, dan menjadikan ular sebagai tempat duduk atau hiasan.
Sadar dalam kesadaran sulit untuk dicapai dalam kehidupan di dunia saat ini. Selama hidup di dunia, selama berhubungan dengan orang lain, anak, istri, suami, sanak saudara, teman, lingkungan, rasa sangat sulit untuk mengendalikan indria-indria, sehingga sulit terhidar dari santapan sang waktu atau Bhatara Kala. Tetapi lagi-lagi ada cerita yang seperti ingin memberi alternatif agar bisa lolos dari mangsaan Bhatara Kala. Tentang kondisi dasar, yang tidak sadar. Atau ketidaksadaran dalam kondisi sadar yang membahagiakan.
Dalam cerita Brahma Kumara atau Rare Kumara, dalam lontar Sanghyang Mahajnana, disebutkan bahwa Bhatara Kala juga diperkenankan makan anak yang lahir pada Wuku Wayang, (mungkin wuku tengah yang dianggap juga persimpangan). Sanghyang Kumara/ Rare Kumara putra Dewa Siwa dan Parwati (adik Bhatara Kala) diceritakan juga lahir pada Wuku Wayang, sehingga hendak disantap juga oleh Bhatara Kala, sehingga mencari perlindungan ke ayahnya Dewa Siwa. Dewa Siwa yang melindungi Rare Kumara juga suatu aat berada pada waktu persimpangan, sehingga Bhatara Kala merasa berhak memangsa Dewa Siwa. Dewa Siwa tidak berjeberatan, asal Bhatara Kala bisa menjawab teka-teki yang diberikan Dewa Siwa.
Bhatara Kala bersedia memenuhi syarat yang diajukab Dewa Siwa. Satu demi satu teka-teki disampaikan Dewa Siwa. Dengan segala daya pikir, kecerdasaran dan refrebsi Bhatara Kala berusaha menjawab teka-teki ayahnya, sehingga waktupun berjalan, menjadikan keberadaan Dewa Siwa melewati waktu persimpangan, sehingga Bhatara Kala kehilangan hak untuk memaksa. Bhatara Kala kalah dan masih mengejar Rare Kumara yang masuk bersembunyi ke dalam bambu gender dalam pertunjukan seorang dalang wayang.
Di sana, Bhatara Kala juga kehilangan haknya untuk memangsa Rare Kumara karena telah menikmati esensi dari seni gender dan wayang. Kebebasan Rare Kumara dari terkaman Kala/waktu, karena keasyikan yang diciptakan Dewa Siwa dalam memberi pelajaran dalam bentuk permainan atau bermain teka-teki dan pelarian Rare Kumara pada seni. Belajar sambil bermain dan bersembunyi dari kejaran waktu pada kesenian adalah salah satu alternatif menghindari terkaman Bhatara Kala atau waktu.
Seperti halnya Rare Kumara yang kebetulan lahir di persimpangan wuku, kita juga telah lahir di persimpangan jaman yang disebut kali juga. Mungkin terlalu sulit untuk belajar menjadi Siwa, Parwati atau Buddha, maka, marilah kita mencoba meniru Rare Kumara, yang juga dipuja sebagai Rare Angon yang menyiratkan kegembiraan anak-anak dalam melewati jaman kali ini. Jika kita sadar, tetapi bisa selalu dalam kondisi seperti kegembiraan anak-anak bermain dan berkesenian, pasti kita tak akan diterkam Bhatara Kala, atau paling tidak bisa bertahan melewati jaman kali.
Selamat merayakan waktu dan kemenangan.