KEHADIRAN sekolah-sekolah berlabel internasional yang kini berganti status menjadi SPK (Satuan Penyelenggaraan Kerjasama) seakan menjadi primadona di kalangan orang tua. Di Bali sebut saja, ada lebih dari 5 sekolah dengan label SPK menawarkan pengajaran dengan kurikulum internasional, fasilitas yang mumpuni, komunitas dan jaringan internasional hingga guru-guru dengan kualitas ciamik.
Sebenarnya kehadiran sekolah sekolah ini dapat menjadi alternatif solusi bagi sekelompok orang tua berkantong tebal yg ingin agar anaknya mendapatkan pendidikan dengan kualitas internasional. Tidak perlu jauh-jauh terbang ke Inggris misalnya jika ingin anaknya sekolah dengan kurikulum IB (International Baccaularate). Cukup menyediakan uang puluhan juta maka anak anda bisa belajar dengan kurikulum ini. Jika harus ditarik benang merah, beberapa orang tua lokal juga menyekolahkan anaknya di sekolah dengan label SPK.
Ya mungkin saja karena ingin agar anaknya mendapatkan pendidikan dan pergaulan internasional jadi sah-sah saja karena menggunakan uang sendiri. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah menyekolahkan anak di sekolah SPK tidak semudah yang dibayangkan.
Sebagai orang tua Bali asli misalnya, orang tua tersebut harus memberikan pengawasan ekstra daripada menyekolahkan anaknya di sekolah biasa. Kenapa? Iya, karena anak kita berada dalam dua kebudayaan yang berbeda dan berdiri di kedua budaya tersebut.
Gempuran budaya-budaya asing yang dihadapi oleh anak-anak tersebut dalam pergaulan secara tidak langsung akan mempengaruhi kepribadiannya, attitude, hingga cara berpakaian. Menumbuhkan akar lokal sebagai orang Indonesia dan Bali khususnya adalah tugas berat bagi orang tua.
Bayangkan ketika di sekolah, anak kita harus memakai baju ‘internasional’ , bicara cas cis cus dengan bahasa inggris, dan ketika usai jam sekolah dia harus melepas baju ‘internasionalnya’ dan kembali memakai ‘baju lokal’ yang sesuai jati dirinya.
Pondasi karakter untuk ‘act locally’ dan pengawasan ini mestilah kuat, salah salah seperti pohon yg tidak kuat dengan akarnya, malah goyang jika ada angin bahkan yang terburuk tumbang. Jangan sampai sebagai orang tua, kita lengah dari pengawasan ini, dan buah hati kita tumbuh dengan gaya kebarat-baratan. Lantas apa yg bisa dilakukan sekolah dan orang tua untuk mengatasi hal ini?
Sebagai seorang pendidik yang bekerja di sekolah SPK, dan mengalami realita ini, saran yang bisa diberikan :
- Ajak anak anda terlibat dalam kegiatan di banjar. Ketika pulang sekolah, lepas anak anda untuk bergaul dengan anak lokal di sekitar rumahnya.
- Ajarkan melalui keteladanan apa saja nilai-nilai akar lokal sebagai orang Bali dan Indonesia. Keteladanan dalam bentuk tingkah laku jauh lebih baik daripada seribu nasehat.
- Ajak anak kita bicara bahasa Bali dan Indonesia di rumah. Jangan membiasakan memakai bahasa Inggris di rumah.
- Berdiskusilah dengan guru-guru pelajarannya di sekolah dan bekerjasamalah dengan baik karena pendidikan adalah kerjasama sekolah, guru dan orang tua.
- Selalu sediakan waktu sebelum tidur untuk mendengarkan keluh kesah anak kita. Jangan terlalu sibuk bekerja.
- Ajak anak anda melihat hal-hal yg kurang beruntung seperti ke panti asuhan membawa donasi, melihat anak anak tukang suwun di pasar badung dengan begitu anak anda akan memiliki empati dan bersyukur.
- Bicaralah dengan pihak sekolah untuk mengadakan kegiatn-kegiatan yg bertujuan membangkitkan nilai nilai dan karakter seperti pasraman, dll.
Semoga dengan menyekolahkan anak di sekolah SPK, anak kita tumbuh menjadi anak “act locally, think globally” Bukan menjadi anak yang lupa dengan kesejatiannya.