BUDAYA politik dimaksudkan sebagai pola prilaku yang dihayati masyarakat berkaitan dengan pemerintahan, hukum, dan kehidupan bernegara pada umumnya.
Teater tradisional Bali, misalnya Arja, Drama Gong yang sudah jarang pentas, kalau tidak dapat dikatakan sudah mati, dapat menjadi locus belajar budaya politik aktor politik dan masyarakat Bali.
Pementasan Arja dan Drama Gong memiliki pakem yang membedakan secara tegas karakter baik (protagonis) dan karakter tidak baik (antagonis). Karakter-karakter itu tentu saja merupakan karakter yang dikonstruksi dan dilatih khusus untuk mendukung ceritra yang dipentaskan.
Dalam pementasan Arja ada Galuh (Puteri) Manis, biasanya dimainkan oleh perempuan cantik dengan riasan dan kostum apik yang memainkan karakter baik. Ada juga Galuh (Puteri) Liku, dengan tata rias dan kostum norak (mungkin saja pemainnya cantik manis) yang memainkan karakter tidak baik.
Di awal pementasan biasanya Galuh Manis diceritrakan sebagai Puteri yang teraniaya yang difitnah oleh Galuh Liku. Seisi kerajaan ikut menyakiti Sang Puteri. Hanya Emban (Pengasuh) yang masih setia mendampingi dan menghibur. Para penonton Arja biasanya ikut menangis sedih menyaksikan nasib Galuh Manis dan menyoraki, mengutuk perilaku jahat Galuh Liku.
Menjelang akhir pementasan biasanya ada Manteri (Putera Raja) yang baik hati membongkar fitnah yang dilakukan Galuh Liku. Manteri ganteng dengan karakter baik ( tetapi biasanya dimainkan oleh Perempuan) kemudian melamar Galuh Manis untuk dijadikan Permaisuri. Seisi kerajaan kemudian sadar akan kebenaran dan merestui mereka.
Manteri dan Galuh Manis menjadi pasangan yang serasi dan berbahagia. Para penonton Arja ikut berbahagia. Hari sudah menjelang pagi. Pemain dan penonton meninggalkan dunia pentas pulang ke rumah menjalani realitas kehidupan sehari-hari.
Dalam pementasan Drama Gong ada Raja Muda dimainkan oleh laki-laki ganteng dengan kostum dan tata rias yang serasi. Raja Muda memainkan karakter yang baik. Ada juga karakter Raja Buduh (gila) dimainkan oleh laki-laki dengan kostum dan tata rias perlente. Raja Buduh memainkan karakter yang tidak baik.
Sebanding dengan pementasan Arja, di awal pementasan Raja Muda yang baik menjadi pihak yang tertindas, menderita, adakalanya sampai dibunuh oleh Raja Buduh. Penonton kasihan menangis sedih dan memaki Raja Buduh.
Kemudian ada kekuatan gaib yang menghidupkan kembali Raja Muda. Menjelang akhir pementasan Raja Muda yang sudah hidup kembali dan mendapat anugerah kesaktian menuntut balas dan Raja Buduh Menyerah. Kadang dibumbui Raja Muda mendapat Puteri Cantik. Mereka hidup berbahagia. Penonton senang. Hari sudah pagi. Pemain dan penonton pulang ke rumah melakoni realitas kehidupan, untuk kembali lagi menonton pementasan berikutnya.
Kalau kontestasi politik itu adalah dunia pentas, maka masyarakat pemilih tidak perlu larut seperti penonton teater tradisional Bali yang mudah tersentuh oleh karakter yang dikonstruksi dan dilatih semata untuk menarik simpati masyarakat pemilih.
Masyarakat pemilih harus menjadi pemilih yang cerdas yang bisa membedakan karakter yang dikonstruksi dan karakter yang sebenarnya.
Masyarakat pemilih tidak bisa seterusnya hidup di dunia pentas. Pada akhirnya setelah hiruk pikuk kontestasi politik, masyarakat pemilih akan kembali ke kehidupan masing-masing.
Andaikan masyarakat pemilih memiliki pola perilaku seperti penonton teater tradisional Bali (biasanya masih seperti itu), maka aktor politik yang berkontestasi berlatihlah dengan keras memainkan karakter yang teraniaya, karakter Galuh Manis, dan karakter Raja Muda yang santun dan pintar bertutur manis.
Jika itu mampu dilakukan, anda dapat berharap mendapat simpati pemilih. Tapi jangan lupa setelah terpilih lanjutkan memainkan karakter baik itu. Jika tidak, para pemilih akan balas dendam pada kontestasi berikutnya. (T)
Singaraja 01112018