DILIHAT dari judulnya kayaknya bakal dingin pembahasan saya kali ini. Sepertinya begitu. Tapi entah bagaimana kedepanya, mari kita mulai. Tanggal 1 November 2018, hari ke-4 pementasan teater dalam rangkaian acara “Parade Teater Canasta 2018” kali ini kita kedatangan dua kelompok teater sekolah yaitu Teater Galangan Kangin dari SMAN 4 Singaraja dan Teater Angin dari SMAN 1 Denpasar.
Pembahasan saya kali ini bukan tentang bagaimana alur cerita dari naskah yang mereka bawakan, melainkan dari sudut pandang bentuk pementasan mereka. Kebetulan mereka berasal dari daerah yang berlainan yakni kubu utara Bali dan kubu selatan Bali. Tentu saja ada cara proses dan pertumbuhan teater tersendiri di daerah mereka masing-masing. Saya selalu bangga ketika melihat anak SMA tampil di acara parade Teater yang begitu sederhana ini.
Pementasan pertama adalah Teater Galang Kangin. Saat pentas berlangsung, saya begitu menikmati pertunjukan yang mereka tampilkan, membawakan naskah “Tentang Kita Dan Pertemuan Yang Hilang”. Pementasanya begitu realis kalau dibilang. Jadi siapapun yang menyaksikan langsung mengerti bagaimana alur dan akhir ceritanya. Dengan artistik dan properti yang begitu tertata rapi sesuai dengan kebutuhan di naskah itu, dengan lampu yang enak dilihat sesuai dengan adeganya.
Mereka menceritakan orang-orang di zaman sekarang begitu terhipnotisnya dengan kejahatan tekhnologi seperti telpon genggam misalnya. Terkadang kita sampai lupa waktu dan tempat kalau sudah berhadapan empat mata dengan telpon genggam. Apalagi ditambah sekarang ada media-media sosial yang membebaskan kita untuk menyuarakan apapun.
Setelah pementasan dari Teater Galang Kangin selesai, penonton beristirahat sekaligus memberikan waktu untuk persiapan pementasan selanjutnya dari Teater Angin. Justru disini saya merasa agak aneh ketika melihat dari segi pemilihan tempat dan artistik yang dipakai oleh Teater Angin.
Timbul beribu pertanyaan ketika saya melihat beberapa artistik mereka. Ada tiga helm yang dicat emas dengan kawat yang menyerupai tanduk tapi bentuknya tak sama. Kemudian ada ratusan tisu yang mereka gantung. Tisu itu memang sudah ada dari sebelumnya karena itu bekas karya instalasi teman saya Komang Tress. Mau di apakan tisu-tisu itu?
Sebelum mengetahui tisu itu akan menjadi apa dan bagaimana, saya akan memberi tau terlebih dahulu naskah berjudul “Cut Out” karya Riyadh’i Solihin yang dibawakan oleh Teater Angin. Sebelumnya saya belum pernah sama sekali membaca naskah ini. Ketika pementasan berlangsung saya duduk dengan tenang. Tetapi perasaan tenang itu berubah ketika terlihat para aktor mulai berdialog.
Dialognya terdengar samar karena lokasi yang mereka pilih sangat dekat sekali dengan jalan raya. Secara tidak langsung, mau tidak mau saya harus lebih fokus mendengarkan mereka berdialog. Gerakan tubuh dan koreonya begitu tertata rapi. Tetapi saya tidak mengerti dengan dialog dan gerak tubuhnya karena koreo yang mereka buat seperti simbol dan mempunyai arti sendiri.
Beberapa menit kemudian ada cahaya dari arah proyektor, mengarah ke arah ratusan tisu bergantung itu. Ternyata mereka memanfaatkan tisu itu sebagai layarnya. Menarik. Di layar tersebut terdapat beberapa gambar dan video tentang rakyat dan petugas keamanan sebelum kemerdekaan Indonesia tampaknya, karena kualitas dan bentuk videonya terlihat jelas tahunnya tapi saya tidak tau tepatnya itu tahun berapa. Apalagi setelah mendengar beberapa dialog mereka juga seperti makalah atau artikel sejarah. Bukan lagi berbicara tentang dialog keseharian. Sumpah ini berat saya pahami.
Saya tetap menyaksikan pementasan mereka berlangsung walau dialognya tidak dapat saya mengerti keseluruhan. Setidaknya saya mengetahui tambahan sedikit tentang kesejarahan negara Indonesia. Ya, walaupun sedikit, lumayanlah. Ditambah lagi penggunaan helm berwarna emas yang saya bilang tadi, mungkin bisa jadi bekal saya bertanya ketika diskusi.
Beberapa saat kemudian pementasan dari Teater Angin selesai dan mendapat tepuk tangan yang begitu meriah. Secara sepontan saya ikut bertepuk tangan, tapi dalam hati masih bingung dan penonton yang lain pasti sama. Saya yakin itu. Akhirnya waktu diskusi tiba dengan pembukaan kesan dari I Wayan Sumahardika atau biasa dipanggil Suma, tentang pembacaanya kepada teater di Singaraja dan Denpasar. Kebetulan dia sudah lama berkecimpung di dunia teater Denpasar dan Singaraja. Setelah Suma selesai memberikan beberapa pengalamanya melihat teater SMA di Bali khususnya Singaraja dan Denpasar, waktunya dari kedua kelompok teater tersebut memberikan pengalamanya selama proses kreatif mereka.
Ada persamaan dari kedua kelompok ini ketika menceritakan tentang proses kreatif mereka terutama saat proses latihan. Mereka masih agak susah membagi waktunya untuk berproses latihan teater dan kegiatan rutin sekolah. Apalagi dengan jangka waktu latihan mereka yang begitu singkat. Hanya jelang dua minggu sebelum pementasan.
Ada juga yang berbagi kesannya ketika harus mendalami peran sebagai suami atau istri, misalnya. Seperti yang diceritakan salah satu aktor dari Teater Galang Kangin. Mereka agak kesulitan karena memang tubuh mereka belum sampai disana. Tapi kan secara tidak langsung bagi saya ketika mereka bisa membagi waktu dan mendalami tokoh yang mereka perankan, itu membangun kesadaran mereka perlahan tentang rasa tanggung jawab, “assssek”.
Tapi ada juga ketidaksamaan dari kedua kelompok ini dari segi bentuk pementasan, dan tentang pemahaman naskah. Bahkan sepertinya tidak saya saja yang merasakan itu. Disini menariknya ketika ada ruang terbuka untuk mengekspresikan apa yang sebenarnya mereka ingin buat dengan idenya masing-masing. Setidaknya memberikan pandangan berbeda antara kedua kelompok dan penonton tentang teater.
Kalau dari bentuk pementasan sudah jelas terlihat berbeda ketika saya menyaksikan langsung. Tetapi yang belum saya ketahui adalah tentang pemahaman dan proses menghafal naskah. Dari keterangan pembina mereka, disini juga ada ketidaksamaan cara memahami naskah itu sendiri. Kalau dari Teater Angin keterangan dari pembinanya, bahwa si pembina itu sendiri lebih menginginkan kesadaran para aktornya tentang sejarah, secara tidak langsung para aktornya mengetahui sejarah negaranya, dan kalimat yang jarang mereka jumpai di keseharian. Karena dari cerita salah satu aktornya dia harus membuka “google” dulu untuk mengetahui apa arti dari satu kata yang dia tidak ketahui artinya.
Sedangkan pendapat dari pembina Teater Galang Kangin sendiri, bahwa si pembina lebih menginginkan kepada para aktornya untuk mengenalkan teater lebih luas lagi. Sementara kalau soal naskah mereka selalu berdiskusi antara pembina dan aktor tentang alur dan cerita yang dimaksud, agar mereka benar-benar paham tentang naskah dan tokohnya.
Diskusi malam itu berjalan begitu hangat dan menarik. Saya sampai iri kepada anak-anak SMA, apalagi mereka lucu dan yang perempuan saya lihat cantik-cantik “hahahaa”.
Setelah beberapa lama diskusi dan waktu terus berjalan, tak terasa hari sudah begitu malam. Bagi anak seumuran mereka, diskusi harus disudahi. Karena dari Teater Galang Kangin kebetulan juga harus balik ke Singaraja malam itu juga untuk melanjutkan kegiatan pembelajaran di sekolahnya. Sebelum diskusi selesai ada sepatah dua patah kata lagi dari Suma, untuk kedua kelompok teater itu khususnya teater sekolah-sekolah di Bali.
Dia menjelaskan bahwa mereka harus terus menggiati teater. Jangan beranggapan teater itu hanya sebuah pementasan di dalam ranah panggung. Buktinya mereka bisa merespon beberapa ruang yang ada di Canasta untuk dijadikan tempat pementasan dengan lampu dan properti seadanya. Dalam artian tidak menuntut kemungkinan untuk mereka berteater di ruang apapun untuk berekspresi.
Karena sebenarnya teater secara tidak langsung mengajarkan mereka untuk menjadi dirinya sendiri yang mereka inginkan. Ditambahkan pula untuk para pembina, bahwa dalam berteater tidak harus dan tidak hanya memberikan materi tentang teater saja. Namun harus selalu ada pembelajaran lain di dalamnya. Percayalah bahwa teater akan memanusiakan manusia. Begitu kata Suma sebelum mengakhiri diskusi malam itu.
Dan begitupun dengan tulisan ini. Saya akhiri dulu sampai di sini, karena saya rasa pengalaman menonton kali ini sudah selesai. Apalagi saya mulai mengantuk karena harus megadang menulis ini “hehehee”. (T)