KOTA ini terletak 100 KM tenggara Surabaya. Daerahnya cukup strategis karena selain dilintasi jalur Pantura yang menjadi ‘urat’ pulau Jawa juga memiliki pelabuhan cargo yang kini sedang disulap sebagai pelabuhan pembantu Tanjung Perak. Selain itu juga memiliki pariwisata yang menjadi ikon pariwisata nasional: Gunung Bromo.
Ya meski tentu saja gunung yang sohor dengan lautan pasirnya itu oleh kebanyakan orang lebih dikenal sebagai milik Kabupaten Malang. Padahal sudah jelas-jelas kalau kita naik ke Gunung Bromo di dekat tangganya itu ada patok wilayah Probolinggo—kota/kabupaten yang akan saya perbincangkan dalam tulisan ini. Yang milik Malang (juga milik Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang) tentu adalah taman nasionalnya, yang dikenal dengan sebutan “Bromo-Tengger-Semeru. Tapi mana mereka mau tahu?
Selain cukup strategis, di masa kolonial kota ini dianggap sebagai kota yang cukup penting dan menjanjikan, sehingga akhirnya pemerintah kolonial mengangkat statusnya menjadi gementee (kotapraja)—untuk dibedakannya dengan kabupaten—setelah dipertimbangkan atas tiga faktor: faktor keuangan, faktor penduduk dan faktor keadaan setempat.
Selain tanahnya yang subur, tercatat ada dua belas pabrik gula di sana, dari seratus satu pabrik gula yang ada di Jawa Timur saat itu. Maka, karena keberadaan pabrik yang banyak itu—yang saat itu gula sebagai komoditas penting dalam perekonomian dunia—tak heran jika akhirnya banyak warga Eropa (terutama para pejabat kolonial) mukim di kota yang setiap tahunnya dilalui angin gending ini. Sehingga imbasnya banyak berdiri sekolah-sekolah kolonial, bahkan sekolah guru pun berdiri di sana. Salah satu alumni sekolah guru itu adalah Sukemi, ayah dari Sukarno. Probolinggo sempat dikenal sebagai kota pelajar. Meski kini bekas sebagai kota pelajar itu sudah tak tersisa dan julukan itu kemudian disandang Kota Malang.
Sekarang apa arti semua itu? Barangkali tak ada, kecuali sebagai kajian sejarah dan bahan romantisme semata. Karena selain ikon pariwisatanya yang oleh sebagian orang selalu diidentikkan dengan Malang, kota yang dikenal sebagai kota penghasil anggur dan mangga ini oleh beberapa orang dikira terletak di Jawa Tengah.
Loh kok?
Ini tidak mengada-ngada, Saudara. Tetapi berdasarkan pengalaman pribadi maupun kawan-kawan saya yang berasal dari sana. Biasanya hal itu terjadi ketika bertemu dengan orang-orang yang berasal dari jauh. Orang-orang menyangka Probolinggo itu sama dengan Purbalingga yang berada di Jawa Tengah sono. Bahkan dalam biografi saya di salah satu buku antologi puisi yang saya ikuti, oleh editornya ditulis: Probolinggo – Jawa Tengah. Padahal jelas-jelas ada perbedaan O dengan A. Tapi mana mereka mau mengerti? Atau, kalaupun dalam ejaan Jawa sama-sama dibaca O, tentu kata “Purba/Purbo” jelas berbeda dengan “Probo”—yang memiliki makna “prabu; Probo+linggo, artinya “prabu singgah”, nama ini berkaitan dengan sejarah plesirnya Prabu Hayam Waruk dari Majapahit yang terabadikan dalam kitab Negarakretaga, karangan penyair Mpu Prapanca, dan kemudian menjadi asal-usul nama kota itu.
Sampai di sini sudah paham?
Kalaupun tidak paham ya tak apa-apa. Toh, saya masih sikap khusnudzon kok, bahwa orang yang tak tahu letak Probolinggo itu mungkin orang yang tak pernah melihat peta atau Google Map. Tapi saya haqqul yaqin setelah kasus Dimas Kanjeng jadi pemberitaan nasional selama beberapa pekan itu, maupun kasus teranyar yaitu anak-anak TK yang mengenakan cadar dan menjadi berita internasional, orang-orang yang tidak tahu letak Probolinggo atau menyangka kota itu sama dengan Purbalingga pasti menjadi mengecek lagi di Google Map atau membaca Wikipedia dan menyadari bahwa keduanya adalah dua kota yang berbeda.
Sebagai orang yang lahir dan besar di Probolinggo tapi selalu disangka Probolinggo adalah Purbalingga tentu saya merasa resah nan gelisah. Dan tidak rela jika kota saya disalahpahami. Sekalipun saya sudah lama tidak tinggal di sana, toh primordialisme saya masih belum pudar.
Tapi, meskipun seringkali disalahpahami tentu saya tetap merasa bangga dengan kota saya. Sebab, rata-rata penduduknya bisa menggunakan tiga bahasa sekaligus dalam sekali percakapan. Kalau Malang punya bahasa walikan, Surabaya punya bahasa arek, Jaksel punya bahasa gado-gado, begitu pun dengan Probolinggo punya bahasa khas yang disebut bahasa “Bolinggoan”.
Jangan heran jika ada orang Probolinggo ketika berbicara, dalam satu kalimat pembicaraannya terdapat tiga bahasa, yaitu bahasa Madura, Jawa dan Indonesia. Ini tentu lebih khas ketimbang bahasa Jaksel dan lebih ramah produk lokal. Jangan heran pula, jika Anda bisa bahasa Madura dan Jawa lalu ketemu dengan orang Probolinggo, lalu mengajak berbincang dengan bahasa Madura tapi ditanggapi dengan bahasa Jawa. Atau mengajak berbincang dengan Bahasa Jawa tapi ditanggapi dengan bahasa Madura atau bahasa Indonesia. Mohon maklum. Kami memang biasa demikian. Selain sering disalahpahami, kami memang suka menyalahpahami.
Namun yang paling membanggakan dari sekadar bahasa yang campur aduk itu adalah, soal sepak bolanya. Bukan klubnya yang saya banggakan—karena klubnya sendiri tak pernah masuk devisi utama dalam liga Indonesia—melainkan supporternya. Ya supporternya.
Mengapa demikian? Karena klub sepak bola kota kami yang disebut Persipro itu memiliki supporter dengan nama “Jinggo Mania” atau “Laskar Minak Jinggo”, mengambil nama dari Prabu Minak Jinggo. Lha, padahal Prabu Minak Jinggo ini pahlawannya—atau setidaknya tokoh sejarah/legenda yang dibanggakan—orang Banyuwangi, karena ia sendiri konon adalah raja Blambangan. Tapi orang Probolinggo berani menyerobotnya dan memakai nama itu!
Meski, benar memang Probolinggo pada zaman dahulu adalah bagian dari kerajaan Blambangan dan menurut cerita raja yang selalu digambarkan antagonis oleh orang-orang non Blambangan itu konon mati di Probolinggo ketika melawan Damar Wulan, tapi toh daerah ini kan cuma pedukuhan kecil di tengah-tengah hutan dekat perbatasan bagian barat. Tentu bagi saya ini pencapaian luar biasa karena tak ada rasa ewuh-pakewuh terhadap warga pusat kerajaan. [T]