DI bulan Oktober 2018, bulan pegiat seni di Bali ini, Arief Firmansah Sahidu, atau Bedel, (b. 1976), mewarnai Kulidan Kitchen and Space dengan gaya lukis khasnya yang mengambil gaya naif (Naïve Art). Gaya lukis ini dikenal mengambil formalitas (bentuk) dari cara menggambar anak-anak beserta warna-warna yang digunakannya.
Arief menjelaskan,
Dengan gaya naive (kekanak-kanakan), saya ambil dengan memaknai bahwakejujuran tempatnya adalah di usia anak-anak. Kejujuran dalam perspektiforang dewasanya adalah dalam melihat kenyataan kondisi sekitar kita. Disitulah kemudian saya bisa menyisipkan pesan-pesan melalui lukisan saya.
Saat menunjukan “The Nightmare”, “Hysterical Holocaust” dan “Before 29 July 2018”, interpretasi Arief akan kekaryaannya yang dirasakan penuh warna-warni di tahun 2018 adalah kata ‘rainbow’ (arti: pelangi). Kata pelangi menjadi kata yang kuat dan pemantik pemaknaan karya Arief yang disuguhkan disini.
Pelangi sendiri muncul di saat hujan rintik atau sudah berlalu. Hujan sendiri merupakan pembawa kesuburan tanah untuk bercocok tanam, penopang ekosistem. Tetapi, sering juga dilihat sebagai problema keseharian – kalau hujan dimetaforkan sebagai kesedihan, menjadi malas, dingin, tidak ingin pergi, menjadi alasan kita telat ke suatu tempat, dan sebagainya.
Padahal, hujan juga menyenangkan untuk anak-anak yang ingin bermain, dan saat pelangi yang warna-warni itu muncul, orang menjadi senang – ‘bersuka ria’ – bahkan ada yang bilang jika melihat dua (double rainbow) merupakan tanda keberuntungan (lucky).
Ya, itu yang terlihat dari karya-karya Arief – pelangi itu – warna yang membawa kita bersuka ria di antara hujan yang menyedihkan – ternyata suatu dualisme. Kata dualisme itu juga tercermin dari pandangan Arief tentang kemanusiaan saat ini,
Kebanyakan kejadian hari ini adalah sampah belaka, kita lupa akan nilai-nilaibaik yang sebenarnya kita miliki.
Merespon itu, Komang Adi, pemilik Kulidan, melihat bagaimana kekaryaan Arief memparodikan situasi kekinian, terutama dengan narasi politik bangsa Indonesia yangsedang carut-marut,
Dengan pura-pura masa bodo, [orang-orang menjadi] EGP (Emang GuePikirin). padahal kita memikirkan situasi kebangsaan secara mendalam. Sangatprihatin sebenarnya dengan realita jaman ini.
Kekaryaan Arief disini mengangkat suatu permasalahan politik berkemanusiaan (seperti “Hysterical Holocaust”), suatu sejarah yang tak tertuliskan (seperti “The Nightmare”), dikreasikan penuh semiotika (bentuk yang menjadi simbolisme suatu aspek maupun isu) dengan warna-warni yang sangat kuat dapat mengambil perhatian kita. Ada problema problema yang menjadi pesan-pesan penting yang ingin disampaikannya. Mungkin, sebenarnya kekaryaannya penuh kekelaman, tetapi ia ingin mengajak semua tetap bersuka ria dengan apa yang kita hadapi, bersama-sama.
“The Nightmare” menjadi perhatian banyak orang saat pembukaan pameran tersebut, dengan adanya sosok Soeharto yang dibuat dengan warna-warna cerah dan meriah, padahal kalau dilihat secara detail lukisan itu penuh luka yang diperlihatkan. Nightmare yang berarti mimpi buruk, buat Arief zaman diktator itulah yang menjadi mimpi buruk dan juga pada saat membuat karya ini gempa-gempa di Lombok sedang terjadi. Maka kedua peristiwa terefleksikan di lukisan tersebut.
Arief merupakan perupa asal Lombok yang belajar berkesenian secara otodidak sejak tahun 2003 setelah menjalaninya hanya sebagai hobi sejak kecil. Perjalanan berkeseniannya dimulai pada pertemuannya dengan Ali Robin, seniman patung berdomisili di Lombok saat itu.
Dilanjutkan dengan menekuni menggambar anatomi dan realis di Ubud tahun 2007 dengan Pranoto, lalu bekerja di Jakarta pada tahun 2009, hal-hal tersebut mempengaruhi jalan perkembangan kekaryaan Arief hingga saat ini. Kekaryaannya tidaklah berhenti di bentuk sket dan lukisan saja, tetapi juga media lainnya seperti digital art.
Visual yang disuguhkan Arief mengajak kita untuk bersuka ria terhadap dualisme itu, tetapi kembali ke kita sebagai penikmat ataupun pengamat karya: mau mengambil satu makna saja atau sanggup meneguk keduanya? (T)