MENAFSIR ulang situs arkeologi ke dalam seni rupa kontemporer tentu bukan perkara mudah. Sebab bila tidak cerdik dalam kreasi artistik, karya yang dibuat cenderung menjadi mimesis dari objek yang telah ada. Untuk menghindari hal itu, riset atau penelitian komprehensif sangat diperlukan.
Hal itulah yang dilakukan perupa Wayan Kun Adnyana berkaitan dengan situs Relief Yeh Pulu yang berlokasi di Desa Bedulu, Gianyar, Bali.
Sebelum diolah menjadi karya seni rupa, Kun melakukan penelitian terhadap situs yang memiliki panjang sekitar dua puluh lima meter dan tinggi dua meter tersebut. Situs yang diperkirakan dibangun pada abad ke-14 atau 15 Masehi itu mirip komik strip, menggambarkan fragmen-fragmen kehidupan keseharian manusia Bali. Di dalamnya juga terkandung nilai-nilai kepahlawanan dari kaum rakyat jelata.
Situs Yeh Pulu bisa dimaknai sebagai sebuah karya seni rupa dari zaman Bali kuno. Dan, hal itu tentu saja menarik untuk ditafsir ulang ke dalam karya seni rupa kontemporer, seperti yang dilakukan oleh Kun Adnyana.
Hasil pembacaan dan pemaknaan terhadap situs tersebut dipamerkan oleh Kun dengan tajuk “Titi Wangsa” di Museum Neka, Ubud, 12 – 31 Oktober 2018.
Titi Wangsa menurut Kun adalah jalan menuju diri yang berkarakter dan meruang, yang hadir dalam sejarah. Pameran yang dikurasi Warih Wisatsana ini adalah upaya menciptakan jembatan imajiner yang menghubungkan masa silam dan masa kini.
Wayan Kun Adnyana adalah perupa kelahiran Bangli, 4 April 1976. Dia meraih gelar doktor bidang seni rupa di ISI Yogyakarta. Sejak 1997 dia aktif dalam banyak pameran bersama maupun tunggal, baik di dalam maupun luar negeri. Sejumlah penghargaan di bidang seni rupa juga pernah diraihnya, antara lain finalis UOB Painting of The Year.
Selain sebagai dosen di ISI Denpasar, Kun juga dikenal sebagai kurator dan penulis seni rupa. Kun menggunakan tujuh pendekatan artistik dalam mengolah Relief Yeh Pulu ke dalam karya seni rupa kontemporer, yakni cutting, coloring, highlighting, drawing, smashing, layering, dan deconstructing.
Dalam penerapannya, cutting berkaitan dengan membayangkan Relief Yeh Pulu sebagai bentangan poster komik yang gambar-gambarnya dapat digunting sesuai keperluan untuk ditata kembali dalam karya seni lukis. Coloring adalah pewarnaan ulang sesuai dengan cita rasa artistik pelukisnya.
Highlighting adalah memilih figur atau subjek gambar tertentu sebagai pusat perhatian. Drawing berkaitan dengan merepresentasikan ulang objek gambar dengan teknik goresan garis. Smashing adalah teknik membayangkan objek relief dalam kondisi terpecah dan rapuh karena faktor korusi dan sejenisnya.
Pendekatan layering dilakukan untuk menyusun lapis-lapis warna sebagai latar belakang lukisan. Sedangkan deconstructing lebih ditujukan untuk mendekonstruksi tema, adegan, dan komposisi menjadi suatu yang baru.
Tujuh pendekatan itu bisa dilihat, misalnya, pada karya berjudul Back Home (140 x 160 cm, ink & acrylic on canvas, 2018). Kun memindahkan adegan dua manusia memikul hewan buruan yang terdapat pada Relief Yeh Pulu ke bidang kanvasnya. Adegan itu menjadi fokus dengan pemanis berupa figur-figur manusia yang tampak melayang pada bidang kanvas yang penuh sapuan warna dan tulisan tangan. Dalam lukisan ini, Kun menggabungkan gaya figuratif dan abstrak menjadi suatu keutuhan.
Adegan dua figur memikul hewan buruan itu juga tampil dengan visual berbeda pada lukisan berjudul Constant Battle (140×160 cm, ink & acrylic on canvas, 2018). Dalam lukisan ini, Kun menambahkan figur Superman dan Batman berbaur dengan figur-figur manusia yang tampak melayang di tengah keriuhan warna. Tujuh pendekatan yang digunakan Kun tampak menyatu dalam lukisan ini.
Selain itu, ikon masa silam dan masa kini berpadu melahirkan pemaknaan baru. Relief Yeh Pulu merupakan rangkaian adegan yang unik dan menarik untuk dimaknai ulang. Sebutlah misalnya adegan berburu macan dan perempuan yang menarik ekor kuda yang dikendarai lelaki. Adegan berburu macan tampak ironis karena pemburu menarik lidah dan ekor si macan.
Kun menampilkan adegan yang menunjukkan semangat kepahlawanan itu dalam lukisan berjudul Be Heros (60×60 cm, ink & acrylic on canvas, 2018). Bila macan adalah simbol kekuasaan pada masa relief itu dibuat, maka tindakan menarik lidah (mulut) dan ekor si macan (kekuasaan) menjadi suatu keberanian tersendiri, apalagi dilakukan oleh kaum jelata.
Adegan tersebut bisa ditafsir dalam konteks persoalan sosial politik yang terjadi pada masa itu. Adegan seorang perempuan menarik ekor kuda yang sedang ditunggangi lelaki juga bisa dibaca sebagai simbol yang membuka berbagai kemungkinan penafsiran. Hal itu dijabarkan oleh Kun Adnyana dalam lukisan berjudul On Desire (140×160 cm, ink & acrylic on canvas, 2018).
Bisa jadi adegan tersebut merupakan simbol perlawanan terhadap budaya patriarki. Mencermati pameran ini, Kun Adnyana tampak kreatif memparodikan adegan-adegan Relief Yeh Pulu dengan ikon-ikon kekinian. Lukisan-lukisannya kali ini membuka ruang dialektika antara masa silam dan masa kini dengan berbagai perenungan yang terkandung di dalamnya. Terutama dalam konteks semangat kepahlawanan yang ditunjukkan oleh kaum rakyat jelata. (T)