Senja di bulan Februari. Di teras tak bernyawa, di bawah langit yang selalu memberi warna jingga, seorang wanita mengadu pilu. Dia mengadu. Pada langit. Langit tak pernah bosan menjadi pendengar. Di teras bisu dia menghela nafas dengan ragu-ragu. Pelan dan berat. Mata dan pikirannya waspada namun lepas berkelana. Ada satu bintang kala itu, yang nampak bersembul malu-malu. Mata merekapun saling beradu tatap. Oh engkau adalah sejarah, gumamnya.
Wanita itu dipanggil Bie, nama pendek dari Bintang Erlana. Seorang pelukis wanita yang bekerja dengan imajinasi dan kekayaan warna. Warna memberi nyawa bagi karya-karyanya. Dia mencintai warna layaknya dia mencintai Bintang. Bintang adalah sejarah. Cahaya yang berpijar itu menempuh jutaan hari agar indahnya sampai ke bumi. Begitulah dia mencintai perjuangan satu bintang. Tuhan telah menyusun. Tuhan telah merencanakan pertemuannya dengan bintang-bintang itu. Inspirasinya.
Dunia ini tidak buruk, gumamnya. Hanya mata manusia yang memandangnya dengan kacamata luka, hingga yang Nampak hanya sayatan-sayatan, sajak-sajak air mata dan pagi yang lupa bernafas.
Wanita itu tak ingin lupa bernafas, setidaknya pada takdir yang tidak sesuai dengan doa-doanya. Nafas harus senantiasa hadir. Paru-paru adalah rumahnya. Oksigen tak mengenal jeda. Dia akan terus bergerak. Tak peduli bahagia, tak hiraukan kesedihan. Telah lama hilang dalam ingatan Bie, kapan dia memantapkan diri untuk menyematkan raganya pada pertiwi, menyerahkan jalannya pada akasa. Dan kapan dia mulai jatuh cinta pada senja dengan satu bintang.
Bintang lain nampak bermunculan. Langit semakin gelap.
Satu karyanya telah rampung, sebuah lukisan yang akan dipamerkan minggu depan bersama 18 pelukis lain dari Asia. Ini akan menjadi pameran paling bergengsi yang pernah diikutinya. Karyanya haruslah merupakan karya terbaik di antara yang terbaik. Lukisan itu beraliran ekspresionis. Ada guratan wajah, mata, tangan, kaki, membentuk sayatan dengan warna merah darah yang bercecer di lantai-lantainya. Darah ini seolah melayang-layang. Langit menyambut dengan tangan terbuka. Bukankah langit seharusnya berwarna biru? Merah melahirkan makna seolah marah. Bukankah langit selalu ingat tersenyum, bahkan di kala ranum sinar senjanya, dia masih menampakkan keindahan?
***
Dalam lukisan yang dibuat oleh tangan Bie, warna langit seolah neraka. Penuh kobaran api, merah, kuning dan jingga. Menyala ganas, bak darah yang mengalir deras tiada ampun dalam teriakan mencekam. Bie akan mengingat malam-malam temaram di musim yang tak menentu: hujan dan kadang panas. Barangkali alam memahami mood seorang seniman.
Bie beranjak dari teras, ke studio lukis miliknya. Studio yang menyapanya setiap hari dengan suka cita dan kegilaan, memeluk rasa hausnya untuk berkarya. Dengan hati bertanya, dia mengambil lukisan yang berukuran 150X 200 cm itu.
Dahinya mengernyit, mulai menganalisis, lukisan ini nampak artistik. Tapi bukan ini yang aku maksud. Keraguan menggerakkan akal sehatnya. Lagi-lagi dia ingat akan komentar pedas professor Oda.
Seorang profesor di institute seni tempat dia bernaung dengan seni rupa. Komentar itu telah mendarah daging.
Melukislah dengan cara-cara yang benar, Bie, cobalah untuk fokus. Coba upayakan terus agar kamu tidak mempermalukan lembaga besar ini.Tugasmu berat, jangan sampai dikalahkan oleh pelukis otodidak. Ah, mau dibawa kemana wajah lembaga ini jika itu terjadi.
Begitulah sang profesor terus berkomentar. Berulang-ulang, setiap saat pada setiap pertemuan mereka. Hingga kata-kata yang perih itu terbenam rapi dalam pikiran. Menyelinap menuju kuas-kuas, cat-cat, menuju tiap sudut di studio lukis kecilnya. Semakin lama semakin bernyawa. Memiliki nafas. Membentuk makhluk mirip manusia. Tanpa mulut. Makhluk ini memiliki dua mata yang tidak hanya bisa melihat namun juga bicara. Kedua matanya mampu menyampaikan pesan secara diam-diam, dengan caranya sendiri.
Di luar nalar Bie, makhluk ini membisikkan sebuah teknik melukis. Sebuah cara. Aturan. Bie tidak menyukai aturan, tentu saja semua seniman tidak menyukainya. Bagi Bie, itu adalah sebuah kesesatan. Menjejalkan teori sama saja dengan melemparkan bom. Itu akan dengan mudah menghancurkan moodnya untuk berkarya secara bebas. Lagipula teknik-teknik itu sudah dikuasainya jauh sebelum makhluk aneh itu lahir. Melukis menggunakan rasa dan intuisi. Dua hal yang selalu menjadi nomor satu dalam proses penciptaan sebuah karya lukis yang indah.
Namun makhluk ini sungguh makhluk yang tidak tahu diri. Dengan seenaknya dia menggerakkan jemari Bie. Menggerakkan cat-cat yang berbaris rapi seolah menunggu gilirannya.
“Setelah merah, gunakan putih, lalu biru dan jadikan ungu , gradasi yang indah akan menciptakan lukisan yang indah pula.” Bie menuruti semua instruksi itu tanpa sadar. Begitu teratur, sangat terstruktur. Menjadi candu. Menghipnotisnya hingga Bie tertidur pulas. Saat pagi tiba, Bie akan terbangun dengan geram. Lukisannya berubah warna, bentuk dan komposisi. Ah, lagi-lagi makhluk itu.
Pameran akan berlangsung 5 hari lagi. Lukisan Bie belum benar-benar rampung. Inspirasinya hilang. Lenyap bersama gelap. Kreativitas yang dulu diagung-agungkan,kini berpaling muka, memusuhinya. Kreativitas dan inspirasi itu tengah bersembunyi, malu – malu dan mungkin akan seterusnya demikian. Di siang hari dia mengalihkan penat dengan menghubungi beberapa teman seniman. Berharap memberikannya pencerahan. Barangkali pertemuan-pertemuan mampu menggugah inspirasi itu untuk datang kembali. Namun nihil. Kali ini sang inspirasi takut untuk menampakkan batang hidungnya. Makhluk tanpa mulut yang datang tiap malam, makhluk tak bermulut yang memiliki banyak teori itu tengah memenjarakan inspirasi milik Bie menuju penjara terburuk yang menyedihkan.
“Ajang ini terlalu bergengsi jika kamu menampilkan lukisan seadanya. Ciptakanlah mahakarya” ujar Prof. Oda. “Lukisan yang kamu perlihatkan itu masih belum sempurna, Bie.”
Bie mulai merasa rendah diri. Selama ini dia meyakini para kolektor mencintai lukisan-lukisannya sebagaimana dirinya mencintai karya-karyanya. Namun langit tengah tak bersahabat. Langit mengirimkan Prof.Oda ke dalam ruang kebebasan yang telah dibangunnya bertahun-tahun. Memolesnya dengan kritikan-kritikan pedas. Kritikan itu menyusup ke dalam nadinya, menuju jantung, tersebar ke seluruh tubuh, pikiran. Memasung pikiran liar yang menjadi senjatanya berkarya lalu membiarkan kreativitasnya pelan tapi pasti melangkah menuju kematian yang absolut. Setiap malam, makhluk tanpa mulut ciptaan Prof. Oda akan datang lagi, seenaknya mengubah estetika pada lukisannya.
Pada sebuah malam yang bergerimis, seorang tetangga menghampirinya. Diantara semua tetangga, hanya ibu ini yang paling banyak bertanya tentang dirinya. Seperti biasa dia akan melontarkan pertanyaannya tanpa rasa bersalah.
“Habis dari mana. Bie?” Tanya ibu setengah baya yang sering dipanggil Bu Sri oleh tetangga yang lain. apa urusannya, kenapa dia bertanya.
“Hanya mencari angin segar”, jawab Bie seadanya.
“ Hati-hati,Nak. Penjegal ada dimana-mana. Jangan sering pergi sendirian”
Bie sesungguhnya menghormati perhatian Bu Sri, tapi jika pertanyaan itu terus – menerus dilontarkan, lama-lama dia menjadi muak.
“ Oh ya, Bu? Saya sih hobi keluar malam-malam. Saya takut sama matahari,Bu”, Bie menjawab dengan santai sambil membuka pintu. Dari balik kamar Bie bisa mendengar Bu Sri bercerita. Tentang apa, dia tidak terlalu hirau. Bie sibuk membuka sebuah bungkusan. Bungkusan itu penuh dengan alat-alat melukis. Malam ini Bie akan melanjutkan lukisannya.
Aku tidak boleh tidur, makhluk itu akan datang lagi dan lagi ketika aku tengah tertidur pulas, gumamnya. Suara Bu Sri masih terdengar, mengoceh tak tentu arah. Tapi Bie terlalu asyik dengan imajiasinya sendiri.
“… mereka masih menjadi buronan”, Bu Sri belum selesai bercerita, Bie memotong pembicaraannya. Topik yang tidak penting. Ibu ini korban infotainment. Kerjanya menggosip, keluh Bie. Dan aku tidak pernah tertarik dengan obrolan ibu-ibu. Dengan gosip yang tak penting.
Mulai malam itu, Bie berjanji untuk tidak tidur hingga hari-H. Menyeruput bercangkir-cangkir kopi panas adalah cara terbaik. Jika matanya terpejam, makhluk itu tentu akan dikirim lagi oleh langit ,mengobrak-abrik sisi kebebasannya. Merusak kreativitasnya. Merusak lukisannya. Berhari-hari Bie mencoba untuk tetap terjaga. Ruangannya bau kopi, cangkir-cangkir itu penuh ampas kopi yang mengering. Studionya tidak rapi lagi. Dia hanya ingin fokus mencari sang inspirasi, sang taksu yang dulu hidup pada tiap karyanya.
Berhari-hari sebelum pameran berlangsung, Bie terjaga untuk menjadikan lukisannya menjadi seperti apa yang diinginkan oleh kata hatinya. Lukisan ini akan menjadi yang terbaik dan membanggakan institusinya. Bie terus bekerja. Kuas menari-nari dengan lihai dan lincah. Iramanya berdendang mesra. Cat-cat beradu membentuk warna-warni indah yang harmonis, saling menggoda, saling memuji, saling melengkapi, lalu saling jatuh hati: memberi warna tercantik yang pernah ada. Satu langkah lagi akan rampung, pikirnya.
Di siang hari Bie akan keluar untuk membeli makan. Seperti biasa bu Sri akan menyapa dengan ramah. Beberapa teman kerap menghubunginya. Daryanto, salah satu pelukis yang sedang naik daun itu meneleponnya pada suatu pagi.
“Katakan bahwa lukisanmu sudah siap,Bie. Aku tidak sabar melihat mahakarya itu”, ucapnya dengan nada yang dibesar-besarkan.
Mahakarya? “Tentu saja. Sedikit lagi”
“Bolehlah aku bertandang ke studiomu, Bie? Kau tampak sangat fokus sehingga lupa memberi kabar pada kawan-kawanmu. Kemana saja gerangan kekasihku ini tiga hari belakangan ini?”
“Mencari udara segar” Jawaban yang sama untuk pertanyaan yang sama. Kenapa semua orang sangat ingin tahu apa yang aku lakukan?Kekasih? Ngaco!
“Kau terlalu mendengarkan nasihat Prof.Oda”, ucap Daryanto.
“Tidak juga”, jawab Bie singkat, tak sabar mengakhiri basa-basi ini.
“ Kabarnya….”
Tanpa ragu Bie menutup telepon. Mematikan deringnya. Mendengar nama Prof.Oda menjadi hal yang menusuk hati.
***
Tiba saatnya lukisan ini harus dikirim. Panitia telah menghubunginya bahwa hari ini akan dilakukan setting lukisan di ruang pameran. Dengan bangga Bie membawa lukisan itu, meski langkahnya lemah, kepalanya berat dan detak jantungnya tak karuan. Berhari-hari tanpa tidur adalah hal yang berat.
Hatinya berbisik pada dirinya sendiri, namun sebentar lagi, setelah pameran itu dibuka dan saat langit sedang berbaik hati, lukisanmu akan diterima, langit akan memayungimu dengan doa, lalu kamu akan menjadi yang terbaik. Prof. Oda akan merasa malu telah mengkritikmu dengan tajam.
Tiba di ruang pameran, dia bertemu 18 seniman lain dari 18 negara di Asia. Masing – masing pelukis membawa hasil karya terbaiknya. Mereka Nampak tersenyum lebar. Mata – matanya masih segar, wajah yang memancar cerah dan bahagia. Diskusi hangat mengalir di antara mereka, tawa melukis tiap sudut ruang pameran. Terasa hangat. Ada cinta, penerimaan., ungkapan kebersyukuran. Melihat pemandangan itu, Bie terpukul. Selama ini dia tertidur meski matanya tak terpejam. Dia tertidur dan membiarkan keraguan mendarah daging dalam dirinya.
Dimanakah Prof Oda saat ini? Bukankah dia berjanji akan datang? Bie mengecek handphone, mencari nama itu. Whatsappnya aktif lima hari yang lalu. Bie agak sedikit panik, keringat dingin jatuh pelan-pelan seperti irama biola yang teratur. Menghanyutkan.
Prof Oda menjadi orang yang paling bertanggungjawab dengan karyaku kali ini, dengan nama baikku, nama baik institusi yang aku wakili kali ini. Dia kini melenyapkan raganya. Tak terlihat. Setting akan dimulai namun prof. Oda masih belum muncul ke ruang pameran.
Panitia membuka satu persatu lukisan dari bungkusya. Ketika mereka membuka lukisan milik Bie, semua orang yang hadir di ruangan itu melotot, lalu berteriak histeris seolah tak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Apakah itu mahakarya yang hendak Bie tampilkan ataukah sebuah sensasi di dunia seni rupa yang akan memberi warna berbeda? Salah seorang panitia sontak menelepon polisi.
Panitia yang lain menyambar tubuh Bie lalu melarikannya ke sebuah ruangan. Bie nampak pasrah ketika dia digiring ke dalam sebuah ruangan dan dikunci rapat-rapat. Seniman lain mendekat, ketakutan memandang karya seorang pelukis bernama Bintang Erlana. Irisan wajah seorang manusia menempel di kanvas. Itu adalah kulit wajah, mata, hidung, alis dan mulut milik Prof. Oda, diikuti lekukan badan bergaya ekspresionisme, menjadikan lukisan itu berbeda.
Institusi seni itu memang tengah dihebohkan dengan berita menghilangnya Prof.Oda. Jejaknya sulit dicari. Ketika polisi mengkonfirmasi Bie ke studio lukisnya, studio itu selalu tak berpenghuni. Bie telah menyewa satu ruangan di sebuah kamar kos yang jauh dari rumahnya, sehingga tidak ada orang yang bisa menghubunginya. Bie telah merencanakan segalanya. Dengan rapi.
Langit senja merah menyala, Bie masih terkunci di dalam kamar yang kecil dan pengap itu sebelum polisi datang dan menangkap badan mungilnya. Dia terkekeh pelan, berbisik :
Satu karyaku telah rampung, sebuah lukisan indah. Ada wajah, ada mata, ada tangan, ada kaki, ada sayatan dan darah yang bercecer di lantai-lantainya. Darah itu terbang ke langit, hingga langit berwarna merah pekat nyaris gelap. Karyaku akan menjadi yang terbaik dan eksentrik. Lalu sejarah seni rupa akan mengingat dan menyebut-nyebut namaku, seumur hidup.