POETRY slam kali ini diadakan di rumah Komunitas Mahima, Singaraja, Sabtu 29 September 2018. Saya tak sengaja ikut dalam kegiatan ini.
Saya benar-benar tak paham apa itu poetry slam. Dalam bayangan saya, poetry slam adalah membaca puisi yang diiringi musik lalu entah membaca puisi dari siapa, tetapi waktu itu saya bayangkan puisi yang dibacakan adalah bahasa Inggris, sebab nama acaranya saja sudah menggunakan bahasa Inggris.
Karena itulah ketika saya diajak ikut dalam acara ini saya hanya mengatakan “iya” sambil menimbang-nimbang kembali jawaban itu.
Saya kemudian bertanya pada Made Adnyana Ole apa itu poetry slam. Jawabanya sederhana, “Mengucapkan puisi sendiri dengan spontan dan santai di atas panggung.” Wah, jawaban ini membuat saya semakin panik dan agak menyesal menjawab “iya” saat diajak serta.
Ada beberapa masalah yang saya pikirkan. Pertama saya “spontan mengucpkan puisi”. Kedua, “di atas panggung”. Artinya karena di atas panggung saya ditonton orang. Dalam bayangan saya, itu cukup mengerikan.
Tapi jawaban Pak Ole selanjutnya cukup membuat saya tenang untuk ikut itu. “Ya bikin saja dulu puisinya, lalu baca di atas panggung.” Saya menghembuskan napas sedikit lebih panjang.
Nyatanya, pada saat acara ini menjelang dimulai pada malamnya, saya justru semakin berniat untuk ikut, apalagi setelah mendengar doktrin Virginia yang merupakan salah satu pendiri Poetry Slam Bali.
“Ikut saja, kalau enggak ikut pasti nyesel,” kata Virgi, teman sepergaulan saya di Komunitas Mahima. Kali itu saya bulatkan jawaban: “Oke”.
Ternyata eh ternyata, acara ini memang begitu asik. Sebelum mengucapkan puisi yang harus buatan sendiri itu, digelar workshop poetry slam. Saya tak mengingat banyak topik yang disampaikan dalam workshop itu, sebab lebih banyak disampaikan bahasa Inggris.
Tapi satu yang saya ingat untuk berani ikut adalah kata-kata dari Ibu Kadek Sonia Piscayanti, “Tak ada puisi sampah!”. Selain itu tajuk dari acara ini adalah Unspoken Freedom. Artinya, bebas. Termasuk bebas untuk jelek.
Beranilah saya akhirnya dengan yakin walaupun napas semakin tak teratur ketika nama mulai diundi dari gelas bekas gelas air mineral.
Setiap peserta yang selesai mengucapkan puisinya yang entah dibaca atau diucapkan dengan menghapal, diakhiri dengan pengacungan papan skor dari juri yang dipilih di tempat. (Oh iya, saya juga sempat terpilih menjadi juri ketika tiba-tiba Pak Ole hilang dari kerumunan, sedikit lega karena tak jadi ke panggung).
Tapi rasa-rasanya saya juga amat ingin membacakan puisi saya sendiri. Tahu saya sudah menyiapkan tulisan (maksudnya: puisi), seorang kawan menggantikan saya sebagai juri. Eh, ternyata juri bisa siapa pun. Termasuk saya yang baru menjadi orok di dunia ini. penilaiannya pun bebas, tak ada indikator yang ditentukan, jadi sifat penjuriannya sangat subjektif. Virgi mengatakan bahwa ini bukan kompetisi, jadi penilaian ini bukan menjadi hal yang paling penting.
Sebenarnya, walau pun saya sudah bulat untuk ikut, tetapi keragu-raguan masih saja ada. “Bisa nggak tulisan saya disebut puisi?”, “Mau nggak orang lain dengerin tulisan saya?”, “Kalau skor saya rendah, itu kan sangat memalukan?”, dan pertanyaan-pertanyaan yang serupa itu.
Untungnya, saya bepikir hal lain lagi, “Ini kesempatan untuk membaca puisi buatan sendiri di depan umum, kapan lagi?”
Nah, saya pun benar-benar yakin untuk ikut, sampai akhirnya nama saya terpanggil dari undian itu.
Membaca puisi sendiri di atas panggung memang memberi sensasi yang berbeda—walaupun saya tak pernah membaca puisi penyair terkenal di atas panggung. Rasa-rasanya ada kepuasan, puas karena puisi saya mau didengarkan oleh orang lain, namun ragu jika puisi saya buruk meski sebelumnya telah disampaikan oleh Ibu Sonia bahwa tak ada puisi sampah.
Setelah usai membacakan puisi itu, betapa perasaan bahagia itu masih terkenang. Pertama kali puisi saya didengarkan oleh banyak orang yang memang siap untuk mendengarkannya. Mungkin itu belum layak disebut puisi, karena lebih pada curhatan pendek. Tetapi dari sana, rasa ingin menulis lagi rasa-rasanya tetap dijaga karena itu.
Sampai di rumah kos, saya melihat beberapa kali rekaman saya membacakan puisi di facebook. Memang tak sesuai dengan harapan saya. Tetapi ada hal yang lebih dari itu yang hingga kini melekat. Curhatan saya yang mungkin mirip dengan puisi itu didengarkan oleh beberapa orang yang hadir malam itu.
Acara yang asik dan memberi kesempatan pada orang seperti saya untuk sesekali menampilkan apa yang telah selesai, sendiri, dan mungkin dalam sunyi pada orang lain.
Oh, ya, selamat untuk Gek Ning, teman di Komunitas Mahima, yang mendapat skor tertinggi pada malam itu. (T)