PERPUSTAKAAN adalah ruangan yang keramat. Isinya tumpukan buku, tinggi, dengan rak hingga ke langit-langit. Selalu diupacarai dan diberikan sesajen. Jarang dijamah hingga berdebu dan dimakan kutu.
Ruang-ruang dengan rak tinggi itu biasanya hanya jadi tempat semedi bagi mahasiswa semester akhir. Atau bagi orang-orang yang tak punya teman selain buku. Perpustakaan memang tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang, kecuali orang yang memang datang untuk membaca. Karena hanya bisa dimasuki oleh orang yang suka membaca, maka perpustakaan jadi sepi dan terkesan keramat.
Tapi tunggu dulu. Bukankah masyarakat Indonesia memiliki minat baca yang cukup tinggi? Mereka tidak lagi membaca buku atau koran melainkan melalui gawai masing-masing. Lihatlah begitu banyak orang yang waktunya dihabiskan di depan layar telepon pintarnya itu.
Namun apakah mereka sudah membaca sebagaimana layaknya membaca? Nah, tampaknya inilah yang jadi pertanyaan. Tampaknya sebagian besar masyarakat belum membaca secara benar. Saya sering amati, teman-teman di tempat kerja tidak pernah ketinggalan mengetahui status teman-temannya di media sosial.
Pacar saya selalu, hampir setiap hari membaca harga-harga kosmetik dan tas di toko daring. Tetangga saya membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, dan membaca subtitle drama korea di laptop untuk mendapatkan hiburan. Akibatnya, kegiatan membaca belum berhasil memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupan mereka.
Mari lihat data. Indonesia tetap dimasukkan sebagai negara berkembang yang minat baca penduduknya masih di bawah rata-rata. Ini dipertegas oleh hasil studi Most Littered Nation In the Word yang dilakukan Central Connecticut State University pada 2016 yang menyatakan minat baca masyarakat Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Ada yang tahu di mana letak negara Bostwana?
Tampaknya fenomena ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, akses masyarakat terhadap buku (bahan bacaan) minim dan mahal. Kedua, kebiasaan mendongeng sebelum tidur oleh orang tua kepada anaknya semakin punah. Padahal mendongeng bermanfaat mendorong rasa ingin tahu dan berdampak meningkatkan minat baca anak sejak dini.
Apa daya, orang tua zaman sekarang begitu sibuk memenuhi kebutuhan keluarga yang selalu meningkat. Apalagi anak-anak sekarang, kids zaman now kata orang-orang ababil di luar sana, lebih suka yang praktis dan tidak banyak mikir. Saya memang tak suka menggunakan istilah kids zaman now, entah kenapa. Tapi agar esai ini dibaca oleh lebih banyak orang, tidak ada salahnya ikut tren.
Membaca sangat penting, menurut teori dan sangat bisa dibuktikan sendiri. Sebab berhubungan dengan masa depan generasi mendatang di tengah pesat berkembangnya informasi dan pengetahuan. Beruntunglah pemerintah Indonesia mengambil kebijakan penting menggerakkan kembali literasi di bangku-bangku sekolah.
Bukan berarti pendidikan kita sebelumnya tanpa literasi, namun lebih diluaskan lagi. Lebih ditingkatkan lagi kuantitas dan kualitasnya. Perlu diingat bahwa literasi tidak hanya terbatas membaca dan menulis, atau sebatas membaca buku non pelajaran selama 15 menit sebelum kegiatan belajar dimulai. Ya, literasi itu sangat luas.
Tentu saja ini langkah yang sangat baik, harus disambut baik serta didukung oleh semua pihak. Mengingat dalam literasi terdapat aktivitas membaca. Literasi dapat kita maknai sebagai kegiatan berpikir yang sebelumnya diawali dengan membaca, sehinga tindakan-tindakan yang dilakukan didasarkan pada pengetahuan dan ilmu yang didapat melalui membaca.
Belum apa-apa kelemahan sudah terlihat, yaitu sebagian guru belum gemar membaca. Padahal guru menjadi model dalam gerakan literasi di sekolah. Untuk meningkatkan minat baca peserta didik, perlu terlebih dahulu menanamkan persepsi, ketertarikan, dan kesadaran mereka akan manfaat membaca.
Peran orang tua serta guru sangat penting dalam menumbuhkan kebiasaan membaca anak. Kebiasaan membaca tidak bisa terbentuk secara tiba-tiba, sehingga perlu pembinaan sejak dini. Sayangnya harga buku-buku mahal. Mending beli kuota internet ya biar bisa main gim daring.
Jika kita berbicara Indonesia akan sangat luas. Mari kita cermati sebagian kecil masyarakat dalam bangku-bangku sekolah saja. Saya cukup yakin, hampir pasti semua masyarakat akan melewati masa belajar di sekolah (dalam arti luas), sehingga sekolah menjadi awal yang penting bagi kemajuan bangsa.
Rendahnya minat baca masyarakat khususnya kalangan siswa berdampak buruk terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Kualitas pendidikan Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara tetangga di Asia, apalagi dunia. Ini menurut riset, silakan cek hasil riset, di Google ada kok! Rendahnya kualitas pendidikan berimplikasi pada kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola masa depan.
Jika berbicara masalah fasilitas, kita sesungguhnya memiliki. Sebut saja perpustakaan dan toko buku. Sudah banyak ada namun belum mencukupi. Mengingat begitu luas wilayah dan begitu banyak penduduk di Indonesia. Serta permasalahan Indonesia yang begitu kompleks. Hingga membuat siapapun presidennya akan pusing tujuh keliling. Belum lagi produksi buku di Indonesia yang terhitung minim, serta harga buku yang tak terjangkau.
Minimnya bahan bacaan pun menjadi salah satu hambatan terbesar bagi masyarakat Indonesia dalam menumbuhkan dan mengembangkan minat baca. Keberadaan toko buku tidak didukung dengan daya beli masyarakat terhadap buku-buku. Para siswa lebih memprioritaskan membeli kuota internet daripada buku. Begitu pula para guru yang lebih memilih mencicil motor merek terbaru atau untuk pemenuhan gaya hidup daripada menyisihkan honornya untuk membeli buku. Jadi buku bukanlah kebutuhan mendasar bagi sebagian masyarakat kita.
Sebetulnya ini masalah yang sangat kompleks yang dipengaruhi dari dua sisi, luar maupun dalam masing-masing individu. Bisa kita amati bersama, ketika ada orang asing dalam antrian pastilah disibukkan dengan membaca. Berbeda dengan orang Indonesia ketika dalam keadaan sama, mereka mengisinya dengan mendengar musik atau bergosip membicarakan orang lain.
Jika daya beli belum mendukung, sesungguhnya ada perpustakaan yang dapat memenuhi hasrat membaca masyarakat. Sayangnya opsi ini bukan tanpa masalah. Keberadaan perpustakaan di hampir tiap sekolah dan daerah-daerah belum dikelola sebagaimana mestinya. Siswa-siswa masih takut ke perpustakaan karena penjaganya tidak ramah.
Sebagian guru hanya menggunakan perpustakaan sebagai tempat remedial siswa mereka. Keberadaan perpustakaan juga masih terkesan angker dan sangat tidak bersahabat untuk pengunjung. Perpustakaan sebagai institusi informasi semakin usang dan tidak diperdulikan di antara kemajuan teknologi informasi, seperti menghandirkan bacaan-bacaan digital atau buku-buku elektronik. Akhirnya, hanya debu dan rayap yang setia mengunjungi buku-buku di perpustakaan.
Beberapa solusi yang bisa diberikan untuk kembali menyalakan kecintaan terhadap buku, bisa dimulai melalui penataan kembali perpustakaan, baik perpustakaan sekolah maupun daerah.
Pertama, perpustakaan harus disesuaikan keberadaannya bagi pembaca. Misal perpustakaan sekolah, hendaknya menyediakan buku-buku yang dibutuhkan siswa. Mulai dari buku cerita anak-anak hingga novel, biografi, dan berbagai karya nonfiksi.
Pemerintah serta komite sekolah hendaknya mulai memerhatikan keberadaan perpustakaan sebagai bagian penting sekolah, tidak hanya sebagai bangunan pelengkap. Pada umumnya tujuan dan fungsi perpustakaan sekolah hanya berfokus pada kebanggaan pribadi sekolah.
Bagi banyak sekolah, alasan mereka mendirikan perpustakaan hanya untuk menunjukkan kehebatan fasilitas. Bukan pada arti makna dan fungsi perpustakaan sebagai pusat belajar yang sesungguhnya.
Kedua, petugas perpustakaan harus ramah dan murah senyum. Pelayanan yang ramah dan simpatik menjadikan taman baca yang banyak dikunjungi. Petugas perpustakaan juga hendaknya dibekali pengetahuan-pengetahuan yang menunjang tugasnya tersebut.
Selama ini petugas perpustakaan hanyalah “pegawai” yang ditempatkan secara sekadar. Tidak kalah penting juga, petugas perpustakaan haruslah individu-individu yang senang membaca sehingga bisa menjadi teman yang baik bagi pengunjung.
Ketiga, waktu yang panjang untuk para pembaca. Rata-rata waktu pelayanan perpustakaan di Indonesia sama dengan waktu pelayanan publik lainnya. Tolong dikoreksi jika saya salah. Belum pernah saya ketahui ada perpustakaan di Bali yang buka sampai larut malam. Dengan begitu tentunya pengunjung akan dapat membaca, menulis, dan menjelajahi belantara pengetahuan semakin panjang. Jadi, memperpanjang jam buka perpustakaan akan sangat penting.
Keempat, pemerdayaan perpustakaan secara rekreatif dan edukatif. Perpustakaan tidak hanya menjadi tempat membaca buku atau mencari bahan-bahan tugas sekolah. Perpustakaan bisa dibuat menjadi tempat bedah buku, diskusi-diskusi, aplikasi pengetahuan, serta kegiatan apresiasi lainnya. Hal ini memungkinkan perpustakaan menjadi destinasi wisata yang sangat indah saat liburan-liburan sekolah.
Akhirnya, upaya-upaya di atas diharapkan mampu membangun kembali perpustakaan menjadi taman-taman yang indah serta menghapus pandangan masyarakat bahwa perpustakaan hanyalah kumpulan rak-rak buku penuh debu. Selanjutnya, perpustakaan-perpustakaan tersebut akan menjadi surga bagi kita semua, masyarakat Indonesia. Tidak hanya tempat tinggal para kutu buku, dalam arti harfiah. (T)