- Judul Pameran: The Dynamic Heritage
- Seniman: Wayan Budiarta, Pande Dwi Arta, Wayan Aris Sarmanta, Gede Widiantara, Wayan Eka Suamba, Dewa Virayuga Made Kariana, Made Griyawan, Nyoman Sudirga, Wayan Diana, Made Sujendra, dan Ketut Sadia.
- Jumlah Karya: 24 Karya Lukisan
- Pembukaan Pameran: Jumat 19 Januari 2018, Pukul 18.30 Wita
- Tempat: Griya Santrian Gallery, Sanur, Bali
- Pameran Berlangsung: 19 Januari – 28 Februrari 2018
- Pameran Dibuka: Anak Agung Rai (Pendiri Museum ARMA)
BATUAN, Gianyar, Bali, desa yang telah melalui bentangan abad yang panjang. Jejak jejak peradaban Bali sejak era Bali kuno dapat ditemui di desa ini. Termasuk jejak jejak perkembangan sejarah seni rupa tentu saja.
Citrakara sebagai sebuah kata yang oleh para ahli disebutkan merujuk pada profesi dalam bidang seni gambar terdapat dalam prasasti Batuan berangka tahun 944 saka atau 1022 Masehi yang ditulis pada masa raja Marakata dari dinasti Warmadewa. Jika mengacu pada hal ini, maka seni rupa khususnya seni gambar dan seni lukis sudah berkembang di Bali khususnya di Batuan sejak masa Bali kuno, disamping juga profesi kesenirupaan yang lain yakni ahli patung atau sulvikamaupun undagi (arsitek).
Tak seperti seni patung maupun arsitektur yang memakai bahan yang lebih tahan oleh waktu semisal batu padas sehingga jejak jejak peninggalanya masih dapat kita lihat hingga saat ini, seni lukis ataupun seni gambar yang memakai bahan yang lebih rapuh jelas sangat mudah hancur hingga kita tak dapat lagi melihat jejak jejak peninggalanya kini. Mustahil rasanya membayangkan perkembangan seni ukir ataupun relief tanpa diiringi dengan perkembangan seni gambar. Sebab untuk menciptakan sebuah karya relief pastilah didahului dengan tahapan menggambar pola pada permukaan medium yang akan diukir. Hal inilah yang juga menguatkan analisis bahwa seni gambar ataupun seni lukis juga sudah berkembang pada masa Bali kuno.
Dari sekian panjang perjalanan sejarah seni lukis Batuan yang sudah berkembang sejak kurang lebih satu millennium (1000 tahun dengan mengacu pada istilah citrakara pada prasasti Batuan), baru pada generasi pelukis yang terlahir pada tahun 1800-an-lah karya-karya seni lukis Batuan dapat kita saksikan bukti fisiknya berupa karya-karya lukisan.
Karya-karya para seniman inilah yang kemudian dalam historiografi seni lukis Batuan disebut sebagai para pelukis generasi pertama. Beberapa nama seniman seperti Dewa Putu Gede Kebes (1874 – 1962), I Dewa Nyoman Mura (1877 – 1950 ) dan lain sebagainya .
Para pelukis inilah yang kemudian menurunkan ilmu seni lukis Batuan pada generasi berikutnya melalui sistem pembelajaran tradisional (cantrik) atau yang dalam tradisi kependidikan Bali disebut dengan istilah aguron-guron. Sistem pendidikan tradisional inilah yang berpengaruh pada sistem transfer pengetahuan dari generasi ke generasi dalam sejarah perkembangan seni lukis Batuan.
Kekhasan yang dimiliki seni lukis batuan mulai dari aspek teknis yang melalui beberapa tahapan seperti ngorten (membuat sketsa), Nyawi (memberikan kontor dan detail pada sketsa), Ngucek (pemberian kesan gelap terang secara bertahap ), Manyunin (sigar mangsi), Ngewarna (memberi warna ), Ngidupang (pemberian aksen aksen tertentu pada warna seperti penyinaran dan lain lain).
Selain secara teknik secara estetikpun seni lukis Batuan memiliki karakteristiknya yang khas seperti komposisi objek yang padat, berjejal, cenderung tanpa menonjolkan satu objek sebagai focus of interest melainkan semua objek tergarap secara detail atau dalam istilah lokal Batuan disebut dengan Memedeg. Ke-khas-antekinis dan estetik inilah yang membuat lukisan Batuan memiliki kosa rupa komunalnya tersendiri atau jika kita menganalogikan dengan ilmu bahasa, maka seni lukis gaya Batuan memiliki “dialek” tersendiri dalam seni lukis Bali.
Walaupun seni lukis gaya Batuan telah menjadi “dialek” rupa komunal yang berkembang di Batuan, namun beberapa individu-individu seniman kemudian muncul dengan karakteristik personalnya yang khas, atau jika kita analogikan kembali dengan istilah dalam dunia bahasa maka beberapa individu memiliki “ideolek”-nya yang khas.
Hal ini bisa terjadi salah satunya karena adanya sistem pendidikan yang diterapkan oleh beberapa seniman Batuan semisal I Ngendon ataupun muridnya I Wayan Taweng yang dalam proses pembelajaran mereka pada generasi berikutnya cenderung menyarankan, bahkan mewajibkan murid-muridnya untuk mencari tema-tema ataupun gaya personal mereka masing masing.
Ngendon ataupun Taweng menurut penuturan salah satu pelukis Batuan yakni I Wayan Diana dalam sistem pembelajaranya kepada para penerusnya cenderung hanya mengajarkan teknik melukis saja. Dan jika teknik telah dikuasai dengan matang maka sang murid diwajibkan untuk melukis tema tema maupun gaya yang berbeda dengan sang guru. Hal inilah yang menyebabkan hadirnya beberapa seniman yang memiliki “ideolek” rupa personalnya yang khas di tengah tengah kecenderungan “dialek” rupa komunal seni lukis Batuan.
Demikianlah dinamika yang terjadi dalam perkembangan seni lukis gaya Batuan. Di satu sisi upaya untuk mempertahankan akar tradisi melukis gaya batuan tetap terjaga namun tanpa menutup peluang hadirnya kemungkinan – kemungkinan “baru” yang muncul pada beberapa individu – individu senimannya untuk mengembangkan “gaya” personal mereka, tanpa tercerabut dari “akar” tradisi mereka.
Pameran The Dynamic Heritage yang menghadirkan dua belas orang seniman Batuan yang merupakan bagian dari kelompok seniman Baturulangun (kelompok seniman batuan yang berdiri sejak tahun 2012 dan intens melakukan kegiatan terkait pelestarian dan pengembangan seni lukis gaya Batuan) ini memperlihatkan dinamika yang seperti penulis paparkan pada paragraf sebelumnya.
Pameran ini menghadirkan capaian-capaian kreatif dari beberapa generasi seniman Batuan, yakni para generasi kelahiran dekade 1990an, hingga 1960-an yakni ; Wayan Budiarta, Pande Dwi Arta, Wayan Aris Sarmanta, Gede Widiantara, Wayan Eka Suamba, Dewa Virayuga Made Kariana, Made Griyawan, Nyoman Sudirga, Wayan Diana, Made Sujendra dan Ketut Sadia.
Secara konseptual pameran The Dynamic Heritage berupaya untuk mempresentasikan capaian – capaian kreatif dua belas seniman dari berbagai generasi seniman Batuan ini. Kedua belas seniman memperlihatkan kecenderungan kekaryaan yang berbeda baik dari sisi gagasan tematik maupun secara artistik, namun tetap dilandasi oleh adanya dasar-dasar teknis dalam kosa rupa Batuan.
Kedua belas seniman memperlihatkan usaha untuk menghadirkan ideolek rupa mereka secara personal dengan titik berangkat pada dialek rupa komunal Batuan. Mereka menghadirkan kosa rupa batuan (teknik maupun estetetiknya) sebagai “bahasa” untuk bertutur tentang berbagai hal yang dihadapi manusia hari ini (kontemporer) mulai dari persoalan alam, budaya, hiruk pikuk dunia politik, hingga ekspresi personal.
I Ketut Sadia dalam proses kreatifnya banyak melakukan pengembangan – pengembangan tematik dalam karya – karyanya ia banyak mencerap berbagai peristiwa dan kejadian yang terjadi dan diberitakan di media masa mulai dari peristiwa jatuhnya pesawat, hiruk pikuk dunia sepakbola Indonesia, peristiwa sosial politik hingga tema tema di seputar alam dan budaya Bali.
Salah satu karya yang ia tampilkan dalam pameran ini adalah tentang kehidupan nelayan yang sedang berlayar di laut. Dalam karyanya ini Sadia hendak bertutur ihwal pelestarian alam di tengah ancaman-ancaman bencana ekologis seperti pencemaran laut.Ia menyajikan gagasan tersebut dengan menghadirkan sudut pandang sebagai orang Bali yang percaya pada aspek sekala dan niskala. Bahwa di dunia ini bukan hanya terdiri dari realitas material yang kasat mata saja melainkan ada realitas realitas non material yang bersifat tak kasat mata atau hal hal yang bersifat metafisik.
Laut misalnya, tidak hanya terdiri dari air laut serta ikan – ikan, batu karang, dan tumbuhan laut lainya. Namun masyarakat Bali percaya bahwa di laut juga dijaga dan dihuni oleh kekuatan – kekuatan niskala sebagai penjaga laut tersebut yang dilukiskan oleh Sadia dengan wajah – wajah dengan berbagai ekspresi yang ada di atas permukaan laut mendampingi para nelayan yang sedang mencari ikan.
I Made Sujendra dalam salah satu karyanya dalam pameran ini menghadirkan tema yang berangkat dari folklore atau cerita rakyat yang berkembang di Bali, salah satunya adalah cerita tantri atau fabel yakni cerita tentang dunia binatang.Ada nilai nilai falsafah kehidupan yang Sujendra hendak tampilkan dalam karyanya. Misalnya nilai-nilai falsafah yang terdapat dalam kisah sang Nandaka seekor lembu yang bersahabat dengan seekor Singa sebagai raja hutan.
Persahabatan kedua jenis binatang yang berbeda jenis ini, lembu (herbivora) sedangkan singa (carnivora)akhirnya rusak dan berujung pada pertikaian antar keduanya akibat ulah dan hasutan dari para anjing yang bernama I Sembada, I Nohan, dan I Tatit yang taksenang melihat singa sang raja hutan yang mulai mengikuti cara hidup sang Nandaka yang hanya makan tumbuhan.
Dengan hasutan yang licik para anjing berhasil membuat sang Nandaka berkelahi dengan sang Prabu Singa hingga keduanya tewas. Selain pesan pesan tentang nilai nilai falsafah kehidupan yang menarik pada karya Sujendra adalah Ia mencoba melakukan pengembangan pengembangan secara visual dengan memasukkan unsur-unsur bidang kubistik pada karyanya.
I Wayan Diana dalam karyanya menghadirkan tema seputar hiruk pikuk dunia politik. Korupsi yang yang kini menjerat sebagian oknum-oknum pejabat pemerintahan dan petinggi partai di Negara ini menjadi gagasan yang menggelitik Diana untuk ditampilkan dalam karyanya. Narasi satir ihwal tak berdayanya aparat penegak hukum yang disimbulkan dengan kucing yang terjerat ular di tengah kerumunan para tikus yang mencuri uang dan hasil kekayaan alam Negara ini adalah cara Diana dalam memvisualkan gagasanya. Secara visual Diana tetap mempertahankan gaya lukisan Batuan dengan komposisi objek yang cenderung padat dan detail.
Made Griyawan menghadirkan tema seputar persoalan sosial budaya yang tengah dihadapi masyarakat Bali kini.Pergeseran budaya dari agraris religius menjadi pola pola hidup konsuptif pragmatis menjadi gagasan yang hendak Griyawan hadirkan dalam karyanya. Yang menarik pada karya Griyawan adalah ia menghadirkan rangkaian narasi ihwal perubahan perilaku dan pola hidup masyarakat Bali tersebut secara sekuen dalam dalam empat panel gambar, layaknya sebuah cara ungkap dalam dalam komik komik.
Panel pertama mengungkapkan bagaimana kehidupan masyarakat Bali jaman dahulu yang masih lekat dengan kehidupan agraris, gotong royong, dan dekat dengan alam. Panel kedua mengungkapkan bagaimana pergeseran pola hidup mulai terjadi, pragmatis, pola hidup konsumtif, hasrat hedonis mulai menjadi anutan masyarakat, perilaku dan orientasi seksualitas yang tak lazim terjadi.
Pada panel ketiga Griyawan menggambarkan bagaimana masyarakat mengalami pergeseran orientasi dalam memaknai ritual dan religiusitas, kini benda benda material adalah tuhan tuhan baru bagi sebagian masyarakat. Sedangkan pada panel terakhir ia menggambarkan bagaimana hiruk pikuk kondisi politik yang diwarnai dengan isu-isu korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh oknum oknum pejabat dan penguasa.
Nyoman Sudirga menghadirkan karya yang bertemakan ritual keagamaan masyarakat Bali.Seperti uapacara mekiyis yang merupakan upacara mengiringi sesuhunan ataupun simbol simbol suci seperti barong menuju lautan dalam rangka penyucian menjelang ritual di pura tertentu. Sudirga mencoba melakukan pengembangan estetik pada karyanya dengan menghadirkan objek utama (focus of interest) berupa Barong yang dibuat secara close up. Ada perspektif dan penghadiran kesan ruang seperti dalam seni lukis modern yang coba Sudirga hadirkan dalam karyanya.
Made Kariana, menghadirkan karya yang bertemakan alam.Konsepsi segara gunung dalam masyarakat Bali dihadirkan dengan penggambaran gunung dan laut. Secara artistik Kariana tampaknya sangat tertarik mengeksplorasi bentuk bentuk air dan asap. Kesan transparan pada penggambaran air dengan menggambarkan terumbu karang dan tumbuhan bawah laut coba Kariana hadirkan dalam karyanya. Seperti Sudirga kariana tampaknya lebih tertarik mengeksplorasi dan mengembangkan sisi teknik dan artistik dari seni lukis gaya Batuan ketimbang sisi tematiknya.
Dewa Virayuga, menggambarakan suasana pantai di Bali dengan riuh festival dan pariwisatanya. Berbagai aktivitas wisatawan di pantai berbaur dengan aktivitas kehidupan masyarakat Bali. Inilah gambaran realitas Bali hari ini dimana turisme adalah suatu hal yang sudah menjadi bagian dari Bali hari ini. Dewa sepertinya hanya tertarik mengangkat realitas yang ada tanpa bermagsud memberikan pandangan – pandangan kritisnya soal pariwisata.
Wayan Eka Suamba, menghadirkan suasana iring iringan upacara keagamaan yang menjadi realitas keseharian yang dalam masyarakat Bali. Eka menghadirkan karya yang bernuansa hitam putih.Eksplorasi teknik melukis Batuan terutama pada tahapan ngucek menjadi fokus ketertarikan Eka. Bagi Eka tahapan ngucek adalah tahapan yang paling penting dalam menentukan hasil akhir karya seni lukis Batuan sehingga Ia tampaknya begitu tertarik dan mencoba mendalami tahapan ini secara intensif.
Pergeseran budaya dari tradisi ke modern yang melanda masyarakat Bali bahkan sejak kanak kanak menjadi fokus gagasan I Wayan Budiarta.Ia menggambarkan anak-anak yang tengah bermain permainan tradisional yang riang gembira penuh kebersamaan, namun di sisi yang lain ia juga melukiskan anak anak yang tengah asik memainkan smartphone mereka. Mereka duduk bersama namun asik dengan smartphone masing masing, taka da tegur sapa semua larut dalam permainan dunia maya maupun sosial media.
Inilah realitas yang Budiarta hadirkan dalam karyanya, ia berujar pada penulis bahwa apa yang ia tampilkan dalam karyanya hanyalah ungkapan atas realitas tanpa bermagsiud memberikan kritik, karena “jangan-jangan saya adalah bagian dari generasi itu” ujarnya pada penulis.
Pande Dwi Arta menghadirkan tema tentang kebangsaan dan nasionalisme dalam karyanya. Ia menghadirkan burung garuda pancasila di tengah todongan empat tangan yang masing – masing membawa, bom, jarum suntik, uang, dan pistol. Menurut Pande itu adalah ungkapan simbolik seputar tantangan yang kini tengah dihadapi bangsa kita seperti persoalan terorisme, narkotika, premanisme, serta godaan kehidupan konsumtif dan hedonisme.
Gede Widiantara menghadirkan konfigurasi figur-figur wayang dan pepohonan , api, dan elemen elemen visual lainya hingga membentuk sebuah wajah dengan lidah menjulur. Konfigurasi wajah yang terkonstruksi dari figur figur wayang itu menurut Widiantara adalah upaya untuk mempertegas karakter atau kekuatan cerita dalam karyanya. Dalam karyanya yang bertemakan Bima Suarga ini Widiarta mempertegas ekspresi kemarahan dan kekuatan Bima ketika mengangkat kedua orang tuanya dari neraka sembari mendapatkan hadangan dari para raksasa.
Wayan Aris Sarmanta menghadirkan karya yang imajinatif dan cenderung surealistik. Dalam pameran ini ia menghadirkan karya soal kehidupan dan life style masyarakat Bali kini. Ia menyajikanya dengan cara yang imajinatif dan tetap dalam nuansa tradisi batuan. Menurut Aris dalam berkarya ia tidak ingin memasukkan unsur unsur modern tersebut dalam visualisasi yang “mentah” artinya hanya menempelkan begitu saja unsur unsur ataupun ikon ikon budaya pop secara banal, ia mengaku tetap melakukan pengolahan ikon tersebut dengan cara pelukisan ala tradisi Batuan.
Demikianlah sekelumit pembacaan saya atas pameran dan karya – karya yang ditampilkan dalam pameran The Dynamic Heritage ini. Pameran ini adalah momentum untuk mempresentasikan bagaimana dinamika gagasan dari para seniman yang berasal dari Batuan dalam mengartikulasikan dan mengeksplorasi lebih jauh “warisan” kultural berupa praktik melukis yang sudah mengakar dalam keseharian mereka di Batuan.
Dalam pameran ini mereka berupaya menampilkan bahwa nilai nilai ataupun aktivitas melukis Batuan sebagai sebuah warisan yang tidak beku melainkan sebuah warisan yang bersifat dinamis dan menjanjikan berbagai kemungkinan eksplorasi lebih jauh lagi. (T)